-->

Agar Pengguna Tidak Salah Unggah Medsos, Ini Saran Komunikonten!

29 Desember, 2017, 15.45 WIB Last Updated 2017-12-29T08:45:45Z
DALAM dua bulan terakhir di tahun 2017 (November-Desember) terjadi beberapa kesalahan unggahan di twitter, diantaranya: (1) Akun twitter Kementerian Luar Negeri @Portal_Kemlu_RI yang menampilkan konten porno. (2) Akun twitter Sekretariat Kabinet @Setkabgoid salah unggah kutipan Presiden Jokowi. (3) Akun twitter Kementerian Pertanian @Kementan yang mengunggah aktivitas seorang politisi. (4) Akun twitter seorang jurnalis yang dianggap memfitnah seorang ulama, ia sudah meminta maaf dan sekarang tidak lagi bekerja di kantornya.
 
Tentunya masih banyak akun twitter maupun akun medsos lainnya yang menulis, menggunggah konten tidak pantas, namun terlalu panjang dituliskan disini. Untuk mengurangi berbagai kesalahan dalam mengunggah konten di media sosial, berikut beberapa rekomendasi dari Komunikonten:
 
Pertama, menyarankan pihak twitter atau media sosial lainnya untuk memberikan peringatan sebelum sebuah konten diunggah oleh pengguna medsos, misalnya dengan kalimat "apakah anda yakin konten yang anda unggah benar?", atau "apakah anda sudah memeriksa konten yang anda unggah tidak melanggar ketentuan twitter/instagram/facebook/youtube?".
 
Dengan demikian pengguna media sosial ada jeda waktu untuk memikirkan ulang apakah konten yang akan diunggah benar, atau lebih jauh tidak mengakibatkan perpecahan di masyarakat. Menurut Hariqo (Komunikonten), memang ini mengurangi kecepatan, namun kami yakin ini cukup efektif untuk meminimalisir, mengantisipasi kesalahan yang dapat merugikan yang mengunggah, masyarakat serta banyak pihak.
 
Paling tidak ini bisa diterapkan kepada pengguna baru di twitter atau media sosial lainnya, agar terbiasa berfikir sebelum menggunggah, memproduksi menyebar konten apapun di media sosial. Apalagi jelang Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019 penggunaan media sosial untuk kampanye pasti meningkat. Hal ini juga menjaga kredibilitas media sosial yang memberikan verifikasi atau 'centang biru' kepada penggunanya. Sangat disayangkan jika pengguna yang diberikan sudah terverifikasi melakukan kesalahan fatal.
 
Kedua, media sosial agar mengubah ketentuan penggunaan (term of use) dalam format tanya jawab. Sebelum kita membuat akun di media sosial, kita diminta membaca aturan yang ditetapkan pihak media sosial, kemudian kita diminta persetujuan (setuju / tidak setuju). Namun sayangnya, hal ini jarang dibaca oleh calon pengguna media sosial.
 
Pengalaman kami (Komunikonten) memberikan materi dalam berbagai pelatihan media sosial, banyak peserta mengaku tidak membaca ketentuan penggunaan, namun langsung menyatakan setuju dengan ketentuan tersebut. Ini sama halnya dengan kita beli barang baru, kita cenderung jarang membaca buku petunjuk penggunaan.
 
Akan lebih baik jika Term of use saat seseorang membuat internet harus dirubah dalam format tanya jawab, contoh pertanyaan, apakah jika kami memberikan akun anda siap tidak melakukan fitnah?, dll. Tujuannya agar lebih tertanam di pikiran pengguna mengenai apa yang boleh dan dilarang dilakukan dengan media sosial"
 
Ketiga, merekrut relawan penghapus konten-konten yang merugikan kepentingan nasional Indonesia di media sosial. Banyak konten gerakan separatis, konten tentang radikalisme, hoaks, fitnah, ujaran kebencian, hasutan di media sosial, namun pihak media sosial lambat sekali menghapusnya. Memang pihak media sosial sudah melakukan berbagai terobosan seperti pelaporan, aplikasi pendeteksi, namun yang manual tetap diperlukan.
 
Dalam hal ini pemerintah harus lebih aktif, karena para pengusaha media sosial ini sudah mendapatkan banyak keuntungan dari Indonesia, yaitu mendapatkan data baik yang statis maupun bergerak, dan juga mereka mendapatkan uang dari berbagai iklan. Tegasnya, boleh anda para pengusaha media sosial di mencari untung di Indonesia, tapi jangan karena media anda masyarakat terbelah. Tidak bisa sekali diskusi dengan pihak media sosial, harus berkali-berkali diskusi sehingga lahir kesepakatan yang tidak merugikan Indonesia.
 
Penulis: Hariqo Wibawa Satria (Direktur Eksekutif Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi)
Komentar

Tampilkan

Terkini