-->








Iwan Piliang: Monumen Nol Barus dan Gending Sriwijaya

19 Maret, 2017, 19.18 WIB Last Updated 2017-03-22T14:43:46Z
 
ADA dua momen di jelang menutup akhir pekan ini layak menjadi dialektika peradaban.Pertama rencana peletakan Monumen Nol Kilometer Islam oleh Presiden di Barus, penghujung bulan Maret 2017 ini,  digagas oleh Albiner Sitompul, Petani dan tokoh masayarakat Natal, Sumatera Utara. 

Kedua,  soal tarian Gending Sriwijaya, diusulkan oleh Dinas Kebudayaan Sumsel untuk diganti dengan tarian persembahan baru.

Albiner Sitompul di status facebooknya sudah memuat tulisan panjang sejarah masuk awalnya Islam ke Indonesia. Tidak sebagaimana lama dituliskan di buku pelajaran sekolah, petilasan dan riset sejarah menabalkan  Islam telah duluan masuk ke Indonesia di saat Nabi Muhammad SAW masih hidup. 

Getah Kayu Kamper, telah digunakan oleh Mesir Kuno untuk mengawetkan mayat, berasal dari pelabuhan Barus, Sumatera Utara. Di era keemasan Budha di bawah Kerajaan Sriwijaya, Barus menjadi wilayah kekuasaan Sriwijaya. Barus berdiri sebagai kota sejak awal tahun Masehi, sementara peninggalan batu bertulis Kedukan Bukit, Palembang ada sejak 682 M, ditabalkan sebagai kota tertua. Saya takzim dengan semangat Albiner.

Sebelum upayanya saat ini, ia menjabat sebagai Kepala Biro Pers di Istana Negara. Saya masih ingat, setidaknya ada tiga kali Albiner saya pertemukan dengan Bapak Jokowi di saat transisi menjabat Gubernur DKI, hingga terpilih  jadi presiden. Albiner pernah jadi anggota Paspamres, era Presiden BJ Habibie, ia saksi hidup bagaimana menjawab kalimat Prabowo ketika menjaga pintu lift Istana negara.

"Saya mau bertemu presiden," kata Prabowo Soebianto.

"Presiden tidak ada," jawab Albiner.

Prabowo kala itu membawa ajudan bersenjata lengkap.

Kisah Albiner berbeda dengan apa yang ditulis di Buku Sintong Panjaitan. Albiner pun punya kisah menarik bersama BJ Habibie ke Jerman, di saat kalut, layak menjadi sebuah buku putih tersendiri.

Pertama mengenal Albiner ketika kami dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia, di Mabes TNI, Cilangkap mengadakan pelatihan menulis. Albiner kala itu Kapuspen AD, 2011, menjadi salah satu peserta. Setelah itu ia lalu menjadi Aster di Papua, jelang berbintang satu, lanjut rela menjadi sipil, menjadi  Kepala Biro Pers Istana.

Saya sedih ketika karirnya di Istana Negara, harus behenti. Ia difitnah memegang pinggang wartawati. Organisasi sekaliber AJI ikut mendukung ia dipecat, tanpa dibuktikan fitnah menyakitkan itu. Surat pemberhentian Albiner, keluar di saat ia bertugas, ia masih di sisi Presiden Jokowi. 

Beruntung nasib Albiner tak hina dina. Ibadah shalatnya disiplin. Otaknya encer. Kini ia diterima sebagai tenaga pengkaji Madya di Lemhanas. Atas karir terakhir itu saya lega merasa tak terlalu "berdosa" telah meracuninya jadi Kepala Pers Istana.
 
Di kekinian saya simak dari jauh, Albiner menggerakkan petilasan  sejarah nyata kebesaran peradaban silam. Bagi saya ini membanggakan. Saya membaca dari media pekan lalu rombongan tokoh Barus diterima Presiden Jokowi. Presiden berkenan ke Barus, ini layak disyukuri.

Sebagaimana Barus telah maju duluan, Palembang pun demikian. Kota Budha di awal Sriwijaya silam itu kini sedang bersolek-solek menghadapi Asian Games 2018. Awal 2018 LRT, wong kito galo menyebutnya Sepur di Pucuk, sudah akan menggelinding di jalur 26 km dari airport hingga kawasan Sport City Jakabaring. 

Nah di pekan lalu itu Dinas Kebudayaan Sumsel melempar bola akan mengganti tarian Gending Sriwijaya agar cocok dengan sejarah dan kekinian. Di tengah ranah diskusi apalagi dialektika kebudayaan seakan mati dalam lima tahun ini, maka angin segar dari Barus dan Palembang sejatinyalah upaya membangkitkan mutu peradaban.

Saya tentu bukan pakar sejarah, juga bukan pula ahli dalam tarian daerah. Tetapi dari dua ranah berbeda di dua tempat di Sumatera ini telah menyeruakkan isu, topik brilian. Hidup kita bukan saja untuk baku hujat seperti terjadi di Pilkada DKI Jakarta, terlanjur suram karena lembaga terhormat tak pandai lagi membedakan kebenaran dan kebusukan, keadilan dan kebatilan, ambigu akan sikap berbudi atau jahat, lupa akar sejarah, alpa kesenian dan kebudayaan.

Sekilas di Sosmed saya simak di Palembang, sudah pula saling hujat soal Gending Sriwijaya. Padahal kalau tokoh seni dan budaya Sumsel berhimpun, apalagi mereka para penata tari dan penari jitu, inilah momen mengemas tarian Sriwijaya yang lebih duluan di Nusantara, untuk lebih indah dalam tampilan dan sajian, sangat menarik dalam lenggok keemasan,  tak kalah dengan tarian Bali lebih mendunia.

Menutup akhir pekan kali ini dari Barus dan Palembang, saya kian bangga sebagai Indonesia.[Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini