MASIH SEGAR dalam ingatan kita, tenda bertuliskan BNPB banyak terpasang rapi di jembatan sungai Tamiang, Kecamatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang yang ternyata baru dipasang menjelang kedatangan Presiden Prabowo Subianto (detik.com,13/12/2025).
Kemudian saat kunjungan kerja Presiden RI Prabowo Subianto Aceh Tamiang, Jumat (12/12/2025), warga menyoraki Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di tengah kondisi wilayah yang masih terdampak banjir dan longsor, sebagai bentuk kekecewaan atas pernyataannya sebelumnya kepada Presiden yang menyebut listrik di Aceh telah menyala 97 persen, sementara hingga pascabanjir aliran listrik di Aceh Tamiang belum kembali normal, sehingga warga meneriakkan tuntutan tanggung jawab bahkan meluapkan sumpah serapah terkait janji “lampu hidup” yang tak kunjung terealisasi (aceh.tribunnews.com, 13/12/2025).
Potret matinya kemanusiaan juga bisa kita saksikan di masyarakat seiring air banjir mulai surut. Harga penyeberangan yang sangat tidak wajar menjadi isu hangat hingga saat ini. Sejumlah relawan kemanusian mengaku ikut mengalami hal serupa. Mereka harus membayar hingga Rp3 juta hanya untuk mengantar bantuan melewati sungai di Kuta Blang yang jaraknya hanya sekitar 150 meter (harianrakyataceh.com, 13/12/2025).
Ketiga peristiwa tersebut menunjukkan satu benang merah yang sama bahwa dalam logika kapitalisme, keselamatan dan martabat manusia kerap berada di urutan terakhir setelah citra, laporan, dan keuntungan, sehingga banjir di Aceh bukan sekadar bencana alam, namun juga menyuguhkan potret bagaimana sistem yang terang-terangan mengabaikan nyawa rakyat yang seharusnya dilindungi serta di mana solidaritas dikalahkan oleh logika untung-rugi.
Solidaritas yang Jadi Komoditas.
Ketika bencana hadir, yang seharusnya tampil paling depan adalah negara dengan seluruh perangkatnya: memastikan keselamatan, menjamin kebutuhan dasar, memulihkan kehidupan masyarakat dengan cepat dan bermartabat, hingga menjebloskan para aktor yaitu sejumlah pemimpin perusahaan yang diduga sebagai penyebab terjadinya bencana dan menuntut ganti rugi dari mereka. Bukanlah tugas negara untuk kemudian kembali menggalang donasi dari sesama rakyat agar anggaran penanggulangan bencana menjadi bertambah.
Namun yang terlihat justru sebaliknya: negara sibuk merapikan citra. Pemasangan tenda BNPB di Aceh Tamiang menjelang kedatangan presiden, misalnya, yang justru mencerminkan watak birokrasi yang lebih takut pada penilaian atasan daripada jeritan warga. Bencana disulap menjadi panggung seremonial. Dokumentasi menjadi lebih utama daripada distribusi bantuan yang merata.
Sorakan warga kepada Menteri ESDM pun seharusnya dibaca sebagai akumulasi kekecewaan yang telah lama dipendam. Ketika listrik disebut menyala 97 persen di hadapan presiden, sementara warga masih hidup dalam gelap, pernyataan itu bukan hanya keliru secara data, tetapi juga memangkas habis rasa kemanusiaan.
Akibatnya, rakyat tidak tertangani dengan sebagaimana mestinya. Harga penyeberangan yang mencekik di Kuta Blang adalah contoh telanjang bagaimana solidaritas bisa mati ketika keuntungan dijadikan tujuan utama. Sungai yang seharusnya menjadi jalur penyelamatan berubah menjadi ladang bisnis. Relawan kemanusiaan, yang datang dengan niat membantu, justru diperas oleh situasi. Sebuah cerminan sistem yang menormalisasi eksploitasi bahkan dalam situasi bencana.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Kapitalisme, dengan logika untung-ruginya, memang tidak pernah benar-benar memihak pada kemanusiaan. Dalam sistem ini, segalanya diukur dengan efisiensi dan keuntungan. Nyawa manusia sering kali hanya menjadi variabel yang tidak berharga. Ketika negara tunduk pada logika tersebut, fungsi perlindungan rakyat pun melemah.
Bagaimana Jalan Keluarnya?
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam telah mewanti wanti umat jauh jauh hari. Beliau menerangkan bahwa ideologi yang landasannya adalah pemisahan agama dari kehidupan atau ideologi sekuler bertentangan dengan fitrah manusia. Ideologi ini sama sekali tidak memandang aspek spiritual dalam kehidupan umum, serta memandang kehidupan dunia semata-mata sebagai sarana memperoleh manfaat. Hubungan antarmanusia pun dibangun berdasarkan asas manfaat semata.
Ideologi semacam ini tidak menghasilkan apa pun selain kesengsaraan dan keresahan yang terus-menerus. Selama manfaat dijadikan sebagai asas kehidupan, hal tersebut akan memicu perselisihan dan baku hantam dalam memperebutkannya. Hubungan antarmanusia yang mengandalkan kekuatan akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Oleh karena itu, penindasan kepada yang lebih lemah oleh yang lebih kuat pun dipandang sebagai hal yang lumrah oleh para penganut ideologi ini, dalam rangka melindungi dirinya sendiri. Akhlak menjadi goyah dan tidak stabil, sebab manfaat semata dijadikan sebagai dasar kehidupan.
Berbeda dengan sistem sekuler yang hanya indah bungkusnya saja, memihak kepada rasa kemanusiaan bukanlah janji kosong dalam Islam melainkan diatur pula tatacaranya. Islam meletakkan upaya memelihara nyawa (hifzhu an-nafsi) sebagai salah satu tujuan syariah. Syariah mewujudkan hifzhu an-nafsi melalui berbagai hukum, termasuk juga larangan atas apapun yang menyebabkan dharar (bahaya) dan mengancam keselamatan baik bagi diri sendiri, orang lain atau masyarakat.
Firman Allah SWT.:
"Sungguh orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada kaum Mukmin laki-laki dan wanita, kemudian mereka tidak bertobat, bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar." (TQS al-Buruj ayat 10).
Namun terkait pelaksanaannya, kepala negara harus menjadi yang terdepan. Sabda Rasulullah saw.:
"Seorang pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, juga menekankan pentingnya fungsi keamanan dalam pemerintahan. Dirinya menerangkan bahwa menjaga ketertiban dan keamanan termasuk tujuan terbesar dari kekuasaan (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 275).
Alhasil, terjaminnya rasa aman terutama keamanan kaum muslimin, tentu tak mungkin bisa ditegakkan dalam sistem pemerintahan yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler) seperti saat ini. Namun itu hanya dapat diterapkan sepenuhnya di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Hal ini karena hanya Khilafahlah satu-satunya yang bisa diharapkan bertanggung jawab penuh melindungi nyawa warganya melalui penerapan syariah Islam secara sempurna. Khilafah akan selalu memastikan rasa aman, mencegah penyimpangan sosial dan menindak tegas setiap pelanggaran bahkan menanamkan hal itu ke dalam diri tiap individu.
Sesuai Sabda Nabi SAW:
"Kaum Muslim itu bersaudara. Ia tidak menzalimi saudaranya dan tidak membiarkan saudaranya itu (dalam kesusahan)" (HR al-Bukhari).
Dengan begitu, perlindungan nyawa manusia terutama kaum muslimin terjamin di dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh.
Penulis: Hadi Irfandi (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh serta aktif mengisi media online dengan tulisannya seputar Dakwah Ideologis. "Dari membaca, revolusi berkobar" adalah mottonya)

