![]() |
IST |
Suatu
pertanyaan mendasar yang selalu muncul setiap kali melaksanakan pemilu.
Seberapa besar ongkos politik yang harus dikeluarkan untuk bisa mencalonkan
diri sebagai Kepala Daerah, Anggota Legislatif maupun Presiden di Negara kita,
Indonesia?
Perkembangan
pelaksanaan pemilu merupakan salah satu masalah klasik yang selalu muncul
adalah perhitungan biaya politik yang harus digelontorkan. Umumnya meliputi,
lobi politik kepada parpol, intensitas rapat akbar, pemasangan atribut, rentang
masa kampanye sejak terdaftar sebagai kandidat dan seterusnya.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa ongkos politik sangalah tinggi, artinya tidak
seimbang lagi dengan penghasilan formal ketika mereka terpilih nantinya. Belum lagi
adanya pengeluaran anggaran siluman untuk keperluan relawan dan pelicin suara
(money politik). Biaya siluman memungkinkan untuk transaksi lain suara melalui
penyelenggara kenakalan pemilu.
Walau
tidak pernah dihitung secara detail tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa
besarnya ongkos politik sangatlah tidak sebanding lagi dengan penghasilan resmi
seorang kandidat terpilih.
Sehingga
untuk menutupi ketidaksebandingan tersebut, mereka akan bergerak mencari
penghasilan non-formal melalui berbagai upaya yang seringkali menyerobot
legalitas hukum maupun intervensi pihak pemerintah pusat/daerah dengan
memanfaatkan kewenangan.
Hal
inilah yang tidak menutup kemungkinan akan memberi peluang negosiasi menuju
transaksi finasial dalam mengembalikan modal berpolitik, akibat dari
ketidaksesuaian antara penghasilan resmi dengan ongkos politik yang telah
dikeluarkan. Kira-kira seperti inilah masa depan Indonesia, kian berbelok arah
dari tujuan memajukan kesejahteraan rakyat secara adil merata.
Bahkan
pada saat ini, investasi asing dalam bidang perkebunan, garment,
telekomunikasi, industri otomotif dan lainnya semakin subur mendominasi sektor
perekonomian Indonesia. Tetapi nilai rupiah selalu melemah, sulit untuk kembali
ke posisi semula, sementara elementer pemerintahan sedang sibuk efouria
demokrasi politik.
Harapan
satu-satunya sebagai pintu terakhir dalam upaya mendapat kandidat ideal berada
di tangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan politik. Apabila rakyat turut
terkontaminasi dalam penyalahgunaan kedaulatan politik dalam pembarteran suara
dengan uang, berarti rakyat juga berkontribusi dalam penentuan tipe legislator
kapitalis.
Efeknya
rakyat tidak bisa menuntut banyak agar para legislator memperjuangkan nasibnya
karena telah mengambil imbalan sejak awal.
Biaya
politik kian membengkak karena kontestan masih menggunakan metode tradisional.
Peserta pemilu juga cenderung malas, tidak mau berusaha lebih keras untuk
pencapaian target suara, meskipun itu memang melelahkan.
Mereka
enggan turun langsung untuk menemui pemilih secara rutin, kegiatan turun ke
lapangan hanya dilakukan saat mendekati hari pemungutan suara. Selain itu,
jenis kampanye masih menggunakan cara tradisional, bahkan masih mempunyai niat
untuk unjuk kekuatan agar dipahami sebagai parpol besar.
Hal
ini harus mengeluarkan uang untuk sewa gedung, stadion, biaya
transportasi-akomodasi-konsumsi, mengundang artis kesohor untuk mengumpulkan
massa. Belum lagi fokus beriklan di media cetak dan elektronik, biaya promosi
tersebut pastinya akan menguras kantong. Fenomena ini membuat seorang politisi
atau calon pemimpin membangun image kekuatan sebuah parpol dan kemapanan
seorang kandidat.
Kendaraan
Korupsi
Biarpun
setiap parpol sedang sibuk menyusun peta politik lewat kesibukan memilih
kandidat yang dijagokan, menimbang strategi kampanye, transaksi jual-beli
suara, pengalihan pandangan melalui program yang pro-rakyat, mengatur kompas
lobi politik dan persiapan negosiasi lain sebagainya.
Sementara
mereka calon pemilih yang cerdas tentu akan tetap santai saja, masa bodoh
dengan hiruk pikuk persiapan kampanye pilkada maupun pemilu lainnya, bahkan
mereka sama sekali tidak pernah mencari tahu sebab musabab kericuhan seputar
dunia politik.
Apalagi
repot-repot mengurus hak daftar pemilih, begitu pula bagi mereka yang tidak
punya pilihan namun cuek bebek tanpa koar-koar menghasut golput. Memilih diam,
masa bodoh karena mereka sangat paham dan penuh pengertian.
Sebab
Pemilu bukanlah tentang kesadaran berpolitik, merupakan teori pesta rakyat atau
semarak hari perayaan pendidikan demokrasi, melainkan diartikan secara sadar
sebagai lahan bisnis dan berfungsi untuk kendaraan korupsi.
Hakekat
pemilu adalah mencintai terhadap salah satu bendera partai politik, caleg, dan
capres. Lalu sangat membenci kemudian mencaci maki kader partai politik lain.
Ini adalah penyakit kepribadian orang tolol, tipe manusia seperti ini tidak
bisa dipercaya netralitas pendapatnya tentang politik.
Bahkan
kebanyakan dari mereka bermental kekanak-kanakan, goblok, sok tahu dan gemar
bermain api kerusuhan di depan mimbar maupun di lapangan kampanye.
Satu
hal lagi, mereka tahu orasi politik hanya tebar pesona politikus yang berisikan
janji manis, sama sekali tidak bermanfaat tapi tetap didatangi karena disana
ada pamrih. Begitupun dengan kandidat yang akan dipilih.
Orang
cerdas akan berpikir, bahwa kampanye adalah tempat berkumpulnya manusia goblok
yang mengaku cerdas. Karena semakin tolol manusia biasanya kian banyak bicara
tentang hal-hal yang belum jelas, mereka merasa lebih tahu mengenai sesuatu
yang belum pernah dialami, bahkan mampu menjelaskan secara detail sesuatu hal
yang masih remang-remang.
Misalnya
berkeyakinan jika kandidat “A”
menang dengan pasti dapat merubah kehidupan masyarakat, memberikan program
terbaik dengan hasil sempurna, membandingkan masa sebelumnya dengan keadaan
yang akan datang.
Padahal
mereka sama sekali belum pernah mengalami langsung dan apalagi membuktikan.
Tapi bagi mereka yang cerdas, tidak akan pernah tahu tentang hal yang belum
pernah di alami, dilihat, dirasakan dan akan berkata, “Saya
tidak tahu”. Tapi diam-diam akan mencari tahu (bukan makanan).
Coba
bayangkan ketika sebuah media publik menggelar promosi dan para kadernya
ramai-ramai menyatakan, “Katakan TIDAK PADA KORUPSI!!!”.
Alih-alih setelah menjabat justru mereka semua tersangkut skandal korupsi.
Fakta ini sudah menjadi rahasia umum.
Inilah
yang sebuah dasar pemikiran manusia rendah moral, mereka akan berbuat baik jika
menemukan keyakinan argumen pada sebuah ideologi (politik), menentang ideologi
pihak lain dan justru berbuat anarki atau setidaknya bersikap sinis.
Sepertinya
moralitas mereka palsu karena ada gula ada semut. Loyal dan sering menggelar
bakti sosial, mereka berharap honor besar untuk mengembalikan modal umpan.
Apapun
atau bagaimanapun platform sebuah ideologi politik yang menjadikan agama
sebagai landasan moral dan etika berbangsa dan bernegara maupun berkonsep
nasionalis, tujuan tersembunyi para kader dalam diskusi internal biasanya
menyebut bahwa power partai politik mereka besar dan kuat untuk membuktikan
bahwa bendera komprtitor mereka lemah. Begitupun sebaliknya sama saja.
Pemilih
Cerdas
Karena
sebuah kecerdasan mereka mampu ambil keputusan, berani menentukan pilihan. Tapi
di balik tingkat kecerdasan tersebut, tersembunyi kebodohan yang tidak belajar
dari sejarah (track record) parpol maupun kandidat pilihannya.
Rata-rata
mereka yang memilih karena sudah terhasut oleh khotbah moral dan tergiur
lipstick sosial kampanye, mirip janji masa depan trainer multi level marketing
(MLM). Apa yang disampaikan adalah tentang hal yang tidak pernah dilakukan dan
tidak mungkin dipraktekkan.
Alih-alih
suara yang diberikan efek dari virus mimpi politik, membangun pencitraan diri
dengan modal gombal mukio. Sangat langka di antara mereka yang berani memilih
secara realistis.
Kesadaran
mereka terbang ke dunia angan-angan, meskipun secara faktanya mereka berpijak
di muka bumi tapi tetap saja akan menghayal untuk membunuh segala kegelisahan.
Itu sebabnya kelompok politisi masih laris hingga kini.
Selagi
kesadaran manusia dihinggapi angan-angan serta tingginya pengharapan, maka
semua doktrin akan gampang ditelan bulat-bulat. Mirip tahi kambing rasa
cokelat. Oleh sebab itulah banyak sekali kandidat yang dikenal begitu hebat,
membuat para voter simpati pada awal perkenalan tapi berakhir dengan
menyebalkan.
Mereka
yang sedang mempersiapkan diri menuju kursi panas yang empuk jarang sekali yang
sanggup dan berani membuat masyarakat jengkel di awal, tapi semakin hari kian
menebar simpati dan patut dibanggakan.
Sumber:
ORd Channel