-->








Kampung Kebun Sungai Iyu Aceh Tamiang Terancam Hilang!

23 Januari, 2017, 20.21 WIB Last Updated 2017-01-23T13:24:44Z
ACEH TAMIANG - Kampung Kebun Sungai Iyu, merupakan salah satu kampung yang berada dalam Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang, dan saat ini terancam hilang karena wilayah kampung tersebut diklaim masuk dalam areal HGU perusahaan perkebunan PT Raya Padang Langkat (Rapala).

Seharusnya areal perusahaan perkebunan PT Rapala yang masuk ke dalam wilayah Kampung Kebun Sungai Iyu, namun karena pihak perusahaan terindikasi telah berkolaborasi dengan oknum pemerintah dalam mengeluarkan izin tanpa rekomendasi aparatur pemerintahan kampung bersangkutan, maka 65 warga telah tergusur.

Akibatnya, pada saat ini 65 warga yang tergusur terpaksa menempati perumahan eks PT Parasawita, yakni di lahan bekas kebun sawit yang telah dilepas dari status HGU. Sebelumnya lahan tersebut yang luasnya 34,9 Hektare, turut diambil alih oleh PT Rapala. 

Ketua Komisi A DPRK Aceh Tamiang, Ismail, saat menggelar Pansus yang dibentuk untuk menyikapi persoalan Kampung Kebun Sungai Iyu, Senin (23/01/2016) mengatakan, akibat tumpang-tindih kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah telah tercipta konflik antara warga dengan pihak PT Rapala yang sama-sama merasa telah dirugikan. 

Ismail juga menjelaskan, dari hasil Pansus didapati keterangan yang menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi antara pihak masyarakat dan PT Rapala, serta versi BPN selaku instansi yang mengeluarkan dokumen resmi dan seharusnya menjadi pegangan semua pihak.

Ungkapnya lagi, yang menjadi masalah adalah, lokasinya berbeda antara yang dipahami pihak masyarakat dengan yang diklaim oleh PT Rapala. Warga Kampung Kebun Sungai Iyu berpegang pada fakta, lahan yang dilepas status HGU-nya dari PT Parasawita dikeluarkan Badan Pertanahan Negara (BPN) Aceh pada tahun 2014.

Kebijakan pelepasan status HGU terhadap lahan tersebut, termasuk wilayah yang memiliki aset perumahan dan kini ditempati 65 warga, menyahuti permintaan warga yang diusul pada tahun 2012 dan 2013. Dokumen peta lahan yang dibebaskan berdasarkan usulan masyarakat ini seharusnya tidak masuk lagi dalam lahan HGU yang diberikan BPN dan pemerintah setempat kepada PT Rapala.

Dia menuturkan, sementara pihak PT Rapala juga berpegang pada izin lahan yang dikeluarkan instansi yang sama (BPN Aceh_red), yaitu lahan 34,9 Ha yang dibebaskan itu tidak termasuk lahan yang terdapat perumahan mantan karyawan PT Parasawita.

Hal ini dibenarkan pihak BPN setempat dengan menyatakan, lahan yang dibebaskan berupa sawah di Kampung Paya Rehat, termasuk alur batas kebun dengan Kampung Tengku Tinggi, serta sarana jalan dalam perkebunan PT Rapala, dan kompleks SD Marlempang.

"Saat ini, belum ada persamaan persepsi terkait lahan 34,9 Ha tersebut. Namun kalau benar lahan 34,9 Ha seperti surat BPN itu, maka wilayah Kampong Kebun Sungai Yu akan hilang dan 65 warga yang sudah bertahun-tahun tinggal di sana terpaksa direlokasi," ujar Ismail.

Atas hal tersebut, dirinya meminta kepada pihak BPN dan Pemkab Tamiang tidak menutup-nutupi dokumen yang menjelaskan status lahan ini. Dirinya yakin bahwa BPN dan Pemkab Aceh Tamiang masih menyimpan dan wajib menelusuri surat usulan pembebasan lahan yang diminta warga pada tahun 2012 dan 2013. 

Dia menegaskan, surat itu harus dicocokkan dengan dokumen rekomendasi Bupati Aceh Tamiang atas pembebasan lahan yang kemudian menjadi pertimbangan pihak BPN dalam mengesahkan status perubahan fungsi lahan.

Terangnya, saat ini para warga yang menempati lahan dan rumah bekas aset PT Parasawita tidak bersedia angkat kaki. Warga yakin bahwa lahan dan aset itu sudah dibebaskan sesuai kebijakan sebelumnya, menolak pindah dan berusaha mempertahankan hak-haknya.

"Pihak perusahaan yang mungkin telah merasa dirugikan atas kebijakan ambigu ini, kemudian mengintimidasi warga. Sementara warga yang bereaksi atas sikap PT Rapala ini, tergiring melakukan kriminal sehingga semakin memanaskan suasana," papar Ismail.

