-->




Surat untuk Bapak Jokowi dari Daerah Terpencil

02 Mei, 2015, 22.50 WIB Last Updated 2015-05-02T15:51:16Z
Foto copy KTP pengirim

“PESAN RINDU DARI DAERAH TERPENCIL.”

Kepada Yth.
Bapak Joko Widodo (Jokowi)
Presiden RI
Di-
       Hati Rakyat Indonesia

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam takzim berbingkai hikmah, semoga Bapak senantiasa berada dalam lindungan, bimbingan dan petunjuk Yang Maha Kuasa dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Amin.

Dalam rangka mewujudkan Indonesia yang mandiri dan sejahtera, sebagai seorang pemuda yang selama ini diharapkan dapat menjadi pelopor perubahan bangsa, saya menulis sebuah surat sebagai bentuk curahan hati berbingkai kerinduan akan keadilan dan kesejahteraan di dalam tulisan saya yang berjudul :“Pesan Rindu Dari Daerah Terpencil.”
  
Bapak Jokowi yang terhormat, hampir 70 tahun negeri ini melakukan proklamasi kemerdekaan sebagai momentum yang menyatakan bahwa Indonesia telah berstatus merdeka. Namun, nyatanya masih banyak rakyat Indonesia terutama mereka yang hidup terutama di daerah terpencil yang ada di Aceh hingga detik ini belum layak dikatakan sebagai rakyat yang merdeka. Hak-haknya sebagai warga Indonesia yang merdeka sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak pernah mereka rasakan.

Lingkungan yang kumuh tak tertata, rumah berdinding papan dengan atap rumbia, jaringan komunikasi yang tidak ada, layanan kesehatan yang tidak tersedia, pendidikan dengan guru terbatas dengan fasilitas  seadanya, puluhan meter harus ditempuh berjalan kaki untuk menuju jalan raya ataupun mereka harus melintas gulungan ombak, derasnya arus sungai jika ingin menuju kota dan aneka kepedihan lainnya yang  bagi mereka seakan sudah biasa, begitulah gambaran kehidupan masyarakat di daerah terpencil yang kerap diabaikan oleh pemimpin negeri ini.

Terkadang kesedihan menyentuh jiwa tatkala mendengar beberapa cerita sebagian rakyat disana. Sambil menunjukkan lahan yang dulunya tempat mereka berkebun lada, cengkeh ataupun pala. Di waktu yang lain mereka menunjukkan badan jalan bekas peninggalan di masa belanda, ataupun peninggalan-peninggalan sejarah yang mereka kenang bahwa mereka dulu pernah berjaya. Tak jarang ungkapan miris ku dengar bahwa nenek moyang disana lebih berjaya dikala penjajahan melanda Indonesia dibandingkan saat ini setelah lebih setengah abad proklamasi kemerdekaan dibaca.

 Disini dulu ada kerajaan yang dipimpin oleh raja yang arif dan bijaksana, rakyatnya pernah hidup makmur dan sejahtera, kata sesepuh adat disana dengan sedikit senyum bangga berbalut luka. Bahkan dulunya ketika Belanda menyerang Aceh, disini tempat paling aman untuk para pejuang bersembunyi, ungkapnya.

Di daerah terpencil lainnya, ditemukan anak-anak yang sedang bermain telanjang dada, mata merah seperti orang yang sedang murka bersama ingus yang mengalir dihidung mereka, seakan-akan terlalu gelap masa depan mereka. Rumah-rumah panggung yang dibawahnya tergenang air, laksana tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.  Disela-sela itu, seorang tokoh panutan berkata: “sejak Indonesia merdeka, jangankan presiden, menteri ataupun gubernur, wakil rakyat bahkan caleg sekalipun susah untuk mau datang kesini, padahal kami adalah penduduk asli di kabupaten ini”. Entahlah, begitu angkerkah daerah ini bagi para pemimpin di negeri ini.

Di waktu yang berbeda, naik perahu kecil melawan ganasnya arus sungai selama kurang lebih tiga jam, sampailah ke sebuah kemukiman yang di huni ratusan masyarakat. Namun, ternyata masyarakat disini tidak jarang harus bertahan dari serangan hewan ganas seperti gajah. Di sana pula terlihat sebuah sekolah dasar yang sudah bocor atapnya, sudah keropos dindingnya. Disamping tinggallah seorang lelaki tua, di rumah gubuk yang hampir sama dengan kandang kambing kondisinya. Ternyata disitulah lelaki tua yang tidak lain adalah kepala SD yang berada disebelah hidup selama berpuluh tahun. Ia mengabdikan diri selama itu untuk negeri ini ternyata hanya karena sebuah harapan agar putra-putri daerah ini ke depan jadi orang-orang hebat yang siap membangun kemukiman tersebut. Sungguh mulia niat lelaki tua ini, ungkap ku dalam hati.

Bapak Jokowi yang dirahmati Allah, mereka disana bukanlah masyarakat yang malas, atau tidak layak untuk diperhatikan. Namun, perlu Bapak ketahui bahwa disana ada kerinduan yang sudah sangat mendalam, yakni kerinduan pemimpin negeri yang memiliki cinta dan peduli. Mereka sudah terlalu lama memendam rindu itu, hingga terkadang mereka sudah bosan dengan segenap trik dan janji manis para pemimpin di negeri ini. Jangankah sejahtera, dikatakan merdeka juga belum layak rasanya.
  
Namun, khabar yang berhembus di media, benar atau tidak adanya, ditambah dengan film yang seakan menceritakan kehidupan Bapak, tersiarkan bahwa dulunya bapak juga  berasal dari rakyat kecil, yang pernah alami hidup di pinggir kali dan pernah digusur berkali-kali. Ku yakin Bapak juga mengerti akan jeritan kepedihan di senja hari. Ada rindu yang masih belum dijawab oleh para pemimpin negeri ini, rindu rakyat kecil yang belum sejahtera, rindu rakyat daerah terpencil yang belum merdeka.

Bapak Jokowi yang budiman, terkadang di dalam keheningan malam terlintas dipikiran saya yang penuhi rasa kesal dan geram terhadap pemimpin negeri, bahkan saya berpikir jika sekiranya Bapak membuka lelang untuk jabatan menteri dan saya memenuhi syarat untuk itu. Maka, saya rasanya ingin mendaftar untuk jadi Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, karena begitu risaunya saya menatap nasib mereka disana. Sebenarnya, negeri ini tidak butuh pemimpin yang sebatas cerdas secara intelektualitas, tapi rakyat rindukan pemimpin yang punya hati.

Di akhir surat ini, saya harap Bapak tidak lupa akan filosofi Si Penjual Soto, meski ada pelanggan yang minta lebih asin rasanya, kurang garam, kurang asam dan sebagainya. Tanpa bosan, ia tetap sambut dengan sebilas senyum sambil menyegerakan diri melayani permintaan pelanggan. Begitu juga jika sekiranya dikala Bapak diberi amanah untuk memimpin negeri ini, jawablah rindu rakyat dengan senyuman, datangi rakyat dan bersegeralah untuk melayani meski beragamnya permintaan dan keluhan. Bapak tidak perlu takut dikatakan itu hanya sekedar pencitraan berbingkai blusukan. Namun, tanamkan lah keyakinan jika rindu rakyat terjawab maka rakyat yang akan berada di barisan terdepan membela pemimpin yang patut dijadikan teladan.

Jadilah Bapak sebagai Pemimpin yang siap menjawab kerinduan rakyat, pemimpin yang senantiasa berkasih sayang dengan rakyatnya, sehingga Bapak senantiasa hadir di dalam do’a rakyat Indonesia. Hidup Rakyat Indonesia!! Merdeka !!

Jazakumullah Khairan Katsiran.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Banda Aceh, 27 April 2015
Hormat Saya,


Delky Nofrizal Qutni
Ketua Solidaritas Untuk Rakyat Daerah Terpencil (SuRaDT)
Contact Person : 082360138202
Komentar

Tampilkan

Terkini