JAKARTA - Untuk kesekian kalinya, jajaran Polres Belu di Atambua, Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan tindakan melanggar hukum. Pasalnya, oknum polisi dari Kepolisian Resort Belu yang berkedudukan di Atambua, melakukan perampasan atas ID Card dan peralatan rekaman suara (tape-recorder) milik seorang Pewarta PPWI, atas nama Felixianus Ali. Oknum polisi yang diketahui menjabat sebagai Kasatreskrim Jefrri Fanggidae dan Kepala Bagian Operasional Apolinario da Silva beralasan bahwa ID Card dan tape-recorder tersebut berbahaya, sehingga perlu diamankan.
Menyikapi hal tersebut, Ketua umum PPWI, Wilson Lalengke mengatakan amat prihatin terhadap kualitas aparat polri di Polres Belu tersebut. Menurutnya, oknum polisi tersebut bukan hanya menunjukkan arogansi sebagai aparat polisi, tetapi juga telah melakukan pelanggaran pidana.
"Perampasan terhadap milik warga negara tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal, itu pidana. Mereka melanggar UU N0. 40 tahun 1999 dan UU No. 14 tahun 2008. Yang oleh karena itu, oknum tersebut tidak lebih dari kelompok preman berbaju cokelat (seragam polri - red)," tegas Wilson.
Lulusan PPRA-48 Lemahannas tahun 2012 itu sangat menyayangkan jika institusi Polri yang dibiayai dari uang rakyat terus memelihara preman-preman yang hanya menjadi parasit di tubuh Polri.
"Anda bayangkan saja, apa urusannya menyita ID Card dan tape-recorder dengan tugas-tugas kepolisian, termasuk penegakkan hukum? Kalau bukan polisi goblok, apa namanya itu? Amat disayangkan, uang rakyat habis hanya untuk menggaji preman-preman berseragam Polri seperti itu," papar Wilson melalui WA-nya kepada redaksi.
Perlu Evaluasi
Untuk mengatasi bercokolnya oknum aparat polri yang berjiwa dan berperilaku preman di tubuh Polri, menurut lulusan Pascasarjana dari Universitas Utrecht, Belanda, dan Universitas Linkoping, Swedia tersebut, Kapolri perlu melakukan evaluasi menyeluruh secara berkala terhadap anggotanya. Namun, menurutnya, evaluasi tersebut harus dibarengi dengan pemberian sanksi dan penghargaan yang tegas, tepat, dan tidak pandang bulu.
"Jelas perlu evaluasi secara menyeluruh terhadap aparatnya di semua jenjang, semua lini, semua personil. Aparat yang baik diberikan penghargaan, yang buruk diberi sanksi tegas, tidak hanya dimutasi, tapi diamputasi saja. Namun bagi yang masih potensial untuk jadi aparat yang baik, perlu pembinaan dan peningkatan wawasan, terutama mereka yang di daerah-daerah, jauh dari pusat informasi dan perkembangan peradaban, perlu sekali disekolahkan agar mengerti peraturan," ungkap pria yang mengaku amat sedih melihat kondisi bangsa yang masih banyak tertindas oleh kesewenang-wenangan penguasa maupun aparat negara.
Ditanya tentang persoalan utama yang menyebabkan polisi di Atambua merampas ID Card dan tape-recorder miliknya, Felixianus Ali yang adalah anggota PPWI itu mengatakan bahwa dia tidak tahu pasti, namun polisi hanya mengatakan bahwa ID Card PPWI-nya dan tape-recorder harus mereka ambil.
"Ya, mereka ambil paksa ID Card PPWI dan tape-recorder saya. Katanya supaya saya tidak bisa menulis lagi, membuat berita tentang kasus penjualan tanah keuskupan yang diduga lakukan oleh Uskup Domi Saku," kata Felix melalui percakapan WA dengan lintasatjeh.com.
Perampasan dan penahanan ID Card PPWI dan tape-recorder telah berlangsung lebih 3 minggu sejak pengambilan paksa tanggal 12 Maret 2016 lalu. Dewan Pengurus Nasional PPWI sebagai penanggung jawab atas penerbitan ID Card bagi anggotanya yang tersebar di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di institusi Polri, TNI, PNS, wartawan, akademisi, profesional dan masyarakat umum, akan melaporkan oknum-oknum preman berbaju coklat tersebut ke Mabes Polri.
"Kita akan laporkan kasus preman berbaju coklat yang bercokol di institusi polri ini, terserah Kapolri mau meresponnya seperti apa, atau mungkin juga tidak merespon apa-apa, justru memelihara preman di organisasinya, kita lihat nanti," pamungkas Wilson dengan mimik kecewa.[Red]