-->




Terjajah 'Abrasi' di Negeri Tapak Tuan Tapa

30 April, 2017, 13.28 WIB Last Updated 2017-04-30T06:28:05Z


SIANG itu cuaca cukup terik, namun tidak menyurutkan Tim Lintas Atjeh, Aceh Selatan News dan PPWI Aceh Selatan untuk menuju lokasi abrasi, tepatnya jalan menuju Desa Siurai-urai dan Koto Indarung, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.

Dengan menggunakan satu unit mobil minibus, tim bergegas menuju lokasi. Tidak ada yang berbeda situasi perkampungan yang kami lewati sepanjang jalan Manggamat, hanya pengemudi kami sesekali mengurangi pedal gasnya dan menginjak rem karena masih ada jalan rusak dan berlubang disana-sini.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, tim sampai di jembatan gantung menuju Desa Siurai-urai dan Koto Indarung. Mobil terpaksa kami tinggalkan diujung jembatan karena tidak bisa dan tidak mungkin menyeberangi jembatan itu. Resiko terkecil, mobil babak belur tergores tali dan pagar jembatan, resiko terbesar mobil amblas dan hanyut di aliran Sungai Kluet karena beberapa alas dari papan sudah tidak layak dilewati meskipun dengar cerita masyarakat setempat ‘ada juga’ mobil jenis carry yang bisa lewat. Tapi tetep saja ngeri membayangkannya!

Akhirnya, kami harus berjalan kaki kurang lebih 2 km dibawah terik matahari. Sepanjang perjalanan, hanya satu dua orang kami temui berjalan kaki pulang dari kebun. Sementara beberapa kendaraan berpapasan dengan kami, berhubung ada satu orang warga Koto Indarung yang akan pulang akhirnya Lintas Atjeh menumpang untuk sekalian melakukan wawancara soal jalan yang terputus, sedangkan tiga orang tim tetap semangat dalam kelelahan menuju lokasi.
Sepanjang perjalanan, Lintas Atjeh mendapatkan informasi penting tentang abrasi Sungai Kluet yang sudah memutuskan akses jalan utama menuju Desa Siurai-urai dan Koto Indarung, Kecamatan Kluet Tengah, yang berdampak terhadap perekonomian dua desa tersebut. Selain susahnya mengangkut hasil bumi dua desa seperti sawit, pinang, kemiri, cabai, jagung, padi dan lainnya, juga sangat menghambat aktivitas masyarakat dan pelajar. Yang lebih mirisnya, beberapa masyarakat harus eksodus (keluar dari desa) karena sudah tidak nyaman dengan kondisi jalan yang tidak mendapatkan solusi dari pemerintah daerah.

Tiba di lokasi, Lintas Atjeh kemudian langsung mengabadikan beberapa buah gambar dengan telepon genggam serta merekam cuplikan video ganasnya Sungai Kluet mengikis tebing pinggir gunung serta hamparan sungai yang semula merupakan perkampungan Siurai-urai yang hilang tersapu derasnya aliran sungai. Termasuk dua unit sepeda motor warga yang diparkir di pinggir jalan dengan ditutupi daun-daunan di jok motornya karena tidak bisa melewati jalan itu.
Selang beberapa menit kemudian, Aceh Selatan News, PPWI dan juru foto sampai juga di lokasi dengan wajah lelah, baju dan kaos basah berkeringat setelah menempuh perjalanan 2 km tanpa membawa air mineral. Namun lelah terobati, setelah tim bisa melihat lokasi abrasi yang memutuskan jalan kedua desa tersebut secara langsung. Apalagi derita masyarakat kedua desa tersebut baru saja ramai diperbincangkan netizen di media sosial.
Amatan tim, jalan di pinggir gunung tepat di bibir Sungai Kluet hanya selebar 2 meter sangat tidak layak untuk digunakan apalagi sewaktu-waktu bisa amblas terkikis derasnya aliran sungai dan setiap saat bisa mengancam jiwa masyarakat setempat yang melewati jalan darurat itu.

