-->

Sepenggal Kisah "Pengepungan Paya Cot Trieng" Menuju Damai Aceh

06 Januari, 2015, 12.45 WIB Last Updated 2015-01-06T08:06:37Z
BANDA ACEH - Kisah ini sengaja kutulis bukan untuk mengorek luka lama, namun hanya sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Semoga tulisan ini menjadikan semangat untuk menjaga perdamaian Aceh. Berawal di Camp Manok Meu'aneuk Komando Wilayah Pase, ini merupakan awal ceritaku. Menurut beberapa temanku, aku termasuk anggota TNA termuda, tak pernah mudah menyerah dalam keadaan apapun. Walau dalam situasi terjepit, aku masih tetap semangat untuk meneruskan cita-cita perjuangan. 

Imran namaku, aku terpanggil dalam sebuah perjuangan setelah mempelajari sejarah asal muasal Neugara Aceh. Waktu itu aku belajar dari seorang mantan Tokoh GAM tahun 90an, Tgk. Muhammad. Sejak saat itulah, aku mulai tekun mempelajari sejarah Aceh masa lalu yang pernah jaya dan bermartabat. Aku juga mendapatkan pelajaran dari membaca buku-buku tentang Aceh yang diberikan oleh teman, belajar dari teman seperjuangan serta kerabat-kerabat dekat.

Kalau kita cerita tentang perjuangan maka akan sangat panjang ceritanya, aku lebih suka menceritakan pengalaman saat berjuang dulu. Salah satu pengalaman yang sangat getir ketika aku dikepung oleh Pasukan TNI dalam jumlah yang lumayan banyak. Waktu itu, aku baru balik dari gampung menjenguk Ayah sakit, tiba-tiba pasukan TNI melihatku dan langsung menembaki dari atas kereta jam-8 malam. Dengan bantuan doa orang tua dan berkat Surat Yasin, aku selamat. Ketika itu, aku melompat ketepi jalan dan merangkak ke rumah orang dan bersembunyi dibalik kursi bambu yang sudah tua. Dibalik kursi tua itulah, aku berdoa dan membaca ayat-ayat suci Alquran. Dengan izin Allah SWT, aku selamat dari terjangan peluru. Masih kuingat kata-kata hujatan dari anggota TNI terhadap diriku waktu ini. Namun semua itu hanya tinggal kenangan dan aku menganggap semua itu adalah suka duka perjuangan yang harus dihadapi seorang tentara pejuang kemerdekaan. Aku tak pernah menyesali keputusan hati untuk ikut berjuang bersama TNA lainnya.

Pada kesempatan ini, aku juga akan menceritakan betapa mesra dan bersatunya waktu itu, antara pasukan di seluruh Aceh, hubungan erat itu susah kita dapatkan dalam masa sekarang ini. Waktu itu, kalau jumpa sering meneteskan air mata karena merasa masih diselamatkan oleh Allah SWT. Hubungan melalui HT (Handy Talky) selalu bersahut, terutama ketika membuat penyerangan dan sesudah penyerangan, atau ketika diserang dan sesudah diserang. Kini, rindu juga aku mengenang suasana akrab itu kembali, tapi masa telah berubah, semua ada pandangan masing-masing. Dan itu wajar menurutku, kelak kuharap kemesraan itu akan kembali terjalin seperti dulu. Walaupun sebenarnya semua berharap agar kemesraan itu jangan cepat berlalu.

Adapun tentang perubahan perang dari bersenjata ke perang politik, memang sudah diwanti-wantikan oleh pemimpin pasukan/komandan, karena perang senjata bukan salah satu perang untuk menyelesaikan masalah Aceh. Bagiku dan para kombatan lainnya, akan menerima apapun keputusan yang diambil oleh pemimpin, sebagai tentara, kami TNA hanya patuh pada pemimpin dan komandan. Dan keadaan itupun datang di tahun 2005, dimana GAM setuju berdamai dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI), maka kamipun rela melepaskan kekasih kami pertama kali AK-56 untuk dimusnahkan, dan kami kembali berbakti kepada Negeri Aceh seperti layaknya rakyat biasa yang bernaung dibawah Komite peralihan Aceh (KPA).

Tentang kombatan yang hidup susah menurut saya, itu adalah tanggung jawab pemimpin, karena kombatan itu kebanyakan masih muda waktu ikut berjuang, jadi untuk meneruskan hidup setelah perang sangatlah susah bagi kami. Dan yang kami tahu hanya pegang senjata, kalau pemimpin tidak lupa, mereka masih bisa kembali melihat isi MoU tentang hak eks kombatan. Dimana tunjangan sosial, pekerjaan dan bantuan ekonomi akan diberikan kepada eks kombatan. Jadi sebenarnya menurut kami, tak usahlah para eks kombatan mengetuk pintu rumah para pemimpin untuk mendapatkan hak kami seperti yang tertuang dalam butir-butir MoU. 

Menyangkut masalah kesalahfahaman didalam tubuh KPA, bagi kami itu adalah penilaian yang salah. Sebenarnya tidak ada kata perpecahan dalam tubuh KPA, tapi yang ada hanya salah pengertian. Memang ada istilah "pengkhianat". Hal itu, karena masih kuatnya perasaan/jiwa tentara dalam tubuh para pejuang, jadi yang pindah rumah/keluar dari "group" dan meninggalkan kawan langsung,langsung dinamakan pengkhianat. 

Pada dasarnya, aku tidak suka membicarakan tentang masalah yang ada sekarang, karena terlalu complicated untuk menjelaskannya. Sebab itulah, aku lebih suka berbicara tentang pengalaman ketika aku masih dalam perang dulu.
Kembali kepada kisah perang. Aku masih ingat ketika stock makanan sudah menipis dan hampir tak cukup, maka daun kayu, binatang hutan yang halal jadi peyangga lapar dan peran masyarakat kampung yang sangat penting pada waktu ini. Tanpa masyarakat kampung maka perjuangan itu tak sampai kemana-mana. Tidak ada enaknya memang kalau kita pikirkan, tapi demi perjuangan, semuanya sakit dan siksa harus kami telan. Perselisihan dan salah pengertian memang kadang-kadang datang, tapi kalau kesilapan itu datang dari masyarakat, maka kita akan panggil dan menasehati mereka. Kalau kesilapan datang dari anggota TNA maka komandan regu yang akan menasehatinya, begitulah kerja untuk menghindari kesalahpahaman agar permasalah tidak menjadi panjang. 

Yang tidak kurang menariknya adalah ketika anggota TNA kekurangan amunisi. Melalui tulisan ini, aku bisa menjelaskan bahwa banyak cara untuk mendapatkannya, baik itu dikirim dari luar Aceh atau TNA mendapatkannya dari jaringan lokal, sebab jaringan lokal juga tidak kalah hebatnya dalam hal jual beli amunisi "sorry" ini bukan untuk mengadu domba teman-teman dari TNI, ini hanyalah cerita pengalaman hidupku 12 tahun yang lalu.

Ketika tidak ada penyerangan atau diserang, maka para anggota TNA seperti biasa akan belajar ideologi dan membaca Al-Qur'an serta tidak lupa membersihkan senjata. Keberanian dan semangat yang membara adalah salah satu senjata andalan untuk terus bertahan kata. Menarik juga jika kuceritakan bagaimana situasi seorang TNA ketika diserang dan terpaksa bertahan, dan kalau sudah kehabisan amunisi terpaksa mundur tanpa memikirkan kemana arah. Sehingga tidak heran kalau seorang prajurit TNA akan hilang arah selam 4 atau dua minggu untuk bisa kembali bergabung dengan pasukan seperti sedia kala. Tapi hal itu sangatlah jarang terjadi, sebab biasanya yang duluan nyerang adalah TNA. Jadi sudah dapat diperkirakan kemana harus menyelamatkan diri setelah bertempur.

Bicara masalah tempur, sedikit kujelaskan, banyak perang di daerah Pase, Peureulak, Aceh Selatan/meulaboh dan sekitarnya, sedangkan Linge/Gayo kadang-kadang. Dan yang paling jarang adalah daerah Pidie. Cuma bisa kita maklum, perang dengan senjata bukanlah tujuan utama, sebab perang hanya membuktikan kepada dunia bahwa Aceh punya angkatan bersenjata. Jadi kalau ada daerah yang jarang perang kita tidak bisa menghakimi mereka dengan tuduhan yang negatif. Kalau ada yang bilang cara gerilya prajurit TNA tidak bagus itu wajar saja, karena masing-masing angkatan bersenjata ada cara mereka tersendiri, dan tidak boleh dibanding-bandingkan dengan cara gerilya ditempat lain. TNA punya cara tersendiri untuk menghadapi musuh.

Aku mencontohkan bagaimana cara prajurit TNA untuk menangkis serangan pagar betis oleh TNI di Cot Trieng. Kira-kira tahun 2002 hari Rabu sore, ada kabar dari AIA (Aceh Inteligent Agency) yang mengatakan bahwa Pasukan TNI sudah bergerak sebanyak 6 truk Reo ke arah Nisam dan Ujong Pacu. Didalam truk itu penuh dengan pasukan tempur TNI, dan tepat jam 6 sore truk itu pulang ke arah Kota Lhokseumawe dengan muatan kosong.
 
Kamis malamnya kami mendapat info dari "Pantauan/Intel Jalan" dari Ujong Pacu, dari di Gampong Blangkareing, dari Bergang Kuta Makmur, semua info mengabarkan bahwa Ratusan Pasukan TNI telah merapat ke arah Rawa Cot Trieng. Walaupun begitu kami masih bersikap tenang dan siap siaga, kami tidak mengambil tindakan apa-apa, karena pasukan TNA menunggu perintah dari Komandan Ops daerah. Jam 10 malamnya barulah berita lebih jelas lagi, melalui telepon yang datang dari pantauan di Nisam mengatakan benar sekali ratusan pasukan TNI sudah merapat, dan keterangan ini disahkan oleh 50 orang yang mengantar info malam itu, baik melaui SMS dan telpon/HP.

Kebetulan hari Rabu siang, kami baru saja menerima tamu dari Linge/Gayo dan dari Peureulak. Kedatangan tamu itu untuk serah terima amunisi dan senjata. Jam 3 sore hari Rabu pasukan dari Linge langsung berangkat pulang. Dan pasukan dari Peureulak masih bersama kami pada saat itu, makanya mereka juga terkepung, salah seorang dari pasukan TNA peureulak adalah Marinir (nama sandinya). Waktu kami dikepung dalam Rawa Cottrieng dengan beberapa regu pasukan TNA, pasukan Siwah yang beranggotakan 25 orang, merapat ke Paya Cot Trieng karena mereka menghindar dari kepungan 1000 jam oleh TNI di Nisam Antara. Dalam keadaan itu anggota TNA yang ada di pegunungan agak terjepit dan terpaksa turun ke bawah/rawa-rawa Cottrieng. Dan saya beserta rekan-rekan di pinggiran Paya Cot Trieng dipimpin oleh Panglima Muda Syaridin Paloh waktu itu, sedangkan pasukan Siwah dipimpin oleh M. Nazar/ Abram Nisam.

Setiap malam, dalam gelap gulita aku dan anggota TNA lainnya terus masuk ke rawa yang tinggi airnya. sekira setinggi leher dan rawa itu, penuh dengan lintah dan lumpur yang membuat kami susah berjalan. Pelan-pelan kami menuju ke tengah rawa, hingga pagi kami masih mendengar dentuman bom dan rentetan suara senapan. Waktu itu sempat masuk SMS dari luar rawa-rawa, kalau ada masyarakat yang tertembak bernama Nurdin. Almarhum lari ketika melihat anggota TNI, jam 5 pagi saat mengambil air wudhu untuk shalat subuh.

Sejak hari Kamis, kami dikepung hingga membuat suasana Gampong Blang Crok dan Gampong Ketapang bagaikan neraka yang dipenuhi dengan wajah-wajah bengis. Berbagai tindakan pelanggaran HAM terjadi di gampong itu. Ketika itu Jubir TNA Sofyan Daud tidak ikut terkepung, karena hari sebelumnya Sofyan Daud telah keluar dari kawasan rawa Cot trieng untuk urusan lain. Sejak malam kedua kami "dihadiahi" dengan tembakan meriam Kodok/Mortir/TP. Waktu itu yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana bisa selamat. Dan terus teringat waktuku masih kecil, ketika bermanja dengan ibu dan bermain dengan teman-teman. Tak lupa mengingat pemimpin yaitu almarhum PYM Wali Tgk. Hasan di Tiro. Dengan deraian air mata dan sambil merayap, aku berdoa kepada yang Maha Kuasa agar kami semua selamat dan terhindar dari sasaran peluru.

Waktu itu yang terperangkap di Cot Trieng ada sekitar 75 orang personil, dari Pasukan Limpeun 15, Pasukan Siwah agam 25, tambah Majelis Daerah I - Pase 12 orang, tambah pasukan komando daerah 1 pase/pengawal Pangda Syaridin Paloh berjumlah 18 orang, dan pasukan yang mengambil senjata yang berasal dari Peureulak ada 4 orang, pasukan Dani paloh ada 8 orang (pasukan Aneuk Gajah). Selama 7 hari terkepung, akhirnya kami selamat dan merapat ke Gampong Alue Dua, kecuali di hari ketiga, ada kawan dari pasukan Siwah Agam yang tertembak satu orang saat menyeberang sungai, nama Nuriman umur 19 tahun. Pengepungan rawa Cot Trieng berlanjut selama 5 bulan sampai bulan Ramadhan tiba. Kami dari kelompok besar berpencar menjadi kecil, waktu itu setiap regu dibagi dengan jumlah 10 orang agar tidak terlalu ramai dalam misi menyelamatkan diri dari sergapan musuh.

Sebenarnya pengepungan di hari ketiga, ada datang bantuan dari pasukan TNA wilayah Linge/Gayo, dan Pasukan Piranha yang dipimpin oleh Ableh Kandang, Bang Pitung dll, untuk mengalihkan perhatian agar pengepungan sedikit longgar. Caranya dengan menyerang Pos Koramil yang jaraknya 3,5 km dari Rawa Cot Trieng. Tetapi pasukan TNI tidak menggubrisnya, malah kami tambah dibombardir, baik melalui Heli dan Pesawat Hawk. Sambil melucuti lintah yang hinggap di leher dan di mulut serta dengan perut yang kosong selama tiga hari tak makan, hanya minum air rawa yang pahit dan asin, aku dan kawan-rekan meneruskan misi agar tetap selamat dari kepungan TNI yang beranggotakan lebih kurang 9 ribu personil waktu itu. Regu pertama yang lolos adalah pasukan Limpeun, tepatnya jam 5 pagi hari Sabtu. Dan yang terakhir adalah pasukan Aneuk Gajah yang dipimpin oleh Dani Paloh. Walaupun semua sudah selamat, tapi TNI masih juga membombardir Paya Cot trieng tanpa henti. Aku dan kawan-kawan bersyukur bisa selamat dari kepungan yang dahsyat itu, Alhamdulillah aku masih bisa melihat Aceh damai.

Rintih damai pertama, waktu COHA, maka perangpun terhenti dan Sofyan Daud mengusulkan agar pasukan dikumpulkan ke barak/kompi masing-masing di Pase, ada 4 kompi dan ditempat lain disesuaikan. Selanjutnya sesudah damai COHA Tahun 2002 diadakan Rapat Komando pusat yang dipimpin oleh Tgk. Usman Lampoh Awe/Ayah Banda. Selama 7 hari acara itu dipotong 30 ekor lembu, berkumpul sekitar 5.000 pasukan TNA dan Petinggi GAM diseluruh Aceh. Atas perintah dari Komando Pusat Tiro, perkumpulan itu diadakan di Pase tepatnya di Nisam Antara sekarang. Singkat cerita gagallah Damai COHA, perundingan di Tokyo Jepang maka kami dan teman-teman TNA lainnya kembali menjinjing AK-56, perang pun bermula lagi. Ya Allah baru 2 bulan merasakan Damai dan zona aman, terus Darurat Militer (DM) diterapkan Hari Senin Tahun 2003.

Penulis: Imran Nisam seorang mantan TNA Wilayah Pase yang cinta perdamaian.
Komentar

Tampilkan

Terkini