-->

Indonesia Melawan Pancasila, Dikhianati Tapi Dirindui

28 Januari, 2020, 13.14 WIB Last Updated 2020-01-28T06:14:23Z
Prof. M. Yudhie Haryono, PhD (kiri) bersama Ketum PPWI Wilson Lalengke, usai ngodis (ngopi sambil diskusi), Depok (27/01/2020).

TAK perlulah aku keliling dunia. Untuk tahu bahwa kita berkhianat pada masa lalu. Untuk mengerti bahwa kita merusak janji proklamasi. Untuk menyadari bahwa kita menghancurkan konstitusi. Untuk memahami bahwa kita menternak virus korupsi.

Betapa bodoh kita jika harus keliling dunia hanya untuk tahu tumpang-tindihnya aturan, kroditnya akses layanan publik, dan kehancuran hukum. 

Betapa naifnya kita jika harus keliling dunia agar paham bahwa proses pra-pendaftaran untuk memulai usaha saja diatur oleh sembilan undang-undang, dua peraturan pemerintah, empat peraturan presiden, dan 20 peraturan menteri. Akibatnya, untuk memulai usaha saja membutuhkan banyak biaya, waktu, dan prosedur yang harus dilalui.

Singkatnya. Kita membunuh kaum miskin, melindungi kaum kaya. Memariakan kaum bodoh, membahagiakan kaum cendekia. Ya itulah republik kita kini.

Biarkan aku di sini. Menyaksikan kalian berkuasa dengan muslihat yang sama. Dari para pengkhianat dajjal di dunia. Dan, untuk semua penderitaan ini, tak perlulah aku keliling dunia. Sungguh tak perlu. Karena aku tak mau jauh dari indonesia tanah pusaka. Aku tak sudi mengkhianatinya!

Dunia boleh mentertawa. Atas semua kebusukan kita-kita. Dunia tak ingin melihat kita bahagia. Dunia ingin kita terus berduka. Saat semua yang kita punya dirampasnya: diambil semena-mena, diperkosa seperlunya.

Indonesia kini melawan Pancasila. Walau di tempat yang kalian anggap tak biasa. Walau di tanah kelahirannya. Walau di syorga purba saat dupa-dupa dan doa-doa diaurakan intensitasnya. Dalam pilu yang berulang kini biarkanlah aku bernyanyi. Biarkan aku berlari berputar menari di sini. Biarkan aku revolusi. Sampai mati. Agar teriakku lebih berdentum keras dari dalam kubur nanti.

Kini. Pancasila dikhianati di antara buku dan rindu. Habis sepah dijarah.

MELAGU. Tentang apa yang telah dilupakan. Maka kini kutanya, siapakah engkau gerangan. Engkau yang menjadi "omongan" dan candaan di antara mereka yang berkuasa. Engkau bukan putri dari kayangan. Engkau digali dari dalamnya Indonesia purba: atlantik dan nusantara. Engkau yang jemarinya begitu cantik-lentik. Engkau yang membuat hatiku tergelitik. Engkau seperti kupu-kupu yang menari dalam pikiranku. Engkau yang diucapkan tanpa dipraktekkan.

Mendengarmu bagai mendengar suara berdenting; bagai gemuruh dawai gitar yang cemerlang; bagai piano gerza yang mengalun bergantian merdu; bagai tsunami Aceh yang menggetarkan tetapi melagukan indah namamu. Setiap kuberseru, yang kusebut hanya namamu. Pancasila di hari minggu. Pancasila di Indonesia.

Indonesia dan Pancasila yang lucu. Dikhianati tetapi dirindui. Aku membutuhkan satu orang yang jujur, tapi Indonesia memberiku sepuluh orang munafik. Aku membutuhkan sepuluh orang pemberani, tapi Indonesia memberiku seratus orang penakut. Aku membutuhkan seratus orang cerdas, tapi Indonesia memberiku sejuta orang jahil.

Aku membutuhkan sejuta orang pemimpin, tapi Indonesia memberiku semilyar penipu. Rasanya bergaul denganmu yang ada hanya jiwa munafik, penakut, jahil dan penipu yang bangga dengan karakter dan mental buruk rupa itu.

Engkau memang lucu dan lugu. Sebab hati dan jiwamu tuna nalar. Persis para penghuni istana. Kerjanya kini ukur, gadai dan jual tanah di mana-mana plus kapan saja. Tak peduli pikiran dan perasaan warganegara.

Aku tak berdaya. Entah mengapa. Aku tak mengerti. Entah di mana. Apa yang kurasa. Apa yang kupikir. Setrilyun lalu gugup. Kini rindu yang tak pernah begitu hebatnya. Aku tau kau bisu dan buta tapi kumencintaimu lebih dari yang kau tau. Dan, kau takkan pernah tau. Sebab kau munafik dan penipu. Kaulah indonesia kini.

Engkau marah pada masa lalu. Lalu, aku persembahkan hidupku untukmu. Engkau dendam dengan waktu. Lalu, kurelakan hatiku padamu. Engkau benci takdir kelam. Lalu, kau membisu, diam seribu bahasa. Engkau sakit luar dalam. Lalu, hati kecilku bicara tentang kasih sayang dan pemberontakan. Tentang postkolonial dan triasekonomika.

Engkau memang belagu. Menyanyi dan kirim doa tiap hari. Tapi, baru kusadari cintaku bertepuk sebelah tangan. Kaki-kakikupun remuk redam. Tangan-tanganku patah berantakan. Lalu, kau buat pecah seluruh hatiku. Semua jiwaku. Tanpa sisa. Tanpa warisan buat tetangga. Apalagi anak-cucu.

Engkau memang dahsyat. Seperti matahari. Dikejar seluruh dewa. Kencing di tiap kota. Jajakan ide dan senyum. Bokong kerinduan Nikita kau kalahkan juga. Kini, semoga aku memahami sisi hatimu yang beku. Mengerti jiwamu yang rusak binasa. Membaca cara berpikirmu yang delusif. Hingga suatu saat datang keajaiban hingga kaupun waras kembali.

Kini aku mencintaimu lebih dari yang kau mengerti. Kini aku merindukanmu lebih dari yang kau sadari. Kini aku menyayangimu lebih dari yang kau tangisi. Saat revolusi belum selesai. Saat buruh-buruh belum merdeka. Saat anak-anak miskin butuh beasiswa.

Penulis: Prof. M. Yudhie Haryono, PhD (Seorang jurnalis yang menjadi tokoh utama di balik kesuksesan Jokowi menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan selanjutnya Presiden Republik Indonesia)
Komentar

Tampilkan

Terkini