-->

[Cerpen] Pinang Aku, Dalam Taman Surga Firdaus (II)

21 Juni, 2015, 12.43 WIB Last Updated 2015-06-21T05:43:45Z
IST
Oleh Monanda Permana

Kemudian, tangis Abi semakin menjadi-jadi setalah membuka kertas putih yang Umi berikan padanya. Kertas itu berisi sebuah pengharapan Umi. Dengan mata berlinang Abi membacanya perlahan penuh kekhusyu’an.

Kepada Abi

Assalamu’alaikum Wr,Wb

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: ‘inilah yang diberikan kepada kami dahulu’. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk meraka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dalam mereka kekal di dalamnya” (Al-Baqarah: 25)

Sengaja aku memulai menulis surat ini atas nama cinta kepada Ilahi Rabbi. Karena, Dialah yang Menciptakan Bidadari-bidadari bermata yakut dan marjan. Dialah yang mengalirkan sungai-sungai kejernihan dalam surga. Dialah penguasa setiap dinding-dinding hati seorang hamba. Dia-lah yang Maha Memelihara cinta suci yang tertuang indah dalam ayat-ayat-Nya. Dialah yang mengatur kapan dan di mana air mata seoarang hamba berjatuhan membasahi bumi-Nya.

Atas nama cinta suci berbalut sutra kasih sayang-Nya. Aku ingin sampaikan kegelisahan hati yang selama ini aku simpan sendiri hingga sampai pada saatnya engkau yang membukanya, Abi. Dan sekarang engkau membukanya.

Kebodohan kala itu masih aku ingat, ketika jiwaku terjun melayang ke dalam jurang-jurang kenistaan. Hidupku hancur. Bahkan aku tak mengenal siapa sebenarnya diriku apalagi Tuhanku. Saat aku berada dalam kemiskinan akhirat, Allah Yang Maha Kaya mengulurkan tali hidayah-Nya melalui kehadiranmu, Abi.

Dengan penuh kesabaran, engkau membimbingku yang bodoh ini. Dengan penuh keikhlasan engkau mengajariku untuk mengenal Tuhanku. Engkau tak pernah meAbia jijik padaku walau noda-noda kotor melekat padaku. Engkau manusia berhati malaikat, Abi.

Jika engkau tahu, saat inilah air mataku menetes seakan enggan berhenti membasahi pipiku. Ketika aku hanyut akan keberadaanmu, tiba-tiba engkau seakan hilang ditelan masa. Sungguh, aku bisa mebiarkan pergerakan hatimu, Abi. Engkau mencintaiku, bukan?. Engkau meninggalkanku karena engkau selalu tak pantas untukku lagi-lagi karena harta, bukan?

Jika memang itu alasanmu yang kuat. Maka, sengaja aku mengumpulkan sedikit demi sedikit tabunganku agar engkau dapat memakainya, Abi. Jangan pernah tolak permintaanku ini. Karena aku benar-benar berharap engkaulah yang akan menjadi pendamping hidupku hingga wangi surga kita cium bersama.

Aku akan menunda perjodohanku dengan pemuda itu sampai engkau datang meminangku, Abi. Aku setia menantimu.

Wassallam

Umi

Malam kembali datang membentangkan jubah hitamnya. Terlihat cahaya gemintang mulai meredup karena terhalang awan-awan gelap. Angin malam meniup halus seorang hamba yang sedang menyepi, bercengkerama dengan Rabbnya. Air matanya menetes di atas sajadah. Pundaknya berguncang menahan kesedihan. Dalam doa berharap kemudahan untuk menyusuri lorong-lorong kesukaran. Di tempat yang berbeda, Umi memohon kemudahan kepada Ilahi dengan melantunkan surah Ar Rahman, semoga kasih sayang-Nya mendekap keinginannya. Suara indahnya memecah keheningan malam. Dua anak manusia mengikat cinta dalam keheningan malam.

Sebulan kemudian, cahaya dhuha merebahkan kehangatannya melalui fajar yang menyingsing di ufuk timur. Abi menengadahkan wajahnya ke langit mengikuti langkah cahaya itu sebelum lenyap oleh kuasa rembulan. Tekadnya sudah bulat untuk beranjak pergi dari Desa Kedung demi cinta yang bersarang pada sosok Umi. Abi pun harus meninggalkan Desa Kedung, Umi, dan cintanya. Abi mencoba mencari peruntungan di pulau seberang dengan bekal yang ia peroleh dari Umi. Abi melangkah pergi, berlayar melintasi luasnya lautan yang biru menuju pulau harapan.

Angin dari utara meniupkan kabar hingga sampai ke telinga Umi tentang kepergian Abi ke pulau seberang. Kabar itu tak ubahnya seperti petir yang berdendang tanpa mendung. Menyambar tanpa memerintah dan diperintah. Kabar itu membuat Umi semakin terlelap dengan penderitaannya. Air matanya mengucuri dari  keteduhan sepasang jelita matanya. Cobaan yang menimpanya semakin membuat ia terperangkap oleh jerat cinta Rabbnya. Ia gantungkan segala harapannya kepada Sang Maha Pemilik langit dan bumi ini. Dalam diam ia memohon, dalam bertutur ia meminta. Siang yang terik menemani Abia dahaganya karena puasa. Malam yang dingin memelukya dalam kesepian untuk bermunajad.

“Abi akan kembali. Abi akan datang untukku. Walau aku tak tahu kapan dan di mana” Bisik hati Umi.

Setahun telah berlalu. Musim kemarau merelakan penghujan membuat jejak-jejak baru di atas bumi. Kesendirian semakin menyadarkan pentingnya kebersamaan. Tentunya kebersamaan yang dilandasi oleh cinta. Bukan kebersamaan yang hampa; tanpa embun cinta. Umi masih dalam kesendirian, sementara ayahnya sudah memaksanya untuk secepatnya menikah dengan seoarang pemuda yang telah ia pilihkan.

“Umi, sebentar lagi Amir datang bersama keluarganya. Ayah harap engkau mau menemui mereka” Ujar Ayah Umi.

“Untuk apa mereka kesini, yah?”

“Kamu ini bagaimana. Ya tentu saja untuk membicarakan pernikahan kalian!”

“Ayah, sudah berapa kali Umi bilang, Umi belum ingin menikah!”

“Lihat itu bu anakmu. Mau sampai kapan dia seperti itu?” Ujar ayah Umi kepada istrinya.

“Sudahlah, yah! Umi, sayang. Sini nak!” Panggil Ibu Umi.

Umi mendekat ke ibunya kemudian memeluknya.

“Ibu, kenapa Umi selalu dipaksa menikah dengan Amir?” bisik Umi.

“Umi, ibu tahu engkau tidak menyukai Amir. Tapi, ini semua juga untuk kebaikanmu, sayang. Ingat usiamu, nak” jawab ibu Umi lembut.

“Iya, tapi kenapa harus selalu dipaksa dengan dia. Apakah hanya karena dia orang kaya?, Ibu, Umi tidak mengharapkan orang yang kaya di dunia tapi sangat miskin dihadapan Allah.”

“Bukankah Amir laki-laki yang baik, sayang?”

“Tidak! Umi tahu benar siapa dia, bu! Sewaktu Umi belum seperti ini. Umi pernah melihat dia bersama teman perempuan Umi, bu.”

“Lalu, apa yang engkau inginkan, nak?”

“Umi tetap menolak!” Jawab Umi mantap.

Di tempat yang berbeda dan jauh dari hiruk pikuk rencana pernikahan, seorang pemuda berwajah rupawan dan bersih sedang mempersiapkan keberangkatannya untuk kembali pulang ke Desa yang selama ini ia tinggalkan. Sesekali ia pandangi secarik kertas yang selalu ia simpan di dalam kantong berwarna coklat tua. Jika kerinduan akan gadis itu kembali datang, maka kertas itulah yang mampu mengobati kerinduannya kepada gadis itu.

“Hai..Apa itu, Abi?” Suara seorang pria mengejutkan Abi.

Sesegera mungkin Abi menyembunyikan kertas itu dari pandangan seseorang yang mengejutkannnya.

“Ah, tak ada, Bur”

“Halah, pasti itu sebuah surat, bukan? Sepertinya begitu” ujar Burhan sambil tertawa.

Abi hanya tersenyum tipis.

“Eh, kapan rencanamu pulang ke kampung, Abi?” Tanya burhan mengalihkan pembicaraan.

“Insya Allah dua minggu lagi.”

“Pasti banyak yang merindukanmu di kampung ya?”

“Tidak bur. Aku sudah tak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, selain aku hanya berharap belas kasih dari Allah.”

“Kalau begitu mengapa engkau harus bersusah payah pulang ke kampung, sementara engkau tak memiliki sanak saudara di sana. Lebih baik engkau di sini saja, Abi. Barangkali engkau bisa lebih sukses dari sekarang ini.”

“Tidak, Bur. Seseorang sudah menungguku di sana. Aku ingin kembali kesana membawa kabar gembira untuknya.” Ujar Abi sambil memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar berwarna hitam.

“Siapa, Abi? Seorang perempuan?”

“Tolong lempar kesini baju warna biru di sebelahmu itu, Bur!” Perintah Abi kepada Burhan “Iya, dia seorang perempuan. Dia yang menungguku, Bur.” Sambungnya seraya melipat-lipat baju yang hendak dimasukkan dalam tas.

“Jadi, engkau pulang ke kampung untuk menikah dengannya?”

“Memang, sudah hampir setahun kami tidak bertukar kabar. Tapi, kuharap tetap bisa menikahinya.”

Di balik  jendela kamar, Umi memandangi hujan yang saling berkejaran hingga akhirnya saling berpeluk dengan bumi.  Seakan deAbi hujan itu melukisakan raut wajah Abi. Seorang yang telah lama menghilang tanpa ada secuil kabar yang ia kirim untuknya, sehingga membuatnya larut dalam kerinduan yang teramat sangat pada sosok Abi. Kerinduan pada sosok Abi ia tumpahkan di atas kertas putih yang tergores oleh tinta hitam. Umi menulis surat untuk Abi. Sebuah surat yang rencananya akan ia titipkan kepada Pak Udin, seorang petani Desa yang pernah mengantarkannya bertemu dengan Abi.

Sejak terjadi pertemuan dua keluarga beberapa hari yang lalu, membuat hidup Umi berubah. Dia  lebih sering mengurung diri di dalam kamar, bahkan enggan untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Kesan kesegaran yang biasa ia tampakkan kini mulai layu. Bahkan senyumnya yang sangat khas hilang sama sekali. Ia jarang makan hingga membuat badannya mulai terlihat kurus. Pada akhirnya Umi pun tergeletak sakit.

“Umi..Umi.!” Seru ibunya dari balik pintu kamar.

“Ya” Jawab Umi singkat.

“Makan dulu, sayang! Sudah beberapa hari kamu belum makan, nak. Ini sekalian ibu bawakan obat untukmu.” Rayu Ibunya.

“Tidak. Umi tidak lapar bu.”

“Nak, buka pintunya ibu ingin bicara sama kamu!”

“Umi masih ingin sendiri, bu. Ibu letakkan saja makanan sama obatnya di depan pintu.”

Dalam kesendirian, Umi kembali mengurai air matanya yang terus mengucur deAbi. Hanya kepada Allah Yang Maha Lembut Umi mengadukan segala persoalan yang melandanya. “Ya Allah, kuserahkan segala urusanku yang aku tak tahu dimana ujung penyelesainnya hanya kepada-Mu. Wahai Rabb pemilik Arsy yang mana para Malaikat senantiasa berzikir kepada-Mu. Tenggelamkanlah segala kesusahan yang menimpa diriku dan jika Engkau berkehendak timbulkan segala kemudahan untukku, Ya Rabb. Wahai Rabb Yang Maha Besar kasih dan cinta-Nya kepada semua makhluk, serta yang menumbuhkan cinta ke dalam diri setiap makhluk. Sungguh, aku rela jika Abia cinta yang ada dalam diriku engkau cabut bilamana cintaku terhadap makhluk-Mu lebih besar daripada cintaku kepada-Mu.” Tersungkurlah wajah Umi di atas sajadah.

Di Desa tak banyak berubah setelah beberapa lama ditinggalkan salah seorang penduduknya. Hanya musim yang telah berubah. Manakala dulu musim kemarau, sekarang telah berubah musim penghujan. Seorang pemuda yang telah lama menghilang dari Desa itu, kini kembali pulang. Pemuda itu berjalan menyusuri hamparan sawah hingga para petani yang sedang sibuk mengurusi sawahnya mengalihkan perhatiannya kepada pemuda itu. Tak lama kemudian, salah seorang petani berteriak sambil berlari menuju ke arah pemuda itu.

“Abi..Abi..!”

Kemudian Abi mengarahkan pandangannya ke sumber suara yang berteriak memanggil namanya dari arah belakang.

“Assalamu’alaikum, Abi. Akhirnya engkau pulang juga.”

“Wa’alaikumussalam, Pak Udin. Ada apa Pak?”

“Begini, Abi. Seminggu yang lalu ada seseorang laki-laki yang mencarimu seraya menitipkan ini untuk disampaikan padamu.” Ucap Pak Udin sambil menunjukkan sebuah surat.

“Seorang laki-laki? Siapa ya, Pak? Lalu, apa ada pesan dari beliau?” Tanya Abi sambil mengambil surat yang disodorkan oleh Pak Udin.

“Aku tak tahu, Abi. Dia tidak berpesan apa-apa kecuali hanya sedikit bercerita kepadaku jika anaknya telah tiada dan surat yang kau pegang itu ia temukan di dalam kamar anaknya. Begitu saja, Abi.”

“Baiklah kalau begitu. Saya segera membacanya di rumah, Pak.”

Gumpalan awan gelap telah terlihat di atas Desa itu, tak lama lagi hujan akan turun. Abi bergegas untuk segera pulang sebelum hujan mengguyurnya. Sesampai di rumah, Abi segera membuka surat yang ia peroleh dari Pak Udin. Dan hujan pun turun dengan lebatnya.

Kepada Abi

Assalamu’alaikum Wr,Wb

“Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (Qs:Al-Insaan:20)

Abi, Aku menulis surat ini ketika hujan mengurai keindahannya. Ketika aku memandanginya terlukis raut wajahmu di antara hujan yang saling berkejaran. Engkau pergi tak menitipkan kabar sedikitpun padaku, Abi. Selalu saja engkau ingin menjauh dariku. Tapi, aku selalu mencoba menjadi wanita yang ikhlas untuk kehilanganmu.
Abi, pernah suatu malam aku bermimpi duduk di bawah pohon yang begitu rindang, dan di sebelahnya mengalir sungai yang sangat jernih. Kemudian, aku alihkan pandanganku ke arah padang rumput hijau yang begitu luas dan indah. Semilir angin membuatku teAbia sejuk. Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki berwajah mirip denganmu, Abi. Laki-laki itu datang bersama dua wanita yang sangat cantik, kecantikannya tak pernahku lihat sebelumnya. Kemudian laki-laki itu duduk di sebelahku dan berkata jika  ia hendak menikahiku. Oh..Begitu indah yang aku Abaikan dan begitu syahdu janji yang ia ucapkan padaku.

Aku mengira laki-laki itu adalah dirimu, Abi. Tapi, tidak mungkin engkau meminangku di dunia ini, karena umurku tak akan lama lagi. Mungkin mimipi itu adalah isyarat jika engkau akan meminangku di Surga Taman Firdaus.

Aku masih menantimu,  Abi.

Wassalam

Umi

Abi masih memandangi surat terakhir yang ia terima sebelum hujan turun membasahi Bumi Allah. Kini, di beranda rumah bilik bambu seakan Abi yang melihat raut wajah Umi di antara hujan yang saling berkejaran. Wajah Umi tampak bercahaya dan membawa senyum kedamaian yang ia kirim dari Taman Firdaus. Air mata Abi menetes. Ia lipat surat terakhir dari Umi, kemudian ia pandangi langit dan berkata.

“Selamat tinggal Umi. Aku akan selalu merindukanmu yang kini telah menjadi bidadari surga dalam Surga Taman Firdaus.”

Komentar

Tampilkan

Terkini