-->

SKPK yang Tidak Menolak Usulan Pemborong dari Dewan Terindikasi Langgar Aturan, Ketua LAKI: Kita Laporkan!

29 Mei, 2022, 16.30 WIB Last Updated 2022-05-29T12:03:12Z


 Ilustrasi
LINTAS ATJEH | ACEH TAMIANG - Persoalan tentang dugaan adanya intervensi dari para oknum dewan di Aceh Tamiang dalam pelaksanaan proyek hasil pokok-pokok pikiran (Pokir) dengan cara menunjuk atau menyiapkan pihak ketiga (kontraktor) ke sejumlah dinas teknis (SKPK) sudah menjadi rahasia umum, sesuatu yang lazim dan jadi tradisi selama bertahun-tahun.

Sesungguhnya persoalan tersebut merupakan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku, karena dan fungsi anggota dewan hanyalah sebatas mengusulkan aspirasi/kebutuhan konstituen mereka kepada pemerintah, setelah itu biar pemerintah melalui dinas terkait yang mengatur mekanisme kerjanya serta menentukan siapa rekanan yang layak untuk mendapatkan pekerjaan itu.

Selain mengusulkan, adapun tugas dan fungsi anggota dewan selanjutnya, yakni melakukan pengawalan serta mengawasi proyek-proyek pokir yang telah mereka usulkan kepada pemerintah agar benar-benar dikerjakan sesuai rencana dan tepat sasaran.

Demikian disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Laskar Anti Korupsi Indonesia (DPC LAKI) Kabupaten Aceh Tamiang, Syahriel Nasir kepada LintasAtjeh.com, Minggu (2/05/2022).

Kemudian dijelaskan oleh Nasir, berdasarkan penelusuran tim investigasi LAKI Aceh Tamiang bahwa persoalan tentang dugaan adanya intervensi para oknum dewan di Aceh Tamiang dalam pelaksanaan proyek hasil pokir dengan cara menunjuk atau menyiapkan pihak ketiga (kontraktor) ke sejumlah dinas teknis (SKPK) telah berlangsung lama.

Bahkan diduga kuat hampir semua oknum dewan memiliki jatah paket proyek pokir yang tersebar di beberapa dinas teknis (SKPK ). Dalam praktiknya para oknum dewan menitipkan proyek pokir mereka kepada dinas teknis, seterusnya paket proyek tersebut ditentukan sendiri oleh oknum dewan tentang siapa nantinya rekanan yang ditunjuk untuk mengerjakannya.

"Modus yang digunakan selama ini, para oknum anggota dewan yang memiliki jatah proyek pokir sudah ada daftarnya di setiap dinas, setelah itu akan ada rekanan yang ditunjuk oleh para oknum dewan untuk mengerjakan proyek pokir mereka. Biasanya rekanan yang ditunjuk untuk mengerjakan proyek pokir tersebut sudah jauh hari sebelumnya dimintai dana antara 10 sampai 15 persen oleh para oknum anggota dewan," terang Nasir.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Bahkan, lanjutnya lagi, diduga kuat ada oknum dewan yang mengerjakan sendiri proyek pokir miliknya dan untuk menghindari persoalan hukum di kemudian hari, proyek pokir tersebut dikerjakan dengan menggunakan perusahaan pinjaman atau sewaan. Selama ini disinyalir dana pokir telah dijadikan ladang duit bagi para oknum anggota dewan di Aceh Tamiang.

"Adapun yang menjadi pertanyaan besar kita saat ini yakni, jika berdasarkan aturan yang berlaku, tidak diperbolehkan anggota dewan menyodorkan pemborong untuk mengerjakan usulan pokir mereka, lalu kenapa selama ini dan juga pada tahun ini pihak dinas terkesan tidak berani menolaknya? Apakah pihak dinas tidak paham aturan atau berpijak pada aturan yang lebih canggih? Jangan-jangan, ada dugaan telah atau akan menerima suap/gratifikasi?" terang Nasir yang disertai sejumlah pertanyaan.

Menurut Nasir, jika pihak dinas tidak berani melakukan penolakan secara tegas terhadap perilaku dewan yang menyodorkan pemborong ke dinas, maka diduga kuat akan muncul sejumlah permasalahan yang mengarah ke unsur pidana, diantaranya akan munculnya permasalahan jual-beli proyek pokir,  dan muncul juga dugaan adanya tindakan gratifikasi.

Permasalahan lainnya, lanjut Nasir, proyek pokir juga berpotensi pengerjaannya tidak maksimal, sehingga kekhawatiran terhadap kwalitas pekerjaan proyek tersebut, bukan tanpa alasan. Anggaran yang seharusnya masuk dalam kegiatan untuk kepentingan masyarakat justru lebih dinikmati oleh si pemilik pokir.

"Asumsinya jika proyek tersebut diperjualbelikan di angka 10 sampai 15 persen dan dipotong pajak 10 persen, maka otomatis anggaran yang tersisa sekitar 65 persen saja, mana lagi keuntungan yang diambil oleh pihak pembeli minimal 10 sampai 15 persen, maka otomatis anggaran yang terpakai untuk kegiatan hanya tersisa 50 atau 55 persen saja. Itu belum lagi terjadinya pemotongan di sektor lainnya. Perlu diketahui bahwa pada tahun anggaran 2021 kemarin, kami mendapat temuan bahwa ada salah satu proyek pokir dewan di Aceh Tamiang hanya dikerjakan pihak rekanan sekitar 28 persen dari anggaran," beber Nasir.

"Ini tugas besar bagi pihak penegak hukum untuk melakukan penyelidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kami sebagai pegiat lembaga anti rasuah juga terus berusaha mengumpulkan berbagai bahan keterangan dan bukti-bukti tentang dugaan penyimpangan yang dilakukan para oknum pada pelaksanaan program mulia yang bernama pokir, khususnya untuk tahun anggaran 2021 dan 2022," pungkasnya.[ZF]

Komentar

Tampilkan

Terkini