-->

Islam Indonesia dalam Pandangan Barat

19 Juni, 2015, 08.38 WIB Last Updated 2015-06-19T01:39:30Z
IST
SEBAGAI negara dengan iklim tropis, Indonesia yang dulu dikenal dengan Nusantara memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum Eropa yang kondisi alamnya sangat berbeda.

Secara ekonomi mereka membutuhkan natural resource yang lebih besar dan tentu dengan harsga sangat rendah. Oleh karena itu, satu alasan yang tidak banyak dikaji para ahli dalam negeri adalah alasan Belanda mati-matian menjajah Indonesia hingga 3,5 abad lamanya. Apalagi kalau bukan produk pertanian berupa rempah-rempah dan sumber daya alam.

Raghib As-Sirjani dalam bukunya Mustarak Insan menjelaskan bahwa Barat (Eropa) mendatangi negeri-negeri Muslim dengan satu alasan penting, yakni begitu besarnya khazanah dan kekayaan – khususnya minyak bumi – Dunia Islam yang merupakan sumber energi dan bahan baku terpenting yang dibutuhkan oleh industri Dunia Barat.

“Selama kebutuhan Barat terhadap sumber-sumber kekayaan Dunia Islam sebagai salah satu elemen pokok kebangkitan Eropa dan Barat masih ada – dan kian bertambah, obsesi untuk menjamin ketersediaan – dan memonopoli sumber-sumber kekayaan ini, pasti selalu ada di dalam pikiran bangsa-bangsa Barat,” demikian tegas As-Sirjani.

Namun, dengan pengalaman sejarah yang memalukan, terutama saat perang Salib, Barat sangat sistematis dalam menjalankan misi-misi terselubungnya. Istilah-istilah humanis pun menjadi cara-cara mereka dalam propaganda nilai dan pandangan hidupnya. Sementara itu, dalam waktu bersamaan, istilah-istilah penting dalam Islam digambarkan secara buruk melalui media massa. Pada akhirnya, umat Islam terbelah dalam dua kutub berseberangan, dimana fakta tersebut, sesungguhnya sangat merugikan umat Islam sendiri.

Sebagai bukti, dahulu Belanda dengan kekuatan militernya menerapkan politik tanam paksa di Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa politik tanam paksa ini diberlakukan? Ada banyak jawaban, tapi satu hal yang perlu kita sadari, Indonesia adalah negeri subur yang jika sektor pertaniannya digenjot dengan serius, bukan mustahil Belanda akan menjadi pemasok kebutuhan pangan Eropa bahkan dunia. Terbukti, dalam beberapa uraian sejarah, penerapan politik tanam paksa kala itu menyelamatkan Belanda dari defisit anggaran.

Sekarang, bangsa Indonesia mengalami krisis identitas, hingga sangat inferior. Bisa dibayangkan, sekarang hampir sulit kita menemukan anak-anak Indonesia yang bercita-cita atau bangga ingin menjadi petani. Tidak mengherankan jika produksi pertanian termarginalkan dan sampai pada beras dan kedelai pun, negeri ini memiliki ketergantungan tinggi pada impor.

Jadi, ada cara pandang yang salah dalam menentukan arah pembangunan negeri ini. Eropa memang berhasil membangun industri, tetapi mereka tetap butuh makan bukan?

Mengapa Indonesia latah ingin menjadi negara industri, sementara lahan untuk memasok kebutuhan pangan dunia tersedia begitu luasnya. Bukankah orang setiap hari lebih butuh makan dibanding butuh produk industri?

Kemudian, dari sisi sumber daya alam Indonesia sangat kaya luar biasa. Tetapi, kekayaan sumber daya alam itu belum maksimal dalam membangun negeri ini. Bahkan, alam dimana sumber daya alam itu bersemayam telah merana akibat abainya pemerintah terhadap kondisi alam. Banyak danau-danau tidak diharapkan berserakan di hampir seluas areal pertambangan. Yang lebih ironi, penduduk sekitar hanya menjadi penonton dan tidak mendapat manfaat memadai dari kekayaan alam dimana mereka tinggal di dekat lokasi. Justru mereka terancam secara kesehatan dan keseimbangan alam.

Kemudian, dari sisi pemikiran umat Islam diserang dengan liberalisasi pemikiran Islam. Barat menitikberatkan pada adanya kebebasan individu secara tidak terbatas, terutama pada bidang politik dan ekonomi.

Hamid Fahmi Zarkasyi dalam bukunya Liberalisasi Pemikiran Islam menulis, “Sejak tahun 1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat. Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan bahwa setiap individu harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya tanpa ada campur tangan dari negara. Kaum liberal percaya, bahwa ekonimi akan melakukan regulasi sendiri (the invisible hand). Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Gagasan semacam ini diadopsi dari pemikiran-pemikiran Adam Smith dan menjadi landasan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di dunia saat ini.”

Dan, dalam praktik kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, gagasan politik dan ekonomi liberal itu sudah benar-benar nyata. Sebagai bukti, setiap menjelang Ramadhan, harga kebutuhan pokok tiba-tiba melonjak.

Pertanyaannya, saat Ramadhan siapakah yang paling diuntungkan secara ekonomi? Kemudian, belakangan muncul banyak statement akrobatik para pejabat publik soal bagaimana umat Islam memandang orang yang tidak berpuasa dan lain sebagainya.

Harus disadari, ini adalah wujud nyata dari gagasan liberalisasi pemikiran dalam wujud paling strategis yakni politik dan ekonomi, yang sejatinya telah lama dilakukan Belanda di negeri ini. Dan, kini Indoensia harus menjadi ‘santapan’ konglomerat yang memiliki satu ideologi, yakni uang dan uang. Jadi wajar jika segala instrumen yang memungkinkan negeri ini menjadi bersih dan lebih baik akan segera dikeroyok untuk dilemahkan dan dimandulkan.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk sadar dan bergerak untuk bangkit. Barat dengan pemikirannya tidak benar-benar berubah. Humanity, kebebasan dan kesetaraan bagi mereka adalah alat mengusung keuntungan bagi kepentingannya sendiri. Termasuk isu terorisme, isu ini benar-benar tidak mendatangkan apapun bagi negeri kita selain kegaduhan yang sangat berpotensi menciptakan perpecahan.

Dan, sebagaimana Buya Hamka tegaskan dalam bukunya Falsafah Hidup, dimana setiap pemuda harus menyadarinya adalah bahwa penjajah tidak pernah mengambil apapun dari negeri ini, termasuk warisan budaya dan ilmu, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri. Bukan untuk kita bangsa Indonesia, apalgi umat Islam. Demikianlah Barat dalam melihat dan memperlakukan Indonesia. Wallahu a’lam.[Hidayatullah]
Komentar

Tampilkan

Terkini