-->

“Khilafiyah adalah Rahmat, Bukan Pemecah Belah Ummat, Ayo Berjihad”

25 Juni, 2015, 20.46 WIB Last Updated 2015-06-25T13:46:35Z
Bismillahirrahmanirrahim...
Hidup Ummat !!! Hidup Islam!!!

Lahirnya berbagai problematika di Aceh saat ini semestinya menjadi pemicu bagi seluruh ummat Islam untuk ambil andil dalam mempertahankan keberadaan Islam di Aceh sebagai salah satu daerah yang memiliki kekhususan yang diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kekhususan itu mencakup di bidang Syariat Islam. Tetapi, kekuhususan tersebut seakan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai ruang untuk memperkuat dan mengembangkan agama islam di bumi serambi Mekkah ini.

Dapat kita lihat secara seksama, hingga saat ini misionaris, pendangkalan aqidah, maksiat  yang semakin marak di Aceh terutama di daerah-daerah perbatasan seperti Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam, dan Aceh Tamiang. Hal ini dapat dilihat dari maraknya pendangkalan Aqidah di beberapa daerah, maksiat yang kian merajalela hingga tuak pun di beberapa tempat daerah perbatasan seakan menjadi minuman biasa, pertumbuhan gereja/undung-undung yang kian menjamur. 

Salah satu hal yang sangat menyedihkan adalah di kabupaten Aceh Singkil, dimana 27 gereja/undung-undung dengan leluasa dibangun di bumi Syeikh Abdurrauf As-singkili dan Syeikh Hamzah Fansuri tersebut. Mirisnya lagi, saat ini jumlah penduduk non muslim di Aceh Singkil hampir mencapai 17 %  dari total penduduk. Padahal selama ini di dengung-dengungkan agar Islam di Aceh ke depan kembali berjaya seperti masa Syeikh Abdurrauf As-singkili dan Syeikh Hamzah Fansuri. Sementara dibumi tempat kelahiran ulama besar Aceh tersebut gerakan misionaris semakin mencekam. Belum lagi jika kita di Aceh Tenggara, ada desa yang justru memiliki 2 gereja/undung-undung dalam satu desa.

Ironisnya lagi, kita seakan disibukkan dengan persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat) yang semestinya bukan persoalan yang harus dibesar-besarkan, karena masih banyak persoalan yang menjadi ancaman besar bagi keberadaan Islam di Aceh.  Melihat kondisi ini kami menyatakan sikap sebagai berikut :

1.Di bulan yang pernuh berkah ini, kami mengajak semua pihak untuk tidak memperuncing persoalan khilafiyah(perbedaan pendapat), karena hanya akan menjadi ruang pemecah belah ummat islam di Aceh. Namun, kita berharap semua elemen bersatu untuk meningkatkan syiar Islam hingga ke daerah-daerah perbatasan yang sangat membutuhkan.

2.Revitalisasi managemen mesjid Raya Baiturrahman dengan sebaik-baiknya, sehingga mesjid Raya Baiturrahman berfungsi sebagai pusat peribadatan, peradaban dan syiar islam.

3.Ulama semestinya dapat dijadikan sebagai perekat dan pemersatu ummat. Untuk itu, Kami mengajak Majelis Permusyawarah Ulama (MPU) Aceh, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) dan ulama lainnya untuk lebih fokus kepada upaya pengembangan dan syiar islam serta mengantisipasi berkembangnya misionaris di Aceh terutama kabupaten perbatasan seperti Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam dan Aceh Tamiang.

4.Meminta Pemerintah Aceh untuk mengirimkan ulama baik itu dari Majelis Permusyawarah Ulama (MPU) Aceh, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) sebanyak-banyaknya ke daerah-daerah perbatasan yang merupakan benteng pertahanan terhadap masuknya kristenisasi dan upaya pendangkalan aqidah di bumi serambi Mekkah

5.Hentikan politisasi mesjid dan maksimalkan fungsi mesjid sebagai tempat ibadah dan syiar islam di Aceh.

Demikian pernyataan ini kami buat sebegai bentuk keprihatinan terhadap Agama Islam dan Nasib Kaum Muslimin dan Muslimat di daerah-daerah perbatasan yang kerap terlupakan oleh kita. Demi wujudnya Roh dan kejayaan Islam di Aceh ini  MARI BERSATU, KITA JADIKAN PERBEDAAN RAHMAT, BUKAN RUANG PEMECAH BELAH UMMAT.

Allahu Akbar ... Allahu Akbar... Allahu Akbar...

Banda Aceh, 25 Juni 2015
GERAKAN PAGUYUBAN MAHASISWA PEDULI DAERAH PERBATASAN
(GPM- PeDAS), Jirin Capah Koordinator Lapangan, Delky Nofrizal Qutni Juru Bicara
Komentar

Tampilkan

Terkini