-->

Saat debat, Jokowi keliru bilang Persiden

13 Juni, 2014, 20.45 WIB Last Updated 2014-06-15T11:06:22Z
Lintasatjeh.com - Ada yang luput dari pantauan terkait debat capres-cawapres edisi pertama. Selain soal kertas yang terlihat jelas terselip di balik jas yang dikenakannya, Jokowi juga salah menyebut kata Presiden dalam debat yang digelar KPU beberapa waktu lalu itu.

Adalah anggota Tim Sukses Prabowo-Hatta, Fahri Hamzah yang mengungkapkan kekeliruan Jokowi itu.

"Pak Jokowi keliru mengucapkan kata presiden. Dia bilang persiden," kata Fahri kepada wartawan di Jakarta (Kamis, 13/6).

Fahri sependapat ada banyak perbedaan antara Jokowi dan Prabowo dalam debat. Disebut kubu Jokowi-JK Prabowo tampil grogi, beda dengan Jokowi yang tampil tenang, Fahri menduga karena jagoannya kaget dengan penampilan Jokowi dalam debat.

"Pak Prabowo kaget karena tidak menyangka Pak Jokowi memakai jas. Disangkanya akan pakai kemeja kotak-kotak," selorohnya.

Secara umum kata Fahri, analisa sederhana dari debat nampak bahwa Prabowo bicara tentang negara sementara Jokowi lebih banyak bicara mengenai tatanan sebuah kota. Dari perspektif kepemimpinan, Jokowi terlihat lebih dominan menunjukan dirinya sebagai proyek manajer, adapun Prabowo memiliki visi membangun negara.

Dikatakan lebih lanjut oleh politisi PKS ini, memang sangat dibutuhkan kombinasi generalis dan manajer dalam kepemipinan nasional, dan karakter ini terisi oleh karakter Prabowo-Hatta. Menurut dia, suatu bangsa memerlukan suatu inspirasi, ide, simbol, atau hal-hal yang terkadang tidak rasional, perlu kebanggaan, harga diri, martabat seperti yang disampaikan Prabowo dalam debat, dan untuk urusan eksekusi kebijakan nampak terisi oleh Hatta.

"Makanya kami suka tagline Soekarno-Hatta, Prabowo-Hatta. Ini untuk mengingatkan saja bahwa ada generalisnya, ada manajernya, ada orang yang mengekseskusinya pada tataran teknis.
Berbeda dengan Prabowo-Hatta, pasangan Jokowi-JK menurut Fahri, nampak dua-duanya memposisikan diri sebagai manajer. Kedua-duanya berbicara banyak soal eksekusi lapangan.

"Kalau terlalu teknis kedua-duanya bahaya karena mengelola kota berbeda dengan mengelola negara. Kota dikelola dalam lanskap negara kesatuan, yang sudah dapat perlindungan banyak dari negara. Ada perlindungan hukum, budget, dan lain-lain karena dia ada dalam negara. Tapi kalau negara, maka kita bicara tentang global, regional, diniamika internasional dan lain-lainnya," demikian Fahri.

Sumber: RMOL








Komentar

Tampilkan

Terkini