-->








Kanda-kanda 'Cabul' di Tengah Birahi Kekuasaan

20 Agustus, 2020, 02.47 WIB Last Updated 2020-08-19T19:47:21Z
MENYANDANG status sebagai mahasiswa, adalah sebuah anugerah yang luar biasa dan tidak dapat dinikmati oleh semua orang di dunia ini. Mungkin bagi sebagian orang, hal tersebut menjadi terhalang dikarenakan beberapa faktor. Faktor-faktor yang menjadi ‘tembok penghalang’ untuk bisa melanjutkan pendidikan ke kampus-kampus impian bisa jadi dikarenakan terhambatnya ekonomi dan jarak yang jauh (karena tinggal di pelosok daerah). Namun, semangat untuk bisa berkuliah, haruslah tetap dikobarkan seiring perkembangan dari waktu ke waktu. Jangan pula ketika sudah diterima di kampus impian, maka semangat untuk berkuliah berubah sepenuhnya menjadi sesuatu hal yang membosankan.

Ingat, bahwa ada ‘sejuta’ pasang bola mata di dunia ini yang mengharapkan anaknya untuk melanjutkan pendidikan di kampus. Tapi ketika sudah lulus atau diterima di kampus, tidak sedikit daripada mahasiswa-mahasiswa yang merasa bahwa kuliah adalah aktifitas yang melelahkan serta membosankan. Jika kita menilik lebih jauh terkait pengorbanan para orang tua kita dalam mengantarkan anaknya menuju ‘gerbang pendidikan’, maka bisa kita akui bahwa itu bukanlah sebuah perjalanan yang mulus. Ada hambatan dan juga rintangan luar biasa dalam ‘mengais’ rezeki sehari-hari, agar anaknya bisa tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, marilah kita ucapkan ‘seribu’ rasa syukur dan terima kasih kepada orang tua kita untuk sekarang, nanti dan selamanya.

Berbicara persoalan kampus, maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai ‘laboratorium’ peradaban yang mempunyai ribuan manusia yang disebut sebagai “mahasiswa” di dalamnya. Ribuan mahasiswa di kampus, tentunya memiliki cara pandang yang sangatlah beragam. Selain itu, berbagai kelembagaan mahasiswa yang berasal dari internal dan eksternal kampus juga turut berpatisipasi menghiasi seluruh ‘pojok-pojok’ kampus dan mempunyai beragam pemikiran yang kritis dan dinamis. Bayangkan, kampus ternyata adalah sebuah tempat yang akan menjadi ajang untuk berkontestasi dengan kerasnya melawan seluruh pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda. Salah satu tantangan untuk bisa berkontestasi ini nantinya, tentu akan sangat dirasakan oleh seorang mahasiswa yang baru diterima di kampus.

Ketika kita menjadi seorang mahasiswa baru di sebuah kampus, pastinya kita diwajibkan untuk mengikuti sebuah kegiatan yang dinamakan sebagai Orientasi Pengenalan Kampus (OPK). Di dalam OPK ini, tentunya terdapat banyak senior-senior yang menggiring mahasiswa baru agar lebih mengenal kondisi kampusnya serta mengajarkan tata cara berpikir yang berintelektual dan idealis sebagai modal utama seorang mahasiswa agar layak disebut sebagai ‘agent of change’. Pastinya, hal ini merupakan suatu keharusan yang memang dapat meningkatkan semangat dan mentalitas mahasiswa baru untuk ke depannya. Salah satu yang dapat meningkatkan semangat dan mentalitas seorang mahasiswa baru dalam OPK tersebut, adalah dengan cara mengikuti permainan kekompakan, belajar cara berorasi, pengetesan mental dengan cara bernyanyi dan juga diharuskan untuk menghafal nama-nama senior sebagai upaya pembentukan daya ingat ketika sudah berkuliah nantinya. Serta, masih banyak lagi agenda-agenda peningkatan semangat dan mentalitas yang dibuat oleh senior-senior di dalam OPK yang harus diikuti oleh mahasiswa baru.

Hal yang tidak bisa dilewatkan selama mengikuti OPK, adalah terkait rekomendasi maupun ‘doktrinisasi’ untuk masuk ke dalam suatu organisasi. Bisa jadi, organisasi internal maupun eksternal kampus. Biasanya, hal ini akan membantu kita lebih berani untuk berproses di kampus dan mengasah ranah mentalitas maupun intelektualitas. Yang pasti, masuk organisasi merupakan salah satu jalan terbaik untuk kita mengembangkan potensi ke depannya. Tapi, di balik itu jangan pernah lupakan bahwa tugas-tugas di perkuliahan merupakan sesuatu hal yang tidak boleh tertinggalkan. Apalagi, jika berkuliah sampai 7 tahun lamanya dan orang tua merasa lelah untuk membiayai kita. Bisa-bisa, kita akan menjadi seorang anak yang durhaka kepada orang tua dan mengkhianati amanah yang sudah lama dititipkan oleh mereka.

Kemudian, ada juga yang unik dan menarik untuk dibahas terkait ranah keorganisasian ini, salah satunya adalah tentang persoalan senior-senior atau yang biasa disebut sebagai “kanda”. Nah, kata “kanda” merupakan sebutan untuk senior yang bermakna sebagai “abang”. Biasanya, pemanggilan seseorang menggunakan kata “kanda” adalah hal yang biasa dan kerap terjadi di ranah kemahasiswaan sebagai upaya untuk menghormati senior-senior atau orang yang “ilmunya lebih tinggi”, konon katanya. Namun, asal muasal kata “kanda” masih belum diketahui secara pasti dan sudah menjadi sapaan yang ‘mendarah daging’ dalam ruang lingkup junior dan senior ketika sedang berdiskusi atau ketika saling bertemu. Tak bisa kita pungkiri, penyebutan “kanda” untuk orang lain yang lebih tua daripada kita merupakan sebuah bentuk kesopanan.

Perlu untuk diketahui, bahwasanya tidak semua kanda itu pro terhadap kemajuan juniornya. Ada juga, oknum-oknum kanda yang malah bertindak ‘cabul’ terhadap junior. Oknum-oknum kanda yang melakukan tindakan ‘pencabulan’ ini, biasanya menggunakan trik memanipulasi keadaan melalui birahi-birahi kekuasaannya. Misalnya, ketika seorang junior ingin mencalonkan sebagai seorang ketua di sebuah lembaga, maka hal tersebut mungkin dihalang-halangi dengan halus oleh kandanya dengan mempermasalahkan “kepantasan” atau “kelayakan” salah satu juniornya. Padahal, tidak menutup kemungkinan kejadian tersebut merupakan cara ‘cabul’ daripada kanda tersebut karena mempunyai kepentingan dalam lingkaran kekuasaan yang terselubung di balik itu. Sebut saja, misalnya kepentingan pada lawan politik atau mendukung penuh lawan politik juniornya yang juga sama-sama ingin mencalonkan sebagai ketua lembaga.

Dalam beberapa kasus yang telah terjadi di ranah kampus, maka kejadian tadi merupakan sebuah kebenaran yang bukan lagi menjadi rahasia di kalangan mahasiwa organisatoris. Menilik daripada kacamata demokrasi, maka sudah sepantasnya semua orang bisa berkontestasi dalam perpolitikan maupun kesempatan untuk berekspresi atau berpendapat. Kanda-kanda dalam ruang lingkup senior atau sudah alumni tidak berhak untuk mengintervensi dan menghalangi juniornya dengan alasan “kepantasan” maupun “kelayakan”. Memangnya, tolak ukur “kepantasan” dan “kelayakan” untuk menjadi ketua lembaga itu seperti apa? Apakah berwibawa? apakah mempunyai kenalan yang banyak? apakah mempunyai uang yang berlimpah? Atau malah harus berpakaian rapi dan mandi 10 kali dalam sehari? “Tolong, saya tidak sedang bercanda, kanda”, merupakan kalimat idealisme sederhana yang paling tepat untuk dilontarkan kepada para kanda-kanda ‘cabul’ tersebut, agar mereka cepat tersadar dan kembali ke jalan yang benar.

Intinya, jangan pernah menjadikan junior-junior sebagai sebuah alat bermanfaat untuk memuaskan hasrat birahi kekuasaan dengan menciptakan tolak ukur kepantasan seperti tadi. Karena pada dasarnya, setiap manusia mempunyai kesempatan yang sama dalam hal berkontestasi. Tidak mungkin, misalnya kita harus menyamakan antara seekor monyet dan seekor ikan dengan sebuah tolak ukur kesuksesan adalah harus bisa memanjat sebuah pohon. Dalam hal ini, pastinya monyet akan menang dan ikan akan kalah. Namun, jika kita membalikkan keadaan ini yang di mana monyet diharuskan untuk berenang melawan ikan, pastinya ikan yang akan menang. Dari kejadian tersebut, bisa disimpulkan bahwa tolak ukur kesuksesan manusia berbeda-beda dan tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan seseorang itu “pantas” atau “tidak pantas” dalam berkontestasi dalam kehidupan.

Selain itu, seorang junior yang memiliki jiwa dengan semangat ‘militansi’ tinggi dalam berkontestasi, jangan pernah takut dan panik dengan intervensi dari senior-senior atau kanda-kanda selama mereka (kanda-kanda) tidak memberimu ‘stok cadangan oksigen’ di dunia ini. Cobalah mulai sekarang, untuk menguatkan pemikiran yang idealisme untuk terus berproses ke depan. Jangan pernah berpikir, dengan tidak adanya dukungan daripada kanda-kanda dan alumni maka potensi kita untuk bisa berkontestasi akan gagal. Ingat, kita adalah calon-calon pemimpin di masa depan, yang tidak mau jika diri kita menjadi ‘boneka’ daripada kanda-kanda  yang tidak bertanggung jawab tersebut. Jika kita sudah menjadi ‘boneka’, maka hal tersebut akan membahayakan perputaran ‘roda organisasi’ yang akan kita pimpin untuk ke depannya.

Jika kita sudah berketergantungan penuh sejak awal dan merasa pesimis dengan kemampuan diri sendiri, maka tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan semakin membuyarkan semangat kita dalam berkeinginan untuk berkontestasi ke depannya. Karena pada dasarnya, yang mengetahui kemampuan dan kesanggupan kita untuk berkontestasi itu adalah diri kita sendiri dan bukan malah mempertanyakan tolak ukur kepantasan diri kita kepada kanda-kanda. Terkadang, hal ini merupakan problematika para mahasiswa dan menjadi pembatas ruang gerak untuk terus berjalan ke depan. Sudah saatnya, pemikiran semacam ini haruslah dihapuskan dari dalam diri kita dan lakukan gebrakan kemandirian yang baru dan tingkatkan optimisme dalam diri.

Tidak bisa kita pungkiri, nasihat-nasihat dari orang-orang terdahulu memanglah sangat penting untuk kita rangkum dan dengarkan. Hal tersebut, haruslah cukup sekedar menjadi ‘batu loncatan’ untuk kita berproses ke depan. Nasihat-nasihat yang kerap dilontarkan kanda-kanda kita, hanya menjadi sebuah pertimbangan-pertimbangan dan jangan jadikan itu sebuah ‘peta perjalanan’ sepenuhnya yang menggerakkan kaki kita untuk mengikuti alur yang kanda-kanda berikan. Ingat, setiap kesuksesan seseorang itu berbeda-beda Kanda-kanda mungkin sering berteori serta mengisahkan proses perjalanannya, dikarenakan hal tersebut sudah menjadi bukti yang kongkrit dari dirinya agar bisa berbagi bersama orang lain. Namun, kita kembali lagi berasumsi bahwa hal tersebut adalah teori yang hanya berlaku untuk dirinya dan mungkin tidak akan berlaku bagi diri kita. Kita harus yakin dan percaya, bahwa setiap orang tentunya mempunyai pengalaman yang berbeda-beda.

Dikarenakan setiap orang mempunyai pengalaman dan keadaan yang berbeda-beda, maka mari kita menilik kembali kisah seekor monyet yang bisa memanjat pohon dan ikan yang bisa berenang. Terakhir, semoga diri kita bisa menjadi pribadi yang optimisme, percaya akan kemampuan diri sendiri dan jangan lupa terus berdoa dan merangkum nasihat-nasihat baik yang dilontarkan oleh berbagai kalangan.

Penulis: Sulthan Alfaraby (Mahasiswa Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini