INDONESIA belum lama menapaki sejarah elektoral yang cukup membanggakan. Pemilu serentak yang digelar beberapa tahun lalu memperlihatkan betapa rakyat, meski dengan keterbatasan infrastruktur dan kesenjangan literasi politik, mampu hadir dalam satu panggilan demokrasi. Di sana, dalam satu hari, rakyat memilih presiden, anggota DPR RI, DPD RI, dan juga perwakilan mereka di tingkat daerah. Kompleksitas teknis yang dihadapi saat itu tidak bisa disangkal, tetapi hasilnya cukup memuaskan. Tidak hanya dalam hal partisipasi, tetapi juga dalam meneguhkan legitimasi politik yang menyeluruh. Pemilu serentak telah membentuk satu denyut nadi republik, menyatukan kehendak rakyat dari pusat sampai pelosok.
Namun, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024, arah itu seolah ditarik mundur. Pemilihan anggota DPRD kabupaten, kota, dan provinsi akan digeser ke waktu yang terpisah dari pemilu nasional. Alasannya teknis dan normatif, tetapi dampaknya jauh lebih luas. Pemisahan ini bukan sekadar soal jadwal. Ia adalah keputusan yang mengubah tata hubungan antara ruang dan waktu politik, antara aspirasi rakyat dan arah kebijakan negara.
Dalam pengalaman demokrasi modern, pemilu bukan hanya peristiwa memilih, tetapi proses menyatukan konteks. Ketika seorang warga memilih presiden dan memilih wakil daerahnya dalam hari yang sama, ia memaknai pilihannya dalam kerangka yang utuh. Ia bisa menimbang janji pusat dalam kaitannya dengan kebutuhan lokal. Ia bisa melihat partai atau calon tidak semata dari baliho atau jargon, tetapi dari kemungkinan keterpaduan antara kebijakan makro dan kenyataan mikro yang ia hadapi sehari-hari. Keserentakan itu bukan hanya efisiensi logistik, tetapi efisiensi batin; semacam simpul politik yang menyatukan peta harapan.
Dengan pemilu yang dipisah, simpul itu dilepaskan. Rakyat diundang dua kali untuk mencoblos dalam konteks yang terpisah, dengan materi yang berbeda, dalam jarak waktu yang tidak sedikit. Dalam jeda itu, ingatan politik bisa memudar, kejelasan pilihan bisa melemah, dan keterkaitan antara pusat dan daerah menjadi kabur. Yang lebih serius, koordinasi kebijakan berpotensi terhambat. Presiden dan DPR yang terpilih lebih dulu akan mulai bekerja tanpa dukungan penuh dari struktur legislatif daerah. Padahal, banyak program pembangunan bersifat lintas sektor dan lintas wilayah. Tanpa DPRD yang sinkron, roda negara bisa tersendat di tingkat provinsi dan kabupaten.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Argumen bahwa pemilu serentak terlalu melelahkan bagi petugas dan peserta cukup bisa dipahami. Tetapi kita seharusnya belajar dari pengalaman, bukan melupakannya. Perbaikan manajemen pemilu, pelatihan penyelenggara, serta pemutakhiran teknologi bisa menjadi solusi. Bukan dengan membelah waktu dan membebani rakyat dua kali. Risiko kelelahan justru berpindah ke ruang partisipasi. Rakyat yang sebelumnya datang dengan satu semangat, kini harus membagi perhatian, energi, dan kadang kepercayaan.
Lebih dari sekadar penjadwalan, pemisahan ini juga memunculkan risiko sistemik di level lokal. Tingkat pengawasan publik cenderung lebih lemah, dinamika politik uang lebih sulit dikendalikan, dan polarisasi bisa lebih tajam. Ketika sorotan nasional menghilang, arena lokal menjadi lebih rentan terhadap praktik transaksional. Dalam situasi itu, suara rakyat bukan lagi alat penentu, melainkan alat tukar yang dilemahkan oleh jarak dan kelelahan kolektif.
Bagi partai politik, pemisahan ini juga menuntut kesiapan yang tidak sederhana. Logistik harus dikalkulasi ulang, strategi harus dijalankan dua kali, dan konsolidasi harus dilakukan dalam rentang yang lebih panjang. Dalam praktiknya, yang diuntungkan adalah kelompok yang telah mapan; kelompok yang memiliki dana besar untuk menguasai jaringan lokal. Akibatknya partisipasi justru semakin asimetris.
Kita tidak sedang menolak perubahan, tetapi perubahan yang tidak mempertimbangkan relasi sosial, psikologis, dan politik rakyat bisa menjauhkan kita dari tujuan demokrasi itu sendiri. Jika pemilu serentak sebelumnya telah menunjukkan bahwa rakyat mampu mengelola kompleksitas dengan damai dan antusias, maka alangkah bijaknya untuk memperbaiki kekurangannya, bukan merombaknya secara total.
Demokrasi bukan hanya prosedur, tetapi juga proses kebersamaan dalam menentukan masa depan. Ketika rakyat memilih, mereka tidak hanya menjalankan hak, tetapi juga menata harapan. Maka waktu pemilu bukan sekadar kalender, melainkan medan tempat makna dibangun. Jika waktu itu dipisah tanpa kejelasan arah, makna pun bisa ikut retak. Dan ketika makna terputus dari pengalaman hidup rakyat, demokrasi berubah menjadi ritual tanpa ruh. Dalam situasi seperti itu, pertanyaan mendasarnya bukan lagi apakah rakyat akan memilih, tetapi apakah pilihan mereka masih mampu menjangkau hidup yang mereka perjuangkan.
Penulis: Arvindo Noviar (Ketua Umum Relawan Prabowo Budiman Bersatu - PRABU)