-->

[Cerpen] Pinang Aku, Dalam Taman Surga Firdaus (I)

19 Juni, 2015, 08.43 WIB Last Updated 2015-06-19T01:43:37Z
IST
Oleh Monanda Permana

Sebuah Desa bermandikan air hujan, udara dingin menyatu bersama harum tanah yang timbul akibat guyur hujan lebat. Pohon-pohon rindang menari menyambut gembira air keberkahan yang turun dari langit. Sesekali terdengar nyanyian burung-burung yang berlindung dalam peluk dedaunan. Geliat alam begitu hidup di Desa kecil itu.

Di beranda rumah bilik bambu, seorang pemuda berdiri dan menyandarkan lengannya di tiang kayu penyangga rumah bilik bambu itu. Terlihat wajahnya memancarkan cahaya kesedihan. Hingga nyanyian alam pun tak mampu menghibur pemuda itu. Surat yang ia terima sebelum guyur hujan membasahi ranting-ranting kering telah merubah keteduhan wajahnya menjadi kemuraman.

Pagi itu sang surya memancarkan sinar kehangatan karena patuhnya kepada Sang Pencipta. Kehangatan mentari pagi mengiringi langkah kaki seorang gadis bernama Umi yang sedang berjalan di antara pemandangan sawah yang terhampar luas. Hembus semilir angin meniup wajah cantiknya, seakan ingin menyapa.

Hamparan sawah melambai kepadanya, seakan hendak berkenalan dengan gadis bermata jelita itu. Terlihat beberapa petani sudah mulai bergelut dengan sawah mereka masing-masing. Keharmonisan hidup antar sesama makhluk masih terlihat jelas alam dan manusia.

Gadis bermata jelita itu baru pertama kali menginjakkan kakinya di Desa tersebut. Desa itu asing baginya untuk sekedar mencari rumah seseorang bernama Abi. Dia pun mencoba mencari informasi di mana rumah Abi kepada seorang petani yang sedang duduk di sebuah gubuk.

“Assalamu’alaikum, Pak.” Salam gadis itu kepada seorang petani yang duduk di sebuah gubuk.

“Wa’alaikumussalam” Jawab petani itu.

“Maaf Pak, boleh saya numpang bertanya?”

“Oh iya silahkan. Mau tanya apa, nak?” Jawab ramah petani itu.

“Hmm.. Bapak tahu rumah Abi?.”

“Abi?” Petani itu mengerutkan dahi.

“Dia baru pindahan dari kota, pak. Kalau saya tidak salah dia pindah kesini sebulan yang lalu. Bapak tahu? Ujar gadis itu.

“Waduh, saya tidak tahu nak. Apalagi dia orang baru di sini.”

“Oh. Mungkin teman saya itu tahu” petani itu menunjuk ke arah temannya yang sedang menyiangi sawah.

“Din..Udin. Kemari!” Teriak petani itu memanggil temannya yang sedang menyiangi sawah.

Tak lama kemudian, teman petani itu sudah berdiri di hadapan gadis bermata jelita itu.

“Begini Din. Mbak ini mau tanya rumah Abi, apakah kamu tahu?” Tanya petani itu kepada temannya.

“Iya, Pak. Saya mau tanya rumah Abi. Dia baru pindahan dari kota.” Sambung gadis itu.

“Ohh.. Abi yang baru pindahan dari kota itu ya. Iya saya tahu. Ayo, biar saya antar langsung kerumahnya saja mbak.” Jawab teman petani itu.

Gadis bermata jelita itu tampak begitu anggun dengan kerudung merah yang membalut kulit putihnya. Langkahnya begitu tegap ketika kedua kakinya mengayun membelah luasnya hamparan sawah. Tiba-tiba lagkah kakinya terhenti setelah sepasang mata jelitanya melihat sebuah rumah bilik bambu yang ditunjuk oleh seseorang yang mengantarkannya tadi.

“Nah. Itu rumahnya, mbak,” ujar seorang yang mengantar gadis itu.

“Yang ada pohon jambunya itu, pak?”

“Iya benar. Di situ rumah Abi, mbak. Maaf, saya cuma bisa mengantar sampai di sini.”

“Oh iya  tak apa, Pak. Maaf sudah banyak merepotkan bapak.”

“Ah, tidak mbak. Kalau begitu, saya kembali ke sawah dulu ya mbak.”

“Iya. Terima kasih, pak.” Jawab Umi dengan senyum tulus.

Gadis itu masih berdiri terpaku dalam kebisuan ketika matanya mengarahkan pandangannya tepat di rumah bilik bambu itu. Pohon jambu yang berdiri kokoh di depan rumah bilik bambu turut membisu seakan telah mendengar bisik hati gadis berwajah bersih itu. Koloni semut merambat membangun istana di antara dahan-dahan pohon. Ikhlas penuh kecintaan. Tidak ada kebencian untuk berbagi nikmat yang telah Allah SWT taburkan.

Sungguh, gadis itu tak kuasa untuk menahan pergerakan nurani yang berusaha menuntunnya hingga bertemu dengan pria yang pernah meneteskan embun-embun cinta dalam hatinya. Tapi, ini bukan perkara yang mudah untuk ikhlas mengikuti nuraninya. Karena bukan kabar gembira yang ingin ia sampaikan kepada pria itu.

Sejurus kemudian, gadis berparas cantik itu melangkahkan kakinya menuju rumah bilik bambu itu seraya membawa bunga yang ia petik dari taman-taman kerinduan.

“Assalamu’alaikum” Salam gadis itu.

“Wa’alaikumussalam. Siapa?” Suara seorang pria dari dalam rumah.

Gadis itu hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya untuk menjawab pertanyaan seorang pria yang ada dalam rumah itu. Hingga pria dalam rumah itu melihat sendiri siapa yang muncul di hadapannya. Tidak lama kemudian dibukakan pintu rumah itu. Terlihatlah wajah penuh keteduhan menyembul dari balik pintu.

“Aku Abi” Jawab Umi setelah pemuda itu membuka pintu.

“A..Umi!” pria itu terkejut. “Subhanallah, benar kamu Umi?” sambung pria itu.

“Kamu benar Abi. Aku Umi!” Jawab Umi sambil menundukkan wajah.

Abi diam. Hatinya bergoncang hebat setelah mendengar suara yang telah lama hilang dari hidupnya. Kini, suara itu hadir kembali. Suara indah yang pernah ia dengar saat berada dalam taman Quran. Hati yang telah lama kerontang seakan kembali basah oleh guyuran air surga.

“Abi!” Ucap Umi.

Abi terkejut oleh suara Umi, setelah beberapa saat ia hanyut dalam lamunan. Sesegera mungkin ia bangkit dari lamunan.

“Oh iya, mari masuk dulu ke rumah. Agaknya engkau terlampau letih setelah berjalan cukup jauh” Ujar Abi.

“Tidak Abi. Aku tak bisa berlama-lama di sini,” jawab Umi. “Aku datang ke sini hanya untuk memberitahumu kalau aku….”

“Kalau apa Umi?”

“Kalau aku telah dijodohkan oleh ayahku. Aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang jauh cintanya kepada Tuhanku.” Jawab Umi dengan suara bergetar.

Perkatakan Umi sontak membuat jantung Abi seakan berhenti. Kedua telinganya mendengung ke Abi. Ia tak bisa menyembunyikan hatinya yang hancur berkeping-keping. Kehadiran Umi hanya membawa kesejukan sesaat. Setelah itu ia membuat hati Abi kembali kerontang. Bagaimana wanita yang selama ini ia cintai harus berlabuh pada dermaga cinta pemuda lain. Dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar, Abi berkata.

“Umi, jika itu permintaan ayahmu maka terimalah. Percayalah, setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya.”

“Tidak!” Bantah Umi.

“Lalu apa yang engkau inginkan, Umi?”

“Abi. Memang, ayahku selalu menginginkan jodoh untukku dari kalangan orang kaya. Tapi bagiku, apalah arti hidangan lezat yang bisa aku nikmati di meja makan sewaktu-waktu jika kelak aku menjadi orang yang paling lapar di negeri abadi. Dengan segala kerendahan hati yang aku miliki. Aku memohon kepadamu, tolong temui ayahku dan pinang aku, Abi. Cobalah Abi!”

Abi hanya diam. Permintaan Umi membuatnya bimbang. Suasana kembali sunyi. Daun-daun kering yang ditiup angin menuju ke arah mereka.
“Jawab, Abi!” Sambung Umi setelah melihat Abi terdiam beberapa saat.

“Maafkan aku, Umi. Aku tak ingin dikatakan sebagai orang yang angkuh karena menolak permintaanmu. Tapi, engkau tahu sendiri jika aku hanyalah seorang yang miskin. Sedangkan ayahmu begitu menginginkan seorang pendamping bagimu dari kalangan terpandang.”

“Jadi engkau menolak permintaanku, Abi?”

Abi hanya mengangguk. Wajahnya tertunduk, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya seakan terkunci rapat.

“Baiklah kalau engkau menolak permintaanku. Tapi….” Ujar Umi sambil membuka tas hitam yang ada di lengannya.

“Tapi, engkau harus menerima ini Abi” sambung Umi sambil menunjukkan kertas  putih tebal berbentuk lipatan persegi yang ia ambil dari tasnya.

“Apa itu, Umi?”

“Ambil saja, Abi!” Jawab Umi seraya mengulurkan tanggannya memberikan kertas berwarna putih itu.

“Maaf, tidak usah, Umi!” Jawab Abi lirih.

“Terimalah! Kalau engkau tidak terima, aku tak akan beranjak pergi dari rumahmu ini!”

Terpaksa Abi menerima kertas putih yang diberikan Umi. Kemudian, Umi beranjak pergi dari hadapan Abi. Dengan wajah berkabut ia meninggalkan Abi seraya membawa harapan besar agar Abi berkenan menemuinya kelak. Entah bagaimana caranya, dan di mana tempatnya. Umi meningalkan Abi dengan air mata yang menetes membasahi pipinya. Angin berhembus lebih syahdu. Seakan ada nyanyian iba bersamanya.

Sementara itu di dalam rumah bilik Abi tampak menangis tersedu-sedu. Kehadiran Umi pagi itu membuatnya meratap karena hati yang dilanda nestapa. Keteduhan Umi berisyarat akan kelembutan hatinya. Betapa Abi mencintai Umi dengan segala kekurangan yang ia miliki. Haruskah cinta yang suci dari Yang Maha Suci ternodai oleh sifat materialistis manusia. Haramkah jika cinta tersentuh oleh tangan kemelaratan. Hati Abi berteriak keras.



Bersambung....
Komentar

Tampilkan

Terkini