-->

DR. Adli Abdullah: Jangan Karena Bendera Tersandera Pembangunan Aceh!

15 Desember, 2017, 09.27 WIB Last Updated 2017-12-15T02:27:41Z
BANDA ACEH - Bicara bendera Aceh tidak menarik lagi, tapi karena terus dibicarakan jadi menarik. Bagi hasil minyak dan  gas bumi selesai juga karena bendera ini. Ketika masa SBY tidak mau lagi kasih hak Aceh terkait batas laut 12 mil tapi karena isu bendera diselesaikan secara politik maka politik inilah yang berhasil.

Hal tersebut dikatakan Dosen FH Unsyiah, DR. M. Adli Abdullah, SH, MCL, saat mengawali sebagai pembicara dalam diskusi public yang digelar Forum Gerakan Marwah Aceh (FGMA), di Hotel Regina Kuta Alam, Banda Aceh, Kamis (14/12/2017).

Kata Adli Abdullah, ini seperti kontes. Makanya kalau kita tahu sejarah dan hukum tidak akan menjadi masalah tapi kalau dibawa ke ranah politik selalu jadi masalah. Bendera Aceh yang asli adalah bendera Turki yang dibawa ke Aceh waktu perang Aceh dengan Portugis, oleh Sultan Selim yang memerintahkan Panglima Merah membantu Aceh. Makanya kapal-kapal Aceh diizinkan memakai bendera Turki agar tidak diganggu Portugis. Perang Aceh dengan Portugis 100 tahun dan bendera-bendera ini bergerak. Sampai di Aceh tidak tahu kapan berubah ditambah pedang dan tidak dapat bukti sejarah. Tidak ada sejarah tanpa dokumen dan tidak boleh dongeng.

“Kemudian karena ada kalimat yang berkembang dalam masyarakat ada pedang, 9 pedang. Bangsa Portugis bangsa megah harus berpindah. Pengaruh bendera Turki bukan hanya di Aceh, kalau kita pergi ke Selangor, Keudah, Perak bahkan Johor bahkan yang terakhir Hamengkubowono X mengakui bahwa bendera yang ada di istana Yogya adalah pengaruh Turki,” terangnya.

Dijelaskan lagi, kemudian sudah selesai masalah bendera ini tahun 1976 terjadi GAM dan GAM tidak ada bendera khusus. Kalau kita baca buku Dr. Hasan Ditiro beliau pakai bendera Aceh juga, hanya bedanya tambah sedikit garis putih dan hitam. Untuk mengingat jasa pahlawan yang telah meninggal lawan Jepang Dan Belanda. Setelah MoU ada di paper kemudian ada UU No.11, PP No.77/2007, Qanun No.3/2013. Ini masalah penafsiran hukum tapi pemerintah tidak bisa mengambil sikap, padahal kalau dari awal diambil sikap tidak jadi masalah. Justru yang ditempuh bukan jalur hukum tapi politik yang memicu colling down.

“Habis energi tokoh-tokoh ini memikirkan bendera dan pemerintah diam saja. Padahal secara hukum setiap ada konflik regulasi, maaf saya orang hukum akademik hanya diselesaikan 3 cara pertama legislatif review, yudikatif review dan eksekutif review,” terangnya.

Legislatif review, kata Adli, DPR tidak mau. Setiap satu tahun setelah diundangkan boleh dia cabut tidak ada masalah, tergantung kita melobby anggota dewan dan melobby ini juga orang nasional. Yang kedua ada masalah eksekutif review yang dilakukan pemerintah bukan merevisi dan mengkoreksi dan saya ketemu dengan Prof. Johermansyah kenapa tidak revisi saja sampai hari ini tidak dilakukan sehingga sampai Prof. Jo (Johermansyah) pensiun dan diganti Pak Soni Soemarsono yang terjadi apa?

“Supaya kita ini semua tidak ribut mari kita dorong pemerintah menyelesaikannya melalui jalur hukum. Kalau eksekutif review tidak mungkin lagi karena MK telah mencabut kewenangan pemerintah untuk perda-perda yang ada di seluruh Indonesia. Meminta MA menilai mana yang sah, kalau sudah sah sudah selesai. Yang kedua bisa juga lobby pendekatan bicara, jangan gara-gara bendera tersandera pembangunan Aceh dan lobby dengan DPRA kalau tidak mau, tunggu DPRA berikutnya,” demikian jelas DR. M. Adli Abdullah., SH, MCL.[*]
Komentar

Tampilkan

Terkini