Lintas Atjeh - Perselisihan seputar ekstremis Negara Islam (IS, sebelumnya ISIS atau Negera Islam Irak dan Syam) menyulut perpecahan di kalangan kelompok garis keras di Indonesia dan mengikis otoritas terpidana pemimpin kelompok intoleran yang kini mendekam di balik jeruji penjara, Abu Bakar Baasyir.
Putra-putra Bashir baru-baru ini menyatakan diri keluar dari organisasi ekstremis yang didirikan ayahnya, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), karena menolak berbaiat kepada IS dan "khalifah" al-Baghdadi, menurut Jakarta Post.
Baasyir, yang sedang menjalani hukuman penjara 15 tahun di Lembaga Pemsyarakatan Nusakambangan, memerintahkan seluruh anggota JAT yang tidak mendukung IS untuk meninggalkan organisasi itu.
Putra-putranya, Abdul Rohim (juga dikenal dengan Iim) dan Rosyid Ridho, membentuk kelompok sempalan Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), dengan sesumbar, memiliki 2000 pendukung, menurut Post.
Kelompok itu masih merupakan ancaman keamanan nasional, menurut Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang menambahkan JAS dalam daftar organisasi teroris.
"Jika mereka mengatakan tujuannya adalah untuk menjauh dari JAT dengan tujuan mendirikan hukum syariah, apa perbedaan antara keduanya? Pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana mereka akan mencapai tujuan mereka," kata Ansyaad.
"Kami akan melanjutkan upaya penegakan hukum kami terlepas dari bertambahnya organisasi baru. Keselamatan warga negara lebih penting."
"Saya benar-benar tidak melihat apa yang membuat JAS berbeda dari JAT, kecuali bahwa JAS menolak untuk melakukan baiat (sumpah setia) kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi."
Pakar terorisme, Noor Huda Ismail mengatakan kedua organisasi itu memiliki ideologi yang sama.
"Kita semua tahu bahwa hampir seluruh tindakan terorisme di Indonesia didukung oleh radikal Islam (baca: Wahhabi)--termasuk Jemaah Islamiyah (JI), JAT, Mujahidin Indonesia Timur (MIT)--dan mereka semua memiliki tujuan yang sama: mendirikan negara Islam baru, tetapi tanpa demokrasi. JAS tampaknya mengakomodasi ideologi ini," ujar Noor yang juga ketua Yayasan Prasasti Perdamaian.
Menurut Wawan Purwanto, pakar terorisme di Universitas Indonesia, pembentukan JAS bisa mengakibatkan dampak negatif.
"Ini bisa menjadi tempat di mana teroris berkumpul kembali untuk memperkuat tujuan mereka dan berbagi sumber daya," kata Wawan kepada Khabar. Ia mendesak pemerintah untuk meminta dukungan dari masyarakat "sehingga mereka dapat terlibat secara kuat dalam pencegahan terorisme". [islamtimes.com]