Terlihat dua sepeda motor berpapasan dan harus saling menahan diri untuk memberikan kesempatan salah satunya jalan duluan melewati jalur roda yang kondisinya becek dan harus ektra hati-hati. Bahkan satu pengendara harus turun dari sepeda motornya ketika mau terjatuh karena lengah menjaga keseimbangannya. Alhamdulillah, jalan akhirnya bisa dilalui.

Beberapa saat kemudian Keuchik Desa Siurai-urai bertemu dengan tim yang sudah diberitahukan oleh warganya ketika kami menitipkan pesan saat berpapasan. Sempat kami duduk beberapa saat sembari mendengarkan cerita dari Keuchik Cut Min. Tak berapa lama juga datang Keuchik Desa Koto Indarung, namun kemudian kami bergegas menuju Desa Siurai-urai untuk melakukan wawancara sembari mencari warung untuk membeli air mineral sekedar melepas dahaga karena sedari tiga jam lalu hanya sanggup menelan ludah.

Setelah kerongkongan sedikit basah dengan beberapa teguk air mineral botol, sesi wawacara pun kami lakukan. Mau baca beritanya klik disini, disini juga, ini juga.
Setelah dirasa cukup, tim bergegas untuk pulang, saat itu kami putuskan untuk minta diantar pak keuchik menggunakan sepeda motor hingga ujung desa. Namun rencana berubah karena Keuchik Siurai-urai bermaksud mengantarkan kami menggunakan perahu tempel sekaligus melihat kondisi bekas kampung yang hilang diterjang abrasi serta melihat lokasi rencana normalisasi sungai yang selama ini diharapkan warga Siurai-urai dan Koto Indarung.

Dengan perasaan sedikit was-was, tim satu persatu naik ke perahu tempel. Setelah naik, do’a pun kami panjatkan semoga perjalanan lancar dan selamat sampai ke tujuan. Perahu tempel dari kayu yang terlihat sedikit bocor di sisi kiri lambung perahu menambah rasa was-was kami berempat ditambah sang juru mudi. Sekira 10 menit perjalanan kami berhasil mendarat dengan selamat dan langsung menuju lokasi rencana normalisasi meski melewati pasir berlumpur dan berbatu.

Di tempat ini, tim disusul oleh tim pendamping desa. Mereka meninjau lokasi normalisasi yang rencananya akan dibangun menggunakan anggaran dana desa dan akan dituangkan dalam musrembang mendatang. Meskipun anggaran tersebut nantinya akan sia-sia, namun akan dimusyawarahkan, karena selayaknya solusi yang paling tepat harus menggunakan anggaran APBK, APBA, APBN atau dana Otsus.
Sekitar 30 menit berada di lokasi bekas perkampungan kami berpamitan untuk kembali ke Tapaktuan karena hari sudah mulai menjelang senja. Kami pun bersalaman dengan Keuchik Siurai-urai, Tuha Peut, mantan pendamping desa dan beberapa warga yang turut mendampingi. Tim lalu diantar oleh Joss begitu namanya dipanggil sang juru mudi perahu tempel membelah Sungai Kluet berarus deras. Selama perjalanan menyusuri derasnya arus sungai, hati kami terselip do’a agar dua desa tersebut yakni Desa Siurai-urai dan Koto Indarung akan segera mendapatkan solusi sehingga jalan yang terputus cepat teratasi, sungainya dinormalisasi. Dengan harapan masyarakat kedua desa tersebut kembali pulih perekonomiannya dan masyarakat yang selama ini eksodus bisa kembali lagi ke kampung halamannya. Sehingga tidak perlu lagi mengulangi memori lama “kembali ke jaman Belanda”. Aamiin YRA.....
Komentar

Tampilkan

Terkini