-->

Empat Pulau Marwah Aceh Singkil yang Tercaplok: Ketika Penguasa Tutup Mata dan Rakyat Kehilangan Tanahnya

11 Juni, 2025, 21.08 WIB Last Updated 2025-06-11T14:08:20Z
ACEH SINGKIL kembali mengukir luka di tanahnya bukan oleh bencana, bukan karena gelombang laut yang menggulung pantai, tapi oleh kebijakan yang menampar marwah. Empat pulau yang menjadi bagian sah dari wilayah administratif dan identitas sejarah Aceh Singkil kini telah dicaplok dan digeser dalam diam ke wilayah Sumatera Utara oleh keputusan Kementerian Dalam Negeri. Ironisnya, saat batas wilayah kita digeser secara sepihak, para pemangku kekuasaan di daerah maupun provinsi memilih bungkam, seolah-olah kehilangan tanah bukan perkara besar.

Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang—empat nama yang sejak dulu menjadi penanda tapal batas Aceh Singkil, kini seperti telah "dipindah tangan" tanpa perlawanan. Bagaimana bisa empat pulau ini, yang secara geografis, historis, bahkan kultural menyatu dengan masyarakat Singkil, tiba-tiba masuk ke dalam peta administratif Sumatera Utara? Apakah ini murni kesalahan pemetaan, ataukah ini cerminan lemahnya peran pemerintah daerah dalam menjaga wilayahnya sendiri?

Kami menilai ini adalah pengabaian. Pengkhianatan terhadap marwah. Dan lebih dari itu, ini adalah bentuk ketidakmampuan atau lebih tepatnya ketidakpedulian penguasa terhadap tanah yang mereka janjikan untuk jaga. Di mana Bupati Aceh Singkil ketika surat keputusan itu keluar? Di mana Gubernur Aceh ketika tanah rakyatnya dicaplok dalam dokumen negara? Mengapa tak ada suara lantang dari wakil rakyat kita di DPRA, DPR RI, apalagi Kemendagri sendiri?

Kami bukan hanya kehilangan tanah, kami kehilangan kedaulatan atas identitas. Masyarakat yang bermukim dan menggantungkan hidupnya di perairan sekitar pulau-pulau itu kini berhadapan dengan ketidakpastian hukum dan administrasi. Apakah mereka masih orang Aceh? Apakah mereka masih bagian dari Singkil? Atau kini mereka secara paksa harus tunduk pada otoritas yang bahkan tak pernah menjadi bagian dari sejarah hidup mereka?

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Dan yang lebih menyakitkan, ini semua terjadi dalam diam. Tidak ada langkah hukum yang tegas, tidak ada konferensi pers dari pemimpin daerah, tidak ada upaya serius membela tanah sendiri. Seakan-akan, kehilangan empat pulau adalah sesuatu yang bisa diterima. Seakan-akan, marwah Aceh Singkil tak lebih penting dari jabatan dan kenyamanan politik.

Saya, sebagai pegiat sosial, bukan hanya menyuarakan keresahan, tapi memanggil kesadaran. Hari ini empat pulau kita digeser dari peta Aceh. Jika ini dibiarkan, besok lusa siapa yang menjamin daratan kita tidak akan ikut "digeser"? Jika pemimpin terus diam, jika rakyat terus didiamkan, maka satu per satu hak kita akan diambil dan kita akan menjadi tamu di tanah sendiri.

Empat pulau itu bukan sekadar gugusan tanah, mereka adalah bukti eksistensi Aceh Singkil. Mereka adalah warisan geografis dan sejarah yang tak bisa dibarter dengan politik diam. Maka kepada Bupati, Gubernur, DPRK, DPRA, dan seluruh otoritas yang masih mengaku mewakili rakyat, kami berkata: Bangunlah! Bela wilayahmu! Jangan biarkan Aceh Singkil menjadi cerita tentang daerah yang tanahnya dicuri tanpa perlawanan.

Karena jika tanah kita bisa dicaplok tanpa suara, maka harga diri kita sebagai bangsa juga bisa dipindah tanpa kehormatan.

Penulis: Rahman S.H (Pegiat Sosial Aceh Singkil)
Komentar

Tampilkan

Terkini