-->

Derita korban konflik yang lumpuh dan terlupakan

02 Mei, 2014, 20.10 WIB Last Updated 2014-05-02T13:28:51Z
Lintasatjeh.com - Konflik yang berkepanjangan di Aceh antara RI-GAM sudah berakhir. Akhirnya, gejolak yang meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah berhasil dihentikan melalui meja perundingan damai yang menghasilkan nota kesepahaman ditandai dengan MoU Helsinki di Finlandia, 15 Agustus 2005 silam.

Namun, sisa-sisa konflik masih meninggalkan duka dan nestapa bagi korban konflik dan keluarganya. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian dari Pemerintah Aceh untuk membantu masyarakat korban konflik. Bahkan ribuan korban lainnya pun hingga saat ini masih banyak yang tidak tersentuh uluran pemerintah.

Duka itu sepertinya akan terus dirasakan Mohammad Isa, pria kelahiran 1971 warga desa Alur Kaol, Kecamatan Ranto Selamat, Kabupaten Aceh Timur. Dikarenakan sudah hampir 3 tahun dirinya tergeletak lemah dengan kondisi tubuh mulai mengecil dan mengalami kelumpuhan.

Jum'at (2/5/2014) siang, wajahnya layu bercampur duka, ketika Wartawan Lintasatjeh.com bertandang ke kediamannya di desa Alur Kaol.

Dengan nafas sedikit tertahan, Mohd. Isa mulai membuka kisahnya, katanya, sewaktu konflik sekitar tahun 2003 dirinya dan keluarga mengungsi di daerah Bayeun Kede. Kebetulan siang itu dirinya kembali kerumahnya di Alur Kaol yang rencananya untuk mengambil kasur dan barang-barang lainnya. Namun sampai didekat rumahnya tiba-tiba dirinya ditangkap oleh BKO (Aparat TNI/Polri dari luar Aceh_red), menurut pengakuannya kala itu ia juga disekap dan dipukuli oleh aparat BKO.

Singkat cerita, akibat pukulan tersebut berpengaruh terhadap fisiknya bahkan semakin hari kondisi kesehatannya semakin menurun. Tidak sedikit usaha untuk memulihkan kesehatannya, bahkan kebun dan ternak sapi yang selama ini jadi penopang hidup sudah terjual untuk biaya berobat.

Sementara itu, sang istri yang setia mendampinginya Maimunah, mengungkapkan dirinya harus berjuang keras untuk mencari nafkah karena kondisi kesehatan suaminya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bekerja karena mereka harus menghidupi keenam anaknya yang masih kecil-kecil.

"Kami sudah pasrah dengan kondisi suami saya sekarang, sudah 3 tahun terakhir ini suami tidak berdaya dan tidak bisa kerja apa-apa lagi. Kondisinya sudah sangat lemah duduk pun sudah tidak bisa lagi," katanya dengan raut sedih.

Dulu, cerita Maimunah, waktu konflik sempat mengungsi di Bayeun Kede, dengan menyewa rumah. Lalu suaminya waktu itu pulang ke desa dengan maksud mau mengambil kasur serta barang-barang lainnya. Tapi, tiba-tiba di sekitar rumahnya, suaminya ditangkap sama BKO karena dianggap kelompok gerakan separatis GAM.

"Lalu suami saya disekap dan dipukuli sama mereka, hingga akhirnya kondisi suami saya sekarang seperti ini tidak berdaya. Kami tidak punya biaya lagi untuk berobat, karena sapi, kebun, semua sudah terjual untuk biaya berobat suami," tuturnya.

Maimunah dan suaminya mengaku saat ini hanya bisa berharap perhatian dari pihak Pemerintah Aceh. Sebab, sudah tidak punya apa-apa lagi, anak-anak masih kecil dan Maimunah terpaksa menjadi buruh kasar untuk melanjutkan hidupnya bersama keluarga, "itu juga kalau ada orang yang babat ladang kalau tidak saya harus mencari buah pinang yang bisa kami jual," pungkasnya penuh harap.[la/ar]








Komentar

Tampilkan

Terkini