LINTAS ATJEH | GAYO LUES - Ketua DPC APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) Gayo Lues, Suhardiansyah, sekaligus pengusaha kilang padi UD. Netral, secara terbuka mempertanyakan klaim surplus padi yang disampaikan Dinas Pertanian Gayo Lues, pada 3 Juni 2025 lalu.
Dalam bincang santai yang digelar di Blower Coffee House, pada Selasa sore (10/06/2025), sekira pukul 17.00 WIB. bersama Kang Juna dari Media Seputar Gayo Lues dan wartawan LintasAtjeh.com, Is, Suhardiansyah mengungkapkan keraguannya terhadap keabsahan data yang diumumkan oleh Kepala Dinas Pertanian tersebut.
“Kalau memang Gayo Lues surplus beras, harusnya kita lihat ada kelebihan stok beras lokal di pasaran. Tapi faktanya, beras yang beredar justru banyak yang berasal dari luar daerah,” ujar Suhardiansyah dengan nada kritis.
Kenyataan Tak Sesuai Klaim, menurutnya, kondisi di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Mayoritas beras di pasaran Gayo Lues berasal dari daerah lain, terlihat dari kemasan bermerek luar. Sementara itu, beras dari petani lokal belum memiliki merek yang jelas, bahkan cenderung tak dikenal publik.
Selain soal kemasan, Suhardiansyah juga menyoroti tidak adanya tanda-tanda distribusi besar-besaran hasil panen beras lokal.
"Kalau surplus, pasti terlihat pergerakan distribusi mobil pengangkut, aktivitas di jalan, dan lainnya. Tapi ini tidak kelihatan,” ujarnya.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Suhardiansyah juga mempersoalkan data produktivitas padi per hektare. Kepala Dinas Pertanian mengklaim bahwa hasil gabah mencapai 4,8 ton per hektare, sedangkan menurut hitungan pelaku usaha penggilingan padi seperti dirinya, angka riil di lapangan hanya sekitar 2,9 ton per hektare.
“Kami tahu persis, satu hektare sawah hanya hasilkan sekitar 2,9 ton gabah. Itu sudah pengalaman bertahun-tahun. Satu hektare setara dengan enam kaleng bibit. Data kami jelas dan konkret,” ungkap Suhardiansyah.
Jika angka 2,9 ton ini dikalikan dengan total luas sawah versi dinas yakni 4.246 hektare, maka total produksi hanya sekitar 12.313 ton gabah. Jumlah ini dinilai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat Gayo Lues secara mandiri.
Ia pun memaparkan konversi gabah ke beras sebagai dasar hitungan praktis di lapangan.
Dari 11 kg gabah kadar 20%, setelah dijemur menjadi 9,8 kg kadar 14%.Hasil penggilingan 9,8 kg gabah tersebut hanya menghasilkan sekitar 6,7 kg beras, sisanya menjadi limbah berupa sekam : 1,27 kg, dedak : 1,75 kg, dan menir (beras pecah): 0,08 kg.
Atas dasar ketimpangan data tersebut, Suhardiansyah mendesak Pemerintah Kabupaten Gayo Lues, khususnya Bupati, untuk segera menginstruksikan evaluasi ulang terhadap data hasil gabah dan pemetaan lahan persawahan secara komprehensif.
“Jangan sampai masyarakat dibuai dengan data optimis, sementara di lapangan kenyataannya jauh berbeda. Kita perlu kejujuran data untuk kebijakan yang benar,” tutupnya.[Is]