-->








Cerita Kakek Soal "Islam Pernah Berjaya di Aceh"

02 Desember, 2020, 11.12 WIB Last Updated 2020-12-06T03:17:31Z

MOBIL ini terus melaju membelah riukan angin sore ini, sesekali si sopir menghubungi beberapa orang yang ingin memakai jasanya untuk mengirim barang. Saya duduk di barisan ke dua dekat jendela. Sopir memainkan setir mobilnya dengan lincah dengan mata terfokus ke ruas jalan yang membentang seakan hampasan ambal yang berwarna hitam.

Empat puluh lima menit perjalanan, mobil kemudian memasuki area perbukitan yang pastinya si sopir pun harus benar-benar fokus melihat beberapa belokan tajam yang sudah siap merenggut nyawa siapa saja yang lalai. 


Tiba-tiba hujan pun turun. Hujan dan kabut mulai merapatkan barisan di jalanan. Angin dingin masuk lewat celah retak di sudut mobil ini. Di dalam mobil beberapa lelaki tua nampak sedang memulai pembicaraan dengan santai.  "Agama semakin hilang dalam kehidupan kita sekarang" ketus kakek yang berkacamata dengan tatapan tajam seakan menahan beberapa kalimat lagi yang ingin dia lepaskan.


"Agama tidak akan hilang, namun hanya kita yang meninggalkannya" sahut si kakek yang nampak necis dengan kemeja hitam yang  beliau kenakan. Seakan ada kekhawatiran yang mendera batin mereka atas fenomena zaman sekarang. "Islam pernah berjaya beberapa abad ke belakang, bukan hanya di timur tengah dan di Eropa, tapi di Aceh sendiri pun dulu juga merupakan salah satu kerajaan Islam yang cukup diperhitungkan. Pada masa dulu berjaya bukan karena fanatik dalam beragama tapi karena ketaatan umat Islam dalam menjalankan norma-norma yang telah di atur dalam Islam" lanjut salah satu dari mereka.  


Saya memasang telinga mendengar dengan seksama pembicaraan mereka, sehingga secara tidak langsung saya sudah mencoba membedah permasalahan ini di dalam pikiran. Jika di telisik lebih jauh, memang benar bahwa Tingkat ke taatan kita dalam beragama semakin rendah, sedangkan fanatik untuk agama sangat tinggi. Zaman yang semakin berkembang ini pun banyak bermunculan konflik-konflik agama, salah satunya adalah seseorang yang mulai dan sangat fanatis terhadap agama yang mereka anut ataupun mereka percaya. Hal ini terjadi karena derasnya informasi yang di serap publik atau masyarakat sekitar tanpa adanya filterisasi terhadap berita tersebut. Apalagi di tambah dengan fenomena lahirnya ustad-ustad baru yang berceramah dengan tema-tema yang keras semakin memperkeruh keadaan. 


Pilpres beberapa waktu yang lalu mungkin menjadi contoh yang tepat untuk melihat permasalahan keagamaan yang mendera negeri ini. Klaim kafir, radikal, bunuh, penggal kerap kali kita dengar dari mereka yang sangat fanatik mendukung salah satu calon. Fanatisme yang membawa nama agama namun tidak ter arah seperti ini cukup berbahaya jika tidak di redam. 


Perbedaan pandangan seharusnya bukanlah menjadi jurang pemisah dalam interaksi sosial di masyarakat. Perbedaan pandangan juga tidak bisa dijadikan suatu alasan untuk mengklaim neraka kepada yang lainnya. Apalagi sampai mengganggu hak sesorang dalam bermasyarakat. Karena disadari atau tidak, setiap agama di dunia ini mengajarkan perasaan kasih dan sayang. Hal tersebut tidak lain untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan beragama sesama manusia.


Toleransi dan tenggang rasa mungkin menjadi jawaban atas fenomena kefanatikan agama saat ini. Saling menghargai dan saling memahami satu sama lain perlu dikembangkan dalam masing-masing individu. Terlebih, kita hidup di lingkungan yang beragam membuat kebutuhan akan rasa toleransi dan tenggang rasa harus tinggi.


Tiba-tiba mobil berhenti di suatu persimpangan membuyarkan lamunan saya, hujan pun sudah mereda. Kakek yang berkacamata tersebut nampak sedang mengambil beberapa barang nya seraya meminta izin karena beliau sudah tiba di alamat yang beliau tuju. "Hati-hati semoga kamu tetap sehat dan bisa berjumpa lagi di waktu yang berbeda" seru kakek yang berkemeja hitam dengan wajah tersenyum. 


Kemudian sopir kembali menancap gas mobil menembus udara dingin sore ini. 20 menit setelah mobil melibas aspal, kemudian sayalah yang meminta pamit kepada si kakek berkemeja hitam seraya mendoakan si kakek juga akan selamat di tempat tujuan. Setelah menurunkan barang bawaan saya, mobil L300 yang berwarna putih tujuan Lhoksumawe itu pun melaju dan menghilang dalam remang-remang suasana senja menuju Negeri Samudera.


Penulis: Fatma Azzahra (Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry)

Komentar

Tampilkan

Terkini