-->








Kontroversi Ajaran Syekh Siti Jenar 'Manunggaling Kaula Gusti'

30 Juni, 2016, 13.27 WIB Last Updated 2016-06-30T06:27:10Z
IST
JAWA TENGAH - Syekh Siti Jenar juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Siti Brit, Lemahbang, dan Lemah Abang. Dia adalah seorang tokoh sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang sangat kontroversial. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.

Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu manunggaling kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya.

Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisanga. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisanga terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisanga.

Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.

Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji.

Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.

Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu:

Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain;

Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu;

Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan;

Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.[Salafy]
Komentar

Tampilkan

Terkini