KETIKA kita mengutip kembali sejarah Aceh, kita tidak hanya berlarut dalam masa lalu, tetapi memiliki akar-akar yang bermanfaat untuk menjadikan cerminan bagi generasi muda mendatang. Salah satu tonggak penting dalam sejarah pemerintahan islam di Aceh adalah masa pemerintahan Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah, penguasa pertama Kesultanan Islam Peureulak pada tahun 840 M. Ia bukan hanya sekadar raja yang hanya berfokus pada politik, tetapi juga pemimpin spiritual yang dapat mengubah wajah politik dan pemerintahan Aceh menjadi bernapas Islam.
Sayyid Maulana Abdul Aziz merupakan putra mahkota dari seorang pemuda Quraish yang menikah dengan seorang putri dari istana Pereulak. Oleh karena itu, beliaulah yang kemudian di angkat menjadi kerajaan pereulak pertama yang mendeklarasikan islam sebagai agama resmi kerajaan islam Pereulak pada tanggal 1 Muharram 225H. Setelah peresmian tersebut beliau digelar dengan nama Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azizsyah (225-249 H/840-864).
Pembentukan sistem pemerintahan dan politik islam merupakan reretan dari awalnya pekembangan masyarakat islam di Aceh, hal ini sudah tertulis dalam sebuah naskah lama yang bertulisan tangan dengan nama Idhharul Haq yang menceritakan awal terbentuknya sistem pemerintahan dan politik islam di Aceh.
Pada tahun 173 H/800 M terdapat sebuah kapal yang berasal dari Kambey (Gujarat) yang berlabuh di Bandar Pereulak. Kapal tersebut membawa rombongan Muballigh (juru dakwah) yang di pinpim oleh khalifah. Rombongan ini berasal dari berbagai penjuru wilayah seperti Arab Quraish, Palestina, dan India. Namun, mereka bukan hanya berfokus dalam menyebarkan islam saja, namun juga memiliki keahlian seperti mahir dalam pertanian, perdagangan, kesehatan, tata kelola pemerintahan, hingga strategi dalam peperangan sebagai pendakwah mereka juga membawa ilmu dan keterampilan yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dari hasil tenaga kerjanya muballigh berhasil memikat sebagian masyarakat untuk memeluk agama islam dan sebagian dari pendatang tersebut berkeluarga dengan anak dara tempatan di daerah tersebut.
Sistem pengurusan kerajaan islam di aceh mendekati dengan sistem pemerintahan daulah abbasiyah. Hal ini telah di pengaruhi oleh para pendatang tersebut yang telah membantu dan membangun kepengurusan dalam berbagai bidang terutama bidang pendidikan. Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azizsyah langsung menyusun lembaga-lembaga kerajaan yang lebih berpedoman kepda sistem kerajaan daulah abbasiyyah di baghdad. Sebagai seorang kepala negara, pemimpin yang tertinggi langsung menyusun lembaga-lembaga kerajaan yang menjadi pembantunya seperti: wazir al-siyasah (menteri politik/dalam negeri), wazir al-harb (menteri pertahanan/keamanan), wazir al-maktabah (menteri administrasi/setia usaha negara), wazie al-sunduk (menteri perekonomian/kewangan), dan wazir al-hukkam (menteri kehakiman).
Pemerintahan dibagi secara sistematis, tidak berbeda jauh dari konsep pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam sistem demokrasi modern. Selain menteri-menteri yang telah di tunjukkan di atas, sultan juga mengumpulkan beberapa ulama dalam majlis fatwa dengan seorang pimpinan yang bergelar mufti. Untuk dapat mendirikan lembaga pendidikan di setiap kampung dengan nama madrasah. kemudian nama ini lebih dikenal meunasah bagi orang aceh. Selain untuk di jadikan tempat belajar untuk kanak-kanak, meunasah juga di pergunakan untuk tempat shalat jamaah dan sebagai tempat musyawarah, pengambilan Keputusan bagi masyarakat. Dalam sistem ini, suara Masyarakat akan dihargai.
Sistem pemerintahan di Aceh berdasarkan jabatan kehakiman dalam Kerajaan Aceh disusun secara teratur dan berjenjang, sesuai dengan tingkat pengurusan wilayah. Pada tingkat paling bawah, yaitu di gampông (desa) dan mukim, urusan kehakiman dijalankan langsung oleh keuchik dan tengkue imum, dengan bantuan beberapa orang pembantu. Kehakiman di tingkat nanggroe, jabatan kehakiman dipegang oleh seorang qadhi, yang dianggotai oleh para Ulèëbalang, imum, keuchik, serta ulama-ulama setempat.
Sementara itu, pada tingkat pusat atau Mahkamah Agung, kekuasaan kehakiman dijalankan oleh seorang Kali Malikôn Adé yang didampingi oleh empat orang mufti. Untuk kasus-kasus besar yang memerlukan pertimbangan lebih luas, Mahkamah Agung akan melibatkan para pembesar dan ulama yang tergabung dalam Balai Gadéng sebagai anggota tambahan dalam proses pengambilan keputusan. Sumber hukum dalam sistem kehakiman Kerajaan Aceh terdiri dari dua unsur utama, yaitu hukum agama dan hukum adat. Hukum agama bersumber dari Al-Qur’an, hadits, qiyas, dan ijma’ berdasarkan mazhab Syafi’i. Sementara itu, hukum adat berasal dari kebiasaan masyarakat serta peraturan yang ditetapkan oleh sultan, yang dikenal sebagai sarakata dan dihimpun dalam Adat Meukuta Alam. Putusan dari mahkamah tingkat bawah dapat diajukan ke Mahkamah Agung untuk proses banding atau kasasi.
Dalam pelaksanaannya, sistem kehakiman dibagi dalam beberapa bidang. Hukum agama dikelola oleh para ulama, hukum adat ditangani oleh sultan bersama pembesar kerajaan dan cendekiawan, hukum Qanun diurus oleh kaum wanita, sementara adat istiadat setempat diserahkan kepada ketua pengurus di masing-masing daerah.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Pembagian ini menunjukkan adanya struktur yang rapi dan peran yang jelas dalam sistem hukum kerajaan. Sebagai kerajaan Islam terbesar dan terkuat di Asia Tenggara, Kerajaan Aceh memiliki sistem pertahanan yang tangguh dan terorganisir. Pasukan militernya terdiri dari tentara tetap dan tentara cadangan. Tentara tetap ditempatkan di daerah-daerah strategis yang diawasi oleh Balai Laksamana, sedangkan tentara cadangan disiapkan oleh Ulèëbalang atau Pang dan terdiri dari pria maupun wanita yang telah terlatih secara intensif.
Kekuatan maritim Aceh juga sangat menonjol, dengan armada laut yang terdiri dari kapal-kapal perang besar dan kokoh, dilengkapi meriam serta awak kapal yang disiplin. Kapal-kapal ini mampu mengangkut hingga 700–800 prajurit, mencerminkan keahlian tinggi rakyat Aceh dalam teknologi pembuatan kapal.
Di darat, pasukan Aceh memiliki unit infanteri, artileri, serta kavaleri gajah. Gajah-gajah tersebut tidak hanya terlatih dalam peperangan, tetapi juga digunakan untuk menarik kapal di pantai. Dalam pertempuran besar, pasukan ini biasanya dipimpin langsung oleh Laksamana atau panglima perang pilihan, menunjukkan koordinasi militer yang kuat dan modern untuk masanya.
Sebelum terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam, wilayah Aceh terdiri dari sejumlah kerajaan kecil seperti Kerajaan Peureulak, Samudera Pasai (Kerajaan Pasè), Pidie (Syahir Poli), Daya, Teumieng (Beunna) dll. Beberapa dari kerajaan tersebut telah lebih dahulu dipengaruhi oleh ajaran Islam. Kerajaan Peureulak sudah sejak awal dikelola berdasarkan prinsip-prinsip Islam, hasil dari dakwah para pedagang dan ulama dari Arab dan India. Islam diterima dengan baik oleh masyarakat, sehingga nilai-nilai syariat pun mewarnai kehidupan politik, pemerintahan, hingga pendidikan.
Lembaga pendidikan seperti Zawiyah Bukét Cék Brék dan Zawiyah Cot Kala menjadi pusat lahirnya ulama-ulama besar. Demikian pula dengan Kerajaan Samudera Pasè yang dipimpin oleh Malik al-Saleh. Di bawah pemerintahannya, sistem politik dan administrasi negara dijalankan berlandaskan hukum Islam. Ia dikenal sebagai pelopor penyebaran Islam di kawasan tersebut, yang kemudian menjadi fondasi utama terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Ketika Sultan Ali Mughayat Syah mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam, pengelolaan politik dan pemerintahan semakin kuat berlandaskan ajaran Islam. Hal ini berlanjut di masa para sultan setelahnya hingga Sultan Muhammad Daud Syah, sultan terakhir Aceh yang ditawan Belanda pada 1903.
Puncak kejayaan politik Aceh terjadi pada masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dan dilanjutkan oleh putrinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, yang memimpin dengan kebijaksanaan dan kecakapan. Dalam hal hubungan luar negeri, dasar diplomasi Aceh dimulai oleh Sultan Ali Riayat Syah Al-Qahhar yang menjalin hubungan dengan Turki Utsmani. Kerja sama ini diperkuat oleh Sultan Alaiddin Mansur Syah dan diteruskan oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah (Saidil Mukammil), termasuk pengiriman ahli militer dari Turki dan pemberian hak mengibarkan bendera Turki di kapal-kapal perang Aceh. Hubungan erat ini menjadi simbol persahabatan dan perlindungan antara Aceh dan kekhalifahan Islam terbesar saat itu.
Melalui semua sistem yang telah dibangun dari pemerintahan, hukum, pendidikan, hingga pertahanan dapat di tinjau bahwasanya Aceh telah lama menjalankan praktik-praktik pemerintahan yang bijak, partisipatif, dan religius. Terdapat ruang musyawarah, ada keseimbangan antara kekuasaan dan rakyat, terdapat juga penghormatan terhadap hukum dan adat istiadat yang berlaku di daerah setempat.
Dalam konteks demokrasi modern saat ini,, nilai-nilai islam ini sangat relevan. Jika sistem musyawarah yang telah lama dikenal dalam kehidupan desa dan komunitas lokal diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka kita bisa menciptakan demokrasi yang bukan hanya formal, tapi juga substansial. Prinsip keadilan dalam hukum Islam dan adat mencerminkan semangat konstitusionalisme rakyat yang memperjuangkan kesejahteraan dan kesetaraan, termasuk dalam partisipasi perempuan dan peran masyarakat secara luas.
Dari sejarah pada masa kesultanan Maulana Abdul Aziz Syah, kita belajar bahwa pemerintahan yang baik bukan hanya tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi tentang nilai, visi misi, dan keberpihakan kepada rakyat. Aceh telah menunjukkan bahwa kearifan lokal dan nilai-nilai Islam bisa membentuk sistem pemerintahan yang kuat, adil, dan berwibawa. Kini, tinggal bagaimana generasi penerus bangsa mau menggali kembali warisan leluhur itu, bukan hanya sekadar untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pondasi dalam membangun demokrasi yang lebih bermartabat. Sudah saatnya kita belajar dari masa lalu untuk menata masa depan yang lebih manusiawi dan cemerlang.
Mari jadikan sejarah Aceh sebagai inspirasi untuk membangun masyarakat yang tidak hanya demokratis, tetapi juga berakhlak, bermusyawarah, dan menjunjung tinggi keadilan dan nilai-nilai islam. Karena bangsa yang besar bukan hanya yang maju teknologinya, tapi yang juga bijak merawat akar budayanya.
Penulis: Sarah Salsabila (Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry)