-->








Aneh, 3 Pasal di UU Pilkada Raib

24 April, 2015, 21.17 WIB Last Updated 2015-04-24T14:17:36Z
JAKARTA - Masih ingat kasus hilangnya pasal Undang-Undang Tembakau saat disahkan oleh DPR. Kasus serupa kembali terjadi. Kali ini tiga pasal hilang dan tiga pasal baru muncul di UU No 8/2015 tentang Pilkada.

Informasi hilangnya pasal dibeberkan anggota Komisi II DPR Frans Agung MP Natamenggala kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/4).

"Saya sangat prihatin dengan kasus ini," kata Frans.

Natamenggala mengatakan, perdebatan pemilihan kepala daerah langsung atau tidak langsung sudah selesai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2014 bahwa Pilkada dilaksanakan secara langsung.

Kemudian, kata Frans, Perppu tersebut disetujui DPR secara àklamasi menjadi UU No 1/ 2015 dan UU No 8/2015 tentang Perubahan UU No 1/ 2015. Namun justru setelah disahkan di sidang paripurna tiga pasal hilang.

"Namun, UU ini menjadi cacat ketika muncul pasal yang sebelumnya tidak ada dalam UU atau pasal yang sudah dibahas dan disahkan di paripurna DPR pada 17 Februari 2015," katànya.

Frans menyebutkan pasal yang bermasalah tersebut: Pertama, Pasal 42 Ayat 7 UU No 1 Tahun 2015 yang disetujui DPR menyebutkan, "Pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota selain pendaftarannya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik, jugà harus disertai surat persetujuan dari pengurus partai politik tingkat pusat."

Pasal ini, kata Frans, hilang atau tidak ada dalam UU No 8 Tahun 2015.

Kedua, Pasal 87 Ayat 4 UU No 1 Tahun 2015 berbunyi, "Jumlah surat suara di TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam DPT dan daftar pemilih tambahan ditàmbah dengan 2,5% dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan."

Pasal ini, kata Frans, tidak pernah dibahas dan disetujuk dalam paripurna DPR dan perubahan UU No 1 Tahun 2015.

"Tetapi anehnya, pasal ini justru muncul dalam UU No 8 Tahun 2015," ujar Frans lagi.

Ketiga, Pasal 71 Ayat 2 UU No 1 Tahun 2015 mengatakan, "Pengisian jabatan hanya dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan.

"Penjelasan pasal ini tidak pernah dibahas dan disetujui dalam paripurna DPR dalam perubahan UU No 1 Tahun 2015," katanya.

Tetapi penjelasan Pasal 71 Ayat 2 UU No 8 Tahun 2015  yang berbunyi, "dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka gubernur, bupati dan walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas" justru muncul di UU baru ini.

"Kami minta pemerintah mengklatifikasi hal ini," kata politisi Partai Hànurà dari dapil Lampung I.

Dia menegaskan terkait persoalan ini, pemerintah harus menjelaskan mengapa banyak pasal yang muncul setelah pembahasan UU tersebut sudah selesai dan disahkan oleh paripurna.

"Kasus ini semakin merusak citra pembuat UU dan ada pihak tertentu yang ingin merusak pelaksanaan Pilkada. Jadi pemerintah harus menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Kalau dibiarkan akan merambat ke pembuatan UU lainnya," demikian Frans.[rmol]
Komentar

Tampilkan

Terkini