-->








YARA Setuju Pasal UU PA Dicabut, Ini Alasannya!

30 Juli, 2017, 20.50 WIB Last Updated 2017-07-30T13:50:45Z
BANDA ACEH - Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) sepakat dengan pencabutan pasal dalam UU PA yang memang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sosial politik saat ini. Dalam kajian YARA, bukan hanya pasal 57 dan 60 saja yang perlu dicabut, tapi ada pasal lain seperti pasal 56  ayat (4) dan (5), pasal 67 ayat (2) huruf e, pasal 205 dan pasal 209. 

"Kami dari dulu telah menyuarakan agar UU PA diperbaharui sesuai dengan perkembangan politik dan hukum saat ini. Pemerintah Aceh dan DPRA jangan latah dengan perubahan UU PA, seharusnya jika komit mengawal UU PA maka kawalah butir maupun pasal yang mensejahterakan masyarakat Aceh," demikian rilis Ketua YARA, Safaruddin, SH, yang diterima LintasAtjeh.com, Minggu (30/07/2017).

Dijelaskannya, banyak butir dalam UU PA dan MoU Helsinki yang belum dilaksanakan secara optimal, kenapa itu tidak disuarakan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA? Kami meminta agar Pemerintah Aceh dan DPRA tidak menjadikan UU PA sebagai komoditas politik dengan menyalahkan DPR RI. Selama ini kami sering menyampaikan keluhan masyarakat di Aceh dengan beberapa anggota DPR RI seperti Nasir Djamil, Fadlullah, Ghazali Abbas dan Sudirman (Haji Uma).

"Semua yang kami sampaikan tersebut dibantu selesaikan dan Alhamdulillah selesai. Yang penting adanya komunikasi yang harmonis dengan berbagai pihak. Harusnya DPRA dan Pemerintah Aceh mengkaji dulu efek dari pencabutan pasal dalam UU PA tersebut. Apakah merugikan Aceh atau menguntungkan? Jangan langsung menuding pihak lain," ujarnya.

Dan dalam pandangan kami, lanjut Safar, pencabutan pasal dalam UU PA oleh UU Pemilu tidak ada hal yang merugikan masyarakat. Kami juga meminta DPRA dan Pemerintah Aceh membangun komunikasi yang baik dengan Anggota DPR RI dalam membangun Aceh, tidak saling menuding yang menimbulkan ketidakharmonisan Pemerintah Aceh, DPRA dan Perwakilan Aceh di Senayan.

Safaruddin juga menyampaikan pasal usulan untuk dicabut dari YARA:

1. Pasal 56:
(1) KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, dan pemilihan  gubernur/wakil gubernur. 
(2) KIP kabupaten/kota menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, DPRK, dan pemilihan  Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
(3) Dalam hal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KIP kabupaten/kota merupakan bagian dari penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(4) Anggota KIP Aceh diusulkan oleh DPRA dan ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh Gubernur.
(5) Anggota KIP  kabupaten/kota diusulkan oleh DPRK ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh bupati/walikota. 
(6) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), DPRA/DPRK membentuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan penjaringan dan penyaringan calon anggota KIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, mekanisme kerja, dan masa kerja tim independen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan qanun.

Alasan YARA, dengan dicabutnya pasal ini maka perekrutan penyelenggara pemilu di Aceh akan dilakukan langsung oleh KPU dan bukan DPRA/DPRK. Rekruitmen penyelenggara pemilu oleh DPRA dan DPRK sebagai lembaga politik tentu akan menimbulkan kepentingan politik dalam rekruitmen tersebut sehingga penyelengara pemilu sebagai lembaga yang independen tidak akan bias melakukan tugasnya dengan baik.

2. Pasal 67:
(2) Calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 
a. warga negara Republik Indonesia; 
b. menjalankan syari'at agamanya; 
c. taat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat; 
e. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; ……...

Alasan YARA, dalam UU Pilkada usia minimal kepada daerah untuk tingkat Kabupaten/Kota 25 tahun, sedangkan dalam UU PA 30 tahun, ini tentu merugikan bagi masyarakat Aceh khususnya generasi muda yang belum usia 30 tahun ingin mencalonkan diri menjadi bupati, walikota. Pada Pilkada lalu, Nasri digugurkan oleh KIP Aceh Jaya karena usianya kurang satu bulan dari 30 tahun.

3. Pasal 205:
(1) Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. 
(2) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima.
(3) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kepolisian Republik Indonesia mengangkat Kepala Kepolisian di Aceh.
(4) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengajukan satu kali lagi calon lain.
(5) Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Alasan YARA, penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Kepolisian  harus bebas dari intervensi politik, adanya persetujuan gubernur sebagai pejabat politik dikhawatirkan akan menimbulkan benturan kepentingan dalam penegakan hukum sehingga akan mengganggu penegakan hukum.

4. Pasal 209:
(1) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur.
(2) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima.
(3) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung mengangkat Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.
(4) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan Jaksa Agung mengajukan satu kali lagi calon lain.
(5) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung. 

Alasan YARA, penegakan hukum yang dilaksankan oleh Kejaksaan harus bebes dari intervensi politik, adanya persetujuan gubernur sebagai pejabat politik dikhawatirkan akan menimbulkan benturan kepentingan dalam penegakan hukum sehingga akan mengganggu penegakan hukum.

Adapun pasal dalam UU PA yang dicabut dengan UU Pemilu yaitu:

1. Pasal 57:
(1) Anggota KIP Aceh berjumlah 7 (tujuh) orang dan anggota KIP kabupaten/kota berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur masyarakat.
(2) Masa kerja anggota KIP adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.

2. Pasal 60:
(1) Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc.
(2) Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilaksanakan setelah Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK. 
(4) Masa kerja Panitia Pengawas Pemilihan  berakhir 3 (tiga) bulan setelah pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.[Rls]
Komentar

Tampilkan

Terkini