BANDA
ACEH - Bicara bendera Aceh tidak menarik lagi, tapi karena
terus dibicarakan jadi menarik. Bagi hasil minyak dan gas bumi selesai juga karena bendera ini.
Ketika masa SBY tidak mau lagi kasih hak Aceh terkait batas laut 12 mil tapi karena
isu bendera diselesaikan secara politik maka politik inilah yang berhasil.
Hal tersebut dikatakan Dosen
FH Unsyiah, DR. M. Adli Abdullah, SH, MCL, saat mengawali sebagai pembicara dalam
diskusi public yang digelar Forum Gerakan Marwah Aceh (FGMA), di Hotel Regina
Kuta Alam, Banda Aceh, Kamis (14/12/2017).
Kata Adli Abdullah, ini
seperti kontes. Makanya kalau kita tahu sejarah dan hukum tidak akan menjadi
masalah tapi kalau dibawa ke ranah politik selalu jadi masalah. Bendera Aceh
yang asli adalah bendera Turki yang dibawa ke Aceh waktu perang Aceh dengan Portugis,
oleh Sultan Selim yang memerintahkan Panglima Merah membantu Aceh. Makanya kapal-kapal
Aceh diizinkan memakai bendera Turki agar tidak diganggu Portugis. Perang Aceh
dengan Portugis 100 tahun dan bendera-bendera ini bergerak. Sampai di Aceh
tidak tahu kapan berubah ditambah pedang dan tidak dapat bukti sejarah. Tidak
ada sejarah tanpa dokumen dan tidak boleh dongeng.
“Kemudian karena ada
kalimat yang berkembang dalam masyarakat ada pedang, 9 pedang. Bangsa Portugis
bangsa megah harus berpindah. Pengaruh bendera Turki bukan hanya di Aceh, kalau
kita pergi ke Selangor, Keudah, Perak bahkan Johor bahkan yang terakhir
Hamengkubowono X mengakui bahwa bendera yang ada di istana Yogya adalah
pengaruh Turki,” terangnya.
Dijelaskan lagi, kemudian
sudah selesai masalah bendera ini tahun 1976 terjadi GAM dan GAM tidak ada
bendera khusus. Kalau kita baca buku Dr. Hasan Ditiro beliau pakai bendera Aceh
juga, hanya bedanya tambah sedikit garis putih dan hitam. Untuk mengingat jasa
pahlawan yang telah meninggal lawan Jepang Dan Belanda. Setelah MoU ada di
paper kemudian ada UU No.11, PP No.77/2007, Qanun No.3/2013. Ini masalah
penafsiran hukum tapi pemerintah tidak bisa mengambil sikap, padahal kalau dari
awal diambil sikap tidak jadi masalah. Justru yang ditempuh bukan jalur hukum
tapi politik yang memicu colling down.
“Habis energi tokoh-tokoh
ini memikirkan bendera dan pemerintah diam saja. Padahal secara hukum setiap
ada konflik regulasi, maaf saya orang hukum akademik hanya diselesaikan 3 cara
pertama legislatif review, yudikatif review dan eksekutif review,” terangnya.
Legislatif review, kata
Adli, DPR tidak mau. Setiap satu tahun setelah diundangkan boleh dia cabut
tidak ada masalah, tergantung kita melobby anggota dewan dan melobby ini juga
orang nasional. Yang kedua ada masalah eksekutif review yang dilakukan
pemerintah bukan merevisi dan mengkoreksi dan saya ketemu dengan Prof. Johermansyah
kenapa tidak revisi saja sampai hari ini tidak dilakukan sehingga sampai Prof.
Jo (Johermansyah) pensiun dan diganti Pak Soni Soemarsono yang terjadi apa?
“Supaya kita ini semua
tidak ribut mari kita dorong pemerintah menyelesaikannya melalui jalur hukum.
Kalau eksekutif review tidak mungkin lagi karena MK telah mencabut kewenangan
pemerintah untuk perda-perda yang ada di seluruh Indonesia. Meminta MA menilai
mana yang sah, kalau sudah sah sudah selesai. Yang kedua bisa juga lobby
pendekatan bicara, jangan gara-gara bendera tersandera pembangunan Aceh dan
lobby dengan DPRA kalau tidak mau, tunggu DPRA berikutnya,” demikian jelas DR.
M. Adli Abdullah., SH, MCL.[*]