-->




Patut Dicontoh, Perwira Polisi Bantu Keluarga Penggembala Miskin di Lhoknga

18 Maret, 2017, 21.27 WIB Last Updated 2017-03-22T14:50:23Z
BADAN lusuh bagai tak pernah mandi dengan pakaian lusuh, demikian kondisi Faris Alfurqan (14) dan Riska Ayu Amanda (11), anak dari Nuraini (32) yang kini tinggal di sebuah kebun milik salah satu pengusaha area wisata di Gampong Mon Ikeun, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar.

Suprianto (33), suami ketiga dari Nuraini yang kini hanya sebagai seorang pengembala, mengaku kehidupannya sedang dalam kondisi miris. Mengapa tidak, pria asal Medan ini selain menghidupi dua anak yatim tersebut juga harus menghidupi empat anaknya yang masih kecil-kecil dengan pendapatan keluarga tersebut hanya Rp 1 juta perbulan, plus 32 kilo gram beras per bulan.

Hal yang paling mengiriskan hati, Riska yang masih duduk di kelas III SDN I Lhoknga ini, selama ini kerap mendatangi Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Lhoknga. Dia hanya sekedar untuk mendapatkan bahan dalam dari ikan yang diolah oleh tukang ikan setempat hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Tidak jarang, para nelayan setempat menyumbang ikan, segera saat melihat sang gadis kecil itu yang setiap hari datang dan meminta isi dalam dari ikan yang diolah oleh tukang ikan di TPI setempat dengan alasan untuk membawa pulang ke rumahnya.

Saat ini, nasib para bocah tersebut juga terganggu pendidikannya, karena selalu menempuh jarak hingga 3 kilometer antara tempat tinggal dan sekolah tempat mereka belajar saat ini.

Nuraini yang ditemui di tempat tinggalnya, Rabu yang lalu (15/3/2017) , mengisahkan anak-anaknya disuruh untuk mencari perut ikan tersebut karena mereka tidak ada uang untuk membeli ikan segar sebagaimana yang biasa dinikmati orang lain. Sedangkan gaji yang diterima dari penggembala ternak dan membersihkan kebun milik Cut Yang (pemilik taman tepi laut Lhoknga) hanya sejuta rupiah per bulan.

Menurut Nuraini, kehidupan terombang-ambing seperti itu dengan enam orang anak. Berawal dari meninggalnya suami pertamanya sekitar tahun 2006 lalu akibat penyakit. Wanita asal Calee Sigli ini telah menjadi warga Aceh Besar sejak tahun 2002 lalu, dan mendiami Gampong Labui Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Bahkan Nuraini pernah memiliki rumah dan diatas sebidang tanah pada saat itu, namun rumah tersebut disita oleh salah satu perbankan akibat suami keduanya terlibat kredit dan kemudian melarikan diri.

Pada tahun 2010, Nuraini dinikahi oleh Suprianto, sejak saat itu keluarga ini bersama dua anak yatim Nuraini mencoba mempertahankan hidup melalui mencari pekerjaan hingga ke Dumai Riau dan Sumatera Selatan bekerja di perkebunan sawit. Namun semua itu tidak membuahkan hasil yang manis karena tidak tahan hidup ditengah-tengah masyarakat tak seagama. Akhirnya memilih pulang kembali ke Provinsi Aceh.

Sekitar setahun setengah lalu, keluarga ini mendiami Gampong Mon Ikeun, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, dengan mata pencaharian sang suami hanya sebagai buruh kasar dan bekerja layaknya buruh lepas. Sejak tiga bulan terakhir sang majikan pemilik lokasi wisata tepi Laut Lhoknga memberikan pekerjaan kepada keluarganya dengan menggembala ternak sapi serta membersihkan kebun di sekitar lokasi taman tepi laut atau tepatnya di kaki Gunung Riting dengan diberikan fasilitas rumah seluas 4 x 6 arus listrik, TV, air bersih dan beras seberat 32 kilo gram per bulan serta gaji tetap Rp 1 juta rupiah per bulan.

Ibu enam anak ini mengaku, berterimakasih atas bantuan yang diberikan oleh pemilik lokasi wisata yang terkenal di era 90-an itu. Tapi geraknya menjadi terbatas dan tidak dapat berbuat lain untuk menambah dan membantu ekonomi keluarga, sementara diandalkan dari gaji yang di berikan majikan tersebut sungguh tidak cukup di jaman yang serba mahal ini.

Ia berkeinginan, ada penderma yang sudikiranya membantu dirinya untuk dapat melakukan aktifitas sejenis dagang gerobak, guna menambah ekonomi keluarga.

Kecuali itu, saat ini dirinya juga dalam kondisi sangat membutuhkan uang untuk mengambil surat pindah sekolah anaknya di Medan, karena pihak sekolah setempat sering menakut-nakuti anaknya dengan ancaman tidak akan naik kelas karena tidak memiliki surat pindah.

"Riska kini masih status siswa titipan, karena belum berhasil saya ambil surat pindahnya ke medan," kata Nuraini.

Mencuatnya ada keluarga miskin yang terabaikan ini, saat salah seorang penderma sekaligus anggota Kepolisian Polda Aceh Ibrahim Paradeh yang kini bertugas di Polda Aceh, memergoki sang gadis manis itu saat meminta bahan dalam dari ikan yang diolah oleh tukang ikan di TPI Lhoknga pada Senin 13 Maret lalu.

Mantan Kapolsek Baitussalam dan Ingin Jaya ini mengaku sangat tersentak perasaannya saat mendengar kisah sang pengolah ikan setempat, Abdullah (65), yang mengaku setiap hari gadis kecil tersebut bersama adik tirinya meminta perut ikan ke pihaknya. Tidak jarang para nelayan memberikan ikan segar alakadar, jika tidak gadis tersebut hanya membawa pulang perut ikan atau bahan dalaman dari ikan yang seharusnya tidak dimakan karena tidak enak.

Cerita tersebut membuat Perwira Polisi dengan identik cincin batu di seluruh jari tangannya ini, meneteskan air mata, hingga memutuskan menelusuri alamat anak tersebut. Menjelang magrib pada hari itu, Ibrahim menelurusi jejak anak tersebut, meski saat itu Ibrahim harus menelusuri dan melewati perkebunan orang dan melewati jalan yang terjal dipenuhi duri kawat pagar kebun di sekitar tepi laut itu.

Sekitar pukul 18.50 WIB, Ibrahim berhasil menemukan tempat tinggal dan keluarga sang gadis yatim itu. Seketika Ibrahim pulang dikarenakan hari sudah malam. Keesokan harinya, Ibrahim ditemani istri kembali mendatangi keluarga tersebut, ironisnya kisah hidup keluarga beranggotakan delapan orang itu cukup histeris.

Sejumlah sembako pun disumbangkan Ibrahim termasuk pakaian kepada keluarga tersebut. Bahkan Ibrahim berencana akan membelikan sepeda kepada dua anak yatim itu supaya mempermudah dalam bersekolah.

"Jika saya ada rezeki akan saya beli sepeda nanti supaya dapat bersekolah dengan nyaman," kata Ibrahim.[DW]
Komentar

Tampilkan

Terkini