-->








Untuk Keadilan dan Efek Jera, Kasus Pelecehan Seksual di BRA Harus Dibawa ke Ranah Hukum

10 Januari, 2021, 05.13 WIB Last Updated 2021-01-09T22:14:05Z

LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Masyarakat di Aceh kembali disuguhkan peristiwa kasus pelecehan seksual yang kali ini terjadi di lingkungan birokrasi Pemerintah Aceh, tepatnya di lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA).


Berbagai pihak ramai-ramai mengecam peristiwa tersebut. Hal semacam ini biasanya kerap terjadi di gampong-gampong, di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat ibu kota, tapi kali ini justru terjadi di jantung birokrasi di bawah kendali Pemerintah Aceh.


“Apa yang terjadi di BRA yang merupakan tindakan yang memalukan. Karena itu, tidak cukup hanya memberhentikan pelaku tetapi juga mesti ada upaya hukum secara jelas agar dapat memberikan pembelajaran dan efek jera,” jelas Dewan Pengurus Flower Aceh, Abdullah Abdul Muthalieb, dalam siaran persnya, Jumat (8/1/2021).


Menurutnya, apabila tidak ditangani secara tuntas dan adil, maka kasus ini akan menjadi preseden buruk ke depan. Menurut Abdullah, apa yang terjadi di BRA bukan tidak mungkin juga terjadi di SKPA-SKPA yang lain. Sangat mungkin hal ini juga menimpa pegawai perempuan, apalagi yang non-PNS.


“Pegawai perempuan yang non PNS atau tenaga kontrak itu jauh lebih rentan mengalami kekerasan, termasuk pelecehan seksual karena relasi kuasanya yang jauh timpang, apalagi pelakunya pejabat, sang atasan langsung dari korban,” kata Abdullah.


Sementara itu, Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati menambahkan bahwa dalam tindakan pelecehan seksual, tidak mudah bagi korban melaporkannya. Karena itu, ia mendesak Pemerintah Aceh mengambil tindakan nyata untuk melindungi korban.

“Kami memberikan apresiasi kepada perempuan yang menjadi korban dan melaporkan kasus ini ke atasannya. Ini sebuah bentuk penggunaan haknya yang mestinya dilindungi oleh negara, bukan kemudian korban kembali dikorban lagi oleh kekuasaan,” jelas Riswati.


Di sisi lain, ia menyayangkan kebijakan Ketua BRA yang malah memberhentikan korban. Baginya, aneh dan patut dipertanyakan mengapa staf perempuan yang menjadi korban juga diusulkan untuk diberhentikan.


“Ini jelas tidak adil dan bentuk pembungkaman kepada korban yang melaporkan tindakan yang tidak pantas diterimanya,” tegas Riswati.


Sementara itu Sekretaris Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Laila Juari juga menyampaikan hal serupa. Ia mendukung penuh upaya korban yang telah berani melaporkan kejahatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa korban berharap bahwa kasus yang menimpanya segera diselesaikan dengan adil.


Karena itu, Laila juga mengecam tindakan pimpinan BRA yang mengusulkan pemberhentian korban dari pekerjaannya.

“Ini akan berpengaruh pada kondisi ke depan, para korban pelecehan seksual di lingkup birokrasi pemerintahan bakal enggan melaporkan kejahatan semacam itu, karena khawatir akan menerima sanksi serupa,” ujar Laila.


Ironi Birokrasi dan Komitmen Syariat Islam


Lebih lanjut Abdullah menegaskan, BRA selama ini dikenal publik sebagai lembaga yang melakukan pemenuhan bagi korban konflik Aceh, tapi ternyata ada pegawai perempuan yang jadi korban pelecehan dan itu kembali dikorbankan oleh institusi ini.


“Siapa pun pimpinan SKPA juga harus bertanggung jawab memastikan tindakan demikian tak terjadi di organisasi yang dipimpinnya,” sebut Abdullah.


Ia menambahkan, Pemerintah Aceh bersama DPRA sebelumnya sudah menetapkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Adanya qanun ini sebenarnya terobosan untuk mengoptimalkan upaya mengatasi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh.


Hanya saja, menurutnya qanun tersebut tidak secara spesifik mengatur untuk wilayah birokrasi. Maka perlu ada kebijakan pendukung, sebab wilayah birokrasi berbeda dengan wilayah publik pada umumnya.


Abdullah meminta Gubernur Aceh menjadikan kasus ini sebagai pintu masuk untuk membangun budaya organisasi di seluruh SKPA yang punya kepekaan dan kesadaran penghormatan terhadap perempuan.


“Sebagai daerah yang bersyariat dan Pemerintah Aceh selama ini menyatakan komitmen mendukung Syariat Islam, mestinya hal demikian tidak perlu terjadi. Pelecehan seksual terhadap perempuan di lingkungan birokrasi menandakan birokrasi belum menjamin perempuan dapat bekerja dengan aman,” tegas Abdullah.


Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat pada umumnya sangat berbeda jika terjadi di birokrasi layaknya SKPA. Oleh sebab itu, Direktur Flower, Riswati juga mendesak Gubernur Aceh untuk segera menetapkan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan di lingkungan Pemerintah Aceh.


Mekanisme yang spesifik ini, kata dia, mengatur khusus bagi seluruh SKPA sehingga ada kejelasan bagaimana tindak kekerasan kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk dapat dicegah di lingkungan birokrasi. Di dalamnya juga mengatur prosedur dan jaminan bagi pelapor sekaligus konsekuensi bagi pelaku baik dari sisi hukum maupun kariernya di birokrasi.


Realita saat ini, pegawai perempuan dengan posisi dan daya tawarnya dalam birokrasi akan lebih sulit dibandingkan dengan perempuan di gampong yang juga mengalami tindak kekerasan.


“Birokrasi itu ada relasi kuasa, ada atasan dan bawahan yang penuh dengan risiko yang itu sangat tidak mudah bagi pegawai perempuan, apalagi yang non PNS. Jadi, pegawai perempuan akan berpikir berulang kali untuk melaporkan setiap tindakan yang sudah menjurus pada tindak kekerasan,” sebut Riswati.


Ia mengatakan, peristiwa ini menjadi saat yang tepat bagi Pemerintah Aceh untuk melakukan evaluasi peristiwa sekaligus menyusun langkah preventif.


“Perempuan di birokrasi butuh jaminan perlindungan untuk melaporkan setiap tindakan kekerasan. Penghormatan terhadap perempuan termasuk di lingkungan birokrasi ini juga tak kalah hebatnya dengan ‘ACEH HEBAT’ yang selama ini digembar-gemborkan oleh Pemerintah Aceh,” tegasnya.[Pikiran Merdeka]

Komentar

Tampilkan

Terkini