-->








Dalam Rapat Ombusdman, Mapesa Sampaikan Pandangan Penolakan IPAL

21 April, 2021, 15.17 WIB Last Updated 2021-04-21T08:17:06Z
LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Terkait polemik IPAL di Gampong Pande Banda Aceh, Ombudsman RI Perwakilan Aceh mengadakan rapat tentang permasalahan IPAL dan alternatif solusi, Senin (19/04/2021) lalu.

"Kami dari Mapesa tetap ingin menyampaikan bahwa pandangan-pandangan yang kami berikan itu adalah suatu keputusan mutlak, dan itu adalah pandangan kami terkait penolakan IPAL," ujar Mizuar Mahdi, Ketua Mapesa sebagaimana dilansir redaksi, Rabu (21/04/2021).

Jadi, lanjut dia, terlepas nanti IPAL itu dilanjutkan dibangun disitu, itu dikembalikan kepada masyarakat Kota Banda Aceh, dan pemilik tempat Gampong Pande dan Gampong Jawa. Kami hanya memberikan pandangan-pandangan, yang menurut kami itu adalah suatu hal yang harus dipertimbangkan. Karena sudah bertahun-tahun kami memberikan perhatian khusus untuk Kawasan Gampong Pande, Gampong Jawa dan sekitarnya. 

"Poin-poin yang ingin kami sampaikan, sebagaimana yang saya katakan tadi pada pembukaan bahwa pandangan kami tetap menolak kawasan itu sebagai lokasi dibangunnya IPAL. Akan tetapi kami juga ingin katakan bahwa kami tidak menolak pembangunan. Pembangunan adalah suatu yang dibutuhkan untuk kemaslahatan kita bersama disini, tetapi tidak di lokasi yang hari ini dibangun, dan kami hanya ingin menyampaikan pandangan-pandangan kami saja tentang itu," ujarnya.

Maka, menyangkut penemuan situs makam bersejarah di lokasi proyek IPAL, Mapesa menilai:

Makam-makam dengan penandanya berupa batu-batu nisan Aceh itu dapat diyakini setidaknya berasal dari sekitar abad ke-18/ke-19, dan merupakan benda cagar budaya yang wajib dilindungi dan dilestarikan menurut undang-undang yang berlaku di Republik Indonesia.

Sepanjang pengamatan Mapesa menyangkut penemuan makam-makam bersejarah di Aceh (bahkan di luar Aceh untuk kasus makam-makam berbatu nisan Aceh), tidak ada satu pun kompleks makam bersejarah yang tidak memberikan petunjuk bahwa di sekitarnya akan ditemukan beberapa kompleks makam lainnya. Semua kompleks makam itu kemudian secara signifikan memberitakan akan adanya sebuah permukiman kuno yang akan berasosiasi dengan permukiman-permukiman lain di sekitarnya, biasanya dihubungkan oleh aliran air baik sungai maupun alur, atas oleh jalur-jalur yang akan tampak lewat pengamatan seksama terhadap topografi bentang lahan (lansekap).

Temuan kompleks makam dalam lokasi Proyek IPAl merupakan sebuah temuan yang penting setidaknya dari sisi arkeologis, geomorfologis dan sejarah. Penemuan ini akan menjelaskan tentang perubahan-perubahan geomorlogis yang terjadi di kawasan muara Krueng Aceh dan pesisir Kota Banda Aceh secara umum, memberikan informasi-informasi tentang bagaimana benda-benda bersejarah tersebut terdeposisi di kedalaman tersebut sehingga dapat diperkirakan apa yang mungkin akan ditemukan pada waktu mendatang.

Lain itu, dari sisi sejarah, dokumen sejarah yang dimiliki sampai saat sebelum penemuan itu tidak menunjukkan tentang adanya permukiman bersejarah dengan makam-makamnya di sebelah utara kanal Arosan (Arusan) sejak tidak kurang dari 100 tahun yang lalu. Penemuan di lokasi Proyek IPAL memberi keputusan yang konkrit bahwa di bagian itu terdapat permukiman dan makam-makam. Dengan demikian, pemindahan batu-batu nisan dari kompleks makam tersebut ke tempat lain sebelum dilakukan penelitian oleh pihak yang berwenang adalah tindakan yang kiranya telah melanggar Undang-undang yang berlaku. Secara budaya, kompleks makam tersebut memiliki arti penting bagi masyarakat Aceh.

Pandangan Mapesa menyangkut dampak buruk TPA, IPTL, IPAL di lokasi tersebut.

TPA, IPTL, IPAL sekalipun memiliki manfaat besar bagi masyarakat secara umum, namun penempatan lokasi untuk itu semua sebagaimana yang terjadi hari ini di Banda Aceh adalah sesuatu yang akan memberikan berbagai dampak buruk, antara lain:

1. Mengakibatkan rusaknya lansekap peninggalan sejarah di kawasan muara Krueng Aceh dan bahkan akan tambah membenamkan dan menghilangkan bukti-bukti permukiman kuno dari zaman Aceh Darussalam. Dan dalam hal ini perlu dicatat bahwa kerusakan dan kehilangan peninggalan sejarah adalah sesuatu yang tidak akan pernah dapat digantikan untuk selamanya.

2. Mengakibatkan kawasan serta gampong-gampong yang memiliki potensi kesejarahan dan alam sebagaimana telah diuraikan di atas sebagai kawasan kumuh dan lingkungan pinggiran (kampong belakang) dari Kota Banda Aceh.

3. Secara pasti memberi kesan buruk bagi Krueng Aceh dan kawasan muaranya yang memiliki nilai sejarah yang penting dan sumber kebanggaan masyarakat Aceh.

4. Ikut merusak lingkungan muara sungai dan pantai yang diharamkan dalam Syari'at Islam, sekaligus memeberikan contoh buruk dalam memperlakukan lingkungan sungai dan pantai bagi masyarakat, terutama generasi masa muda.

5. Hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan kawasan itu sebagai salah satu destinasi pariwisata edukasi dan sejarah yang penting di Kota Banda Aceh. 

Ini adalah pandangan-pandangan kami untuk kami sampaikan menyangkut dengan pembangunan IPAL disitu, jadi tidak ada penolakan pembangunan, akan tetapi lokasi itu yang salah yang menurut kami, dan dalam pandangan kami bertahun-tahun, sejak tahun 2012, ada sekian artefak, ada sekian puluh kompleks pemakaman, struktur bangunan, belum lagi temuan permukaan yang hari ini setiap tahun demi tahun telah hilang akibat pembangunan yang tidak dikontrol oleh pemerintah.  

"Dalam hal ini kami mengapresiasi niat baik BPCB dan mendukung untuk segera dilakukan Heritage Impact Asessement dan kalau bisa IPAL itu harus di relokasi dan kita harus menemukan lokasi yang lebih tepat untuk membangun IPAL. Kami berharap kegiatan Heritage Impact Asessment ini tanpa intervensi oleh siapapun," demikian harap Mizuar Mahdi.[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini