BANDA
ACEH
- DR. Rusly, MPD, hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik yang
dilaksanakan Forum Gerakan Marwah Aceh (FGMA) bertema "Bendera Pemersatu
untuk mewujudkan Aceh Damai, Aceh Hebat dalam rangka mengembalikan marwah Aceh
Ban Sigom Donya, bertempat di Hotel Regina Kuta Alam, Banda Aceh, Kamis
(14/12/2017).
Mewakili Prof. Syahrizal
selaku Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas) Aceh, DR. Rusly, MPD,
mengungkapkan ada beberapa pokok pikiran menyangkut bendera yang menjadi
persoalan di republik ini. Diawali dengan social cost, ada interaksi sosial
manusia dengan manusia, kelompok, lingkungan dan sang Pencipta. Relasi sosial
tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Dalam struktur masyarakat apapun
struktur sosial tidak bisa dilepas dengan kekuasaan. Sangat diwarnai oleh satu
pemikiran biorical imprealism. Setiap sel makhluk pasti dia ingin dominan dan
berkuasa.
“Kalau kita tanam rumput
gajah disamping rumah kita dