LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Ketika mahasiswa telah menyelesaikan seluruh rangkaian akademik, termasuk sidang skripsi, seharusnya beban mereka juga selesai. Namun realitanya di USK menunjukkan praktik sebaliknya: mahasiswa tetap diwajibkan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), meski aktivitas akademiknya sudah tuntas.
Situasi ini bukan saja tidak masuk akal secara administratif, tapi juga tidak adil secara moral. Untuk apa membayar UKT jika mahasiswa tidak lagi menggunakan fasilitas kuliah, tidak mengikuti kelas, tidak konsultasi dosen, bahkan tidak lagi aktif dalam kegiatan akademik kampus?
“Ini bukan lagi soal administrasi. Ini bentuk eksploitasi sistematis terhadap mahasiswa,” tegas Rizki Akbar, Mahasiswa FKP USK kepada media ini, Senin (21/07/2025).
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Pihak kampus berdalih bahwa sistem UKT ditarik per semester, bukan berdasarkan aktivitas. Tapi dalih ini mengabaikan realitas konkret: mahasiswa pasca-sidang hanya menunggu wisuda, bahkan banyak yang sudah bekerja atau pulang ke daerah masing-masing.
“Kami dituntut menyelesaikan studi tepat waktu. Tapi saat sudah selesai, justru kampus masih memaksa bayar seolah kami belum selesai. Ini seperti kita dipaksa membayar sewa rumah yang sudah kita tinggalkan,” ujar Bactra ketua BEM FKP USK 2024.
Masalahnya bukan hanya UKT. Masalahnya adalah cara kampus melihat mahasiswa: bukan sebagai subjek pendidikan, tapi sebagai objek pemasukan. Pendidikan jadi transaksi. Skripsi jadi komoditi. Wisuda jadi beban biaya baru.
Catatan tegas, UKT semestinya proporsional jika mahasiswa tidak lagi menggunakan layanan kampus, maka pembebanan biaya penuh adalah tindakan tidak etis dan menyalahi prinsip keadilan akademik.[*/Red]