Tim panitia khusus DPRK Aceh Tamiang yang sudah turun ke lokasi menyimpulkan, solusi baru akan dicapai jika ketiga pihak duduk bersama. Para pihak yang harus menjelaskan hal ini, yaitu aparatur Kampung Kebun Sungai Iyu dengan membawa dokumen pendukung (fotokopi usulan pembebasan HGU tahun 2012-2013), pihak perusahaan PT Rapala (dengan membawa dokumen peta HGU yang dimiliki), kemudian pihak BPN Aceh dan Pemkab Aceh Tamiang yang merupakan pihak pemberi izin dan pemberi rekomendasi atas pembebasan lahan HGU.

"Kami mendesak Pemkab Tamiang bersama BPN, serius menyikapi masalah ini, dengan menyepakati pertemuan bersama pihak perusahaan dan masyarakat. Sehingga solusi yang diberikan kemudian tidak merugikan warga dan perusahaan," imbuhnya.

Datok Penghulu Kampung Kebun Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Ramlan mengatakan bahwa kampung tersebut sudah berdiri sejak zaman Belanda, yakni sebelum tahun 1945. Dulunya, perkebunan yang dikelola pemerintah ini ditanami pohon kelapa, kemudian diganti dengan tanaman karet. Karena dinilai kurang produktif, kemudian diganti lagi dengan tanaman kelapa sawit.

Selama itu, kampung Sungai Iyu tidak pernah masuk dalam wilayah HGU. Saat ada pihak perusahaan yang kemudian menggarap lahan ini, pemerintah pun kemudian mengambil kebijakan untuk mengembalikannya kepada masyarakat.

"Izin HGU baru keluar pada tahun 1970-an, dan sejak saat itu, kampung tersebut bernama Kampun Kebun Sungai Iyu," ujarnya.

Tambahnya, dari 65 warga yang tinggal di perumahan eks PT Parasawita tersebut, beberapa orang di antaranya merupakan pekerja PT Rapala, dan sebagian lainnya masyarakat biasa dengan profesi petani/berkebun.

"Saat perpanjangan HGU PT Rapala beberapa tahun lalu, kami mengajukan permohonan kepada Pemkab Tamiang agar lahan yang ditempati warga sekitar 200 Ha dibebaskan dari lahan HGU, namun yang diizinkan hanya 34,9 Ha," beber Ramlan.

"Anehnya lahan yang dikeluarkan dari HGU adalah parit keliling dekat Desa Tengku Tinggi, lahan kompleks SD Marlempang, persawahan di Kamung Paya Rehat (bukan Kampung Kebun Sungai Iyu_red), dan jalan di dalam lokasi kebun. Sementara lahan yang diminta warga tidak malah tidak direspons,” paparnya.

Kabag Pemerintahan Pemkab Aceh Tamiang, Agusliana Devita, mengatakan, Pemkab Tamiang malah tidak mengetahui lahan dan aset apa saja apa yang dilepas dari status HGU, saat perpanjangan HGU PT Rapala.

Surat BPN nomor 926/6-11/XII/2014 tertanggal 23 Desember 2014 perihal mohon penjelasan yang ditujukan kepada Direktur PT Raya Padang Langkat (Rapala) tanggal 23 Desemebr 2014 yang ditandatangani Kepala BPN Aceh, H Mursil SH menjelaskan, sehubungan surat dari PT Rapala nomor 452/RPL-XII/2014 tanggal 20 Desemebr 2014.

Dengan ini, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut, pertama, bahwa sertifikat HGU Nomor 84 tanggal 22 Maret 1991 atas nama PT Raya Padang Langkat (dh PT Parasawita) yang terletak di Desa Sungai Yu Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang telah diperpanjang jangka waktu 25 tahun dan telah didaftarkan menjadi sertifikat HGU nomor 168 seluas 1.069,3 dan HGU nomor 169 seluas 39,3 Ha pada kantor BPN Kabupaten Aceh Tamiang.

Kedua, Hasil pengukuran batas bidang tanah (Kadastral) yang dilaksanakan dalam rangka proses perpanjangan HGU PT Rapala sebagaimana tercantum dalam peta bidang tanah nomor 66/2013 tanggal 20 Desember 2013 seluas 1.108,6 Ha Ketiga, berdasarkan hasil pengukuran kadastral tersebut, ternyata terdapat sebagian areal yang harus dikeluarkan (dienclave) dari HGU PT Rapala seluas 34,9 Ha.

"Dengan rincian, persawahan yang terletak di sebelah barat seluas enam hektare, lahan SDN Marlempang seluas lebih kurang 1,1 Ha, persawahan areal pemukiman, jalan umum dan parit keliling di wilayah Kampung Tengku Tinggi seluas lebih kurang 27,8 Ha," tutup Ramlan.[Zf]
Komentar

Tampilkan

Terkini