-->








Racun Moderasi dalam Rekontekstualisasi Fiqih

11 Januari, 2022, 16.10 WIB Last Updated 2022-01-11T09:10:22Z
MENTERI AGAMA Yaqut Cholil Qoumas memberikan sambutan pada pembukaan Konferensi Pendidikan Islam, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS) pada Senin (25/10/2021) di The Sunan Hotel Solo. Tema konferensi adalah “Islam in A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”.

Dalam sambutannya dia mengatakan perlunya peran penting akademisi dalam merekontekstualisasi konsep fikih, hal ini dilakukan untuk menyesuaikan keadaan zaman yang terus berubah. Konferensi ini diadakan hingga 28 Oktober 2021 dengan tuan rumah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta yang diikuti akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan sejumlah ilmuwan dari Arab Saudi, Iran, Amerika Serikat, Inggris, Turki, Korea Selatan, dan Malaysia.

Menag Yaqut menyebutkan ada empat alasan yang mendasari pentingnya rekontekstualisasi ortodoksi Islam. Pertama, pengamalan Islam adalah operasionalisasi nilai-nilai substansial atau pesan-pesan utamanya yaitu tauhid, kejujuran, keadilan, dan rahmat. Kedua, model operasionalisasi tersebut harus dikontekstualisasi dengan realitas aktual agar praktik-praktik yang diklaim sebagai pengamalan Islam justru tidak membawa akibat yang bertentangan dengan pesan-pesan utama Islam itu sendiri. Ketiga, dakwah Islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan. Keempat, walaupun tidak menjadikan non-Muslim berpindah agama menjadi Muslim, diadopsinya nilai-nilai substansial Islam sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat tinggi harganya (kemenag.co.id, 25/10/2021).

Cara pandang yang tampak mengkonfrontir antara pengamalan Islam dan pencapaian apa yang diklaim sebagai nilai-nilai substansial tadi, justru mengandung bahaya. Lebih-lebih jika nilai-nilai tadi dirumuskan hanya oleh akal dengan mengabaikan wahyu sebagai sumber ajaran Islam. Seakan-akan aspek substansi lebih dikedepankan dari pengamalan Islam itu sendiri. Seakan-akan substansi bisa mewujud tanpa pengamalan Islam sesuai tuntutan wahyu.

Dengan cara pandang inilah, ajaran jihad yang senantiasa diamalkan dipandang tak sejalan dengan nilai-nilai substansial tadi. Jihad sesuai definisi syar'i sebagai perang di jalan Allah dianggap bertentangan dengan nilai "rahmah" dan tak sejalan dengan realitas yang memimpikan kesetaraan, dan dunia yang terbebas dari perang dan konflik senjata. Akibatnya, jihad yang diwajibkan oleh Islam terlalaikan. Alih-alih sekedar tak diamalkan, hari ini jihad justru dikriminalisasi.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Sejatinya rekontekstualisasi fikih yang dinarasikan pemerintah akan berdampak pengerdilan ajaran Islam dan merusak kemurnian Islam. Pasalnya, Islam dan syariatnya berusaha dicocok-cocokkan, agar mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman juga kehidupan manusia yang terus berubah sesuai dengan nafsunya. Hal ini tentunya akan berefek pada penafsiran Islam sesuai akal manusia dan fakta yang ada. Alhasil, Islam akan diatur-atur sesuka hati manusia. Padahal sejatinya manusialah yang semestinya diatur oleh Islam.

Selain itu, kebahayaan lain yang timbul akibat rekontekstualisasi fikih adalah akan muncul kebimbangan di hati umat terhadap Islam, yang akhirnya menjauhkannya dari solusi syariat. Umat akan menganggap mempelajari fikih Islam bukan hal yang penting lagi. Lebih jauh lagi, rekontekstualisasi fikih akan mematikan ajaran Islam yang dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Rekontekstualisasi fikih yang membahayakan Islam dan umatnya hari ini adalah bagian dari upaya memoderasikan Islam. Moderasi Islam ini sudah berulang-kali menampakkan kejahatannya yang berupaya mengubah pemahaman umat Islam terhadap aqidah dan syariat Islam yang sebenarnya. Dengan mentafsir ulang nash-nash yang ada sesuai dengan konteks yang ada. Akibatnya bukan umat yang wajib terikat hukum syariat dengan mengubah realita yang ada agar sesuai syariat Islam, tetapi agar umat terikat dengan keadaan yang ada dan syariat Islam menyesuaikannya. Upaya mengubah syariat Islam jelas merupakan upaya sesat - menyesatkan. 

Memang benar, saat ini umat Islam dihadapkan dengan berbagai persoalan baru, yang tidak ada sebelumnya dan memerlukan pemecahan segera. Tetapi merekontekstualisasi fikih bukanlah solusi. Karena dalam Islam, untuk menyelesaikan masalah kehidupan diperlukan ijtihad. Namun perlu digarisbawahi ijtihad berbeda dengan rekontekstualisasi. Karena, ijitihad tidak bertujuan mengubah ataupun menyesuaikan hukum yang ada agar sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi, menggali hukum dari fakta yang baru dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukannya.

Islam adalah diin yang datang dari Allah SWT, Zat Yang Maha Pencipta, Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Sempurna. Islam adalah sebuah ideologi yang mampu menjawab seluruh problematik umat dari masa ke masa.

Hal ini terkait karakter Islam yang memiliki fleksibilitas hukum luar biasa. Terutama karena sumber hukumnya adalah nas-nas yang bersifat global (mujmal) dan general (‘aam) yang memungkinkan bagi para mujtahid melakukan penggalian untuk menghukumi setiap persoalan yang muncul.

Namun, fleksibilitas ini tentu bukan berarti syariat tunduk pada realitas, lalu bisa melar dan diubah-ubah hingga hilang eksistensinya. Proses ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid mengharuskan syarat ketat dan ada adab-adab ilmiah yang tak boleh dilanggar.

Sungguh, kehidupan umat di masa lalu layak menjadi ibrah. Saat mereka berpegang teguh pada syariat Islam, umat Islam hidup penuh kemuliaan. Mereka mampu menjawab semua tantangan zaman dan mampu tampil sebagai pemimpin peradaban cemerlang.

Cukuplah ayat Allah ini kita renungkan: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (QS Al Maidah: 49). Wallahu a’laamu bi as-showwab.

Penulis: Desi Trisnawati (Pemerhati Masalah Sosial dan Remaja)
Komentar

Tampilkan

Terkini