PENONAKTIFAN Haji Mirwan dari jabatan Bupati Aceh Selatan selama tiga bulan oleh Menteri Dalam Negeri menandai lebih dari sekadar penerapan norma administratif dalam sistem pemerintahan daerah. Peristiwa ini adalah krisis politik yang menyentuh jantung legitimasi kekuasaan lokal. Dalam tradisi politik pemerintahan modern, kekuasaan yang sah tidak hanya ditentukan oleh legalitas prosedural, tetapi oleh sejauh mana ia diterima dan dipercaya oleh publik. Di titik inilah persoalan Aceh Selatan menjadi relevan, bukan hanya bagi daerah, tetapi juga bagi wajah demokrasi lokal Indonesia.
Kasus ini memperoleh eskalasi nasional karena diberitakan luas oleh media arus utama dan mendapat atensi langsung Presiden Prabowo Subianto. Ketika isu lokal masuk ke radar kekuasaan pusat, maknanya berubah. Ia tidak lagi dibaca sebagai persoalan personal seorang kepala daerah, melainkan sebagai indikator tata kelola dan etika kekuasaan di tingkat daerah. Dalam teori state-local relations, situasi semacam ini sering kali menjadi medan uji antara otonomi daerah dan kewenangan korektif negara.
Dalam konteks tersebut, penonaktifan Haji Mirwan menghadirkan paradoks demokrasi. Di satu sisi, negara wajib menegakkan aturan dan disiplin administratif. Di sisi lain, seorang bupati adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Ketika mandat elektoral dibatasi oleh keputusan administratif, yang dipertaruhkan bukan hanya posisi individu, tetapi juga rasa keadilan politik masyarakat. Aceh, dengan sejarah panjang ketegangan pusat-daerah dan pengalaman traumatis konflik, memiliki sensitivitas politik yang tinggi terhadap isu semacam ini.
Jika saya berada di posisi Haji Mirwan, saya akan memulai dari kesadaran bahwa krisis ini bukan sekadar soal mempertahankan jabatan, melainkan soal memulihkan legitimasi. Max Weber telah lama membedakan antara kekuasaan legal-rasional dan legitimasi yang hidup dalam kesadaran sosial. Ketika yang pertama melemah, yang kedua menjadi penentu keberlanjutan kekuasaan. Dalam politik lokal, legitimasi sosial sering kali jauh lebih menentukan daripada payung hukum semata.
Legitimasi, Negara, dan Politik Persepsi
Dalam kajian politik pemerintahan, legitimasi kepala daerah dibangun melalui tiga dimensi utama, yaitu kepatuhan pada hukum, kinerja pemerintahan, dan komunikasi politik. Penonaktifan ini jelas mengguncang dimensi legalitas. Namun yang lebih berbahaya adalah dampaknya terhadap persepsi publik tentang kinerja dan integritas kepemimpinan. Data nasional dari berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa krisis kepercayaan terhadap pejabat publik sering kali dipicu bukan oleh pelanggaran itu sendiri, melainkan oleh kegagalan menjelaskan dan mengelola persepsi.
Di Aceh Selatan, situasi ini berpotensi menimbulkan stagnasi birokrasi. Dalam teori governance, ketidakpastian kepemimpinan menciptakan “institutional hesitation”, di mana aparatur negara cenderung defensif, lamban mengambil keputusan, dan lebih fokus pada penyelamatan diri daripada pelayanan publik. Fakta ini bukan asumsi abstrak. Pengalaman sejumlah daerah di Indonesia menunjukkan bahwa penonaktifan kepala daerah hampir selalu diikuti perlambatan realisasi program dan anggaran.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Karena itu, langkah strategis yang seharusnya diambil Haji Mirwan adalah mengalihkan fokus dari pembelaan personal ke konsolidasi politik. Di tingkat elite, komunikasi dengan partai-partai pengusung menjadi keharusan. Partai politik bukan sekadar kendaraan elektoral, tetapi institusi yang menopang stabilitas kekuasaan. Dalam sistem demokrasi perwakilan, retaknya hubungan dengan partai sering kali berujung pada delegitimasi yang lebih dalam.
Relasi dengan DPRK Aceh Selatan juga harus dikelola secara cermat. Dalam filsafat politik Montesquieu, pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah tirani, bukan menciptakan konflik permanen. Menegaskan kembali komitmen terhadap agenda pembangunan dan kepentingan publik di hadapan legislatif adalah langkah penting untuk menjaga legitimasi institusional pemerintahan daerah.
Namun, politik kekuasaan tidak hanya bergerak di ruang formal. Di Aceh, legitimasi sering kali ditentukan oleh aktor-aktor sosial non-negara, yaitu ulama, tokoh adat, pimpinan dayah, dan jaringan masyarakat sipil. Mereka adalah produsen makna yang membentuk cara masyarakat memahami sebuah krisis politik. Jika ruang ini dibiarkan kosong, maka narasi negatif akan mengeras menjadi “kebenaran sosial” yang sulit dipatahkan.
Di sinilah pentingnya komunikasi politik yang jujur dan empatik. Bukan retorika pembelaan, melainkan penjelasan yang terbuka tentang posisi, kesalahan, dan langkah korektif. Hannah Arendt mengingatkan bahwa kekuasaan hanya bertahan selama ada persetujuan kolektif. Ketika persetujuan itu hilang, hukum dan aparat sekalipun tidak cukup untuk menopang legitimasi.
Tantangan terbesar datang dari lanskap digital. Media sosial telah mengubah politik menjadi pertarungan persepsi yang berlangsung tanpa jeda. Data Kementerian Kominfo menunjukkan bahwa isu politik daerah yang viral di tingkat nasional hampir selalu dipicu oleh amplifikasi digital. Dalam konteks ini, sikap diam bukanlah netralitas, melainkan kekalahan komunikasi. Namun respons yang emosional juga berbahaya, karena justru memperkuat framing negatif.
Jika saya menjadi Haji Mirwan, saya akan memilih jalan komunikasi yang tenang, berbasis data, dan berlandaskan etika. Keberanian menyampaikan fakta, mengakui kekurangan, dan menunjukkan itikad perbaikan adalah modal politik yang sering kali lebih kuat daripada serangan balik populis. Politik pemerintahan pada akhirnya bukan tentang menang dalam perdebatan sesaat, melainkan tentang menjaga kepercayaan jangka panjang.
Penonaktifan ini adalah ujian serius bagi kualitas demokrasi lokal. Apakah kekuasaan dipahami semata sebagai jabatan, atau sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada rakyat. Bagi Aceh Selatan, taruhannya bukan hanya masa depan seorang bupati, tetapi arah legitimasi pemerintahan daerah di tengah demokrasi yang semakin diawasi publik. Jika krisis ini dikelola dengan kedewasaan politik dan kesadaran filosofis tentang makna kekuasaan, ia bisa menjadi titik balik. Jika tidak, ia akan menjadi catatan tentang bagaimana kekuasaan runtuh bukan karena hukum, tetapi karena kehilangan kepercayaan rakyat.
Penulis: Teuku Mudasir akrab disapa Cek Mu (Tokoh Masyarakat Aceh Selatan)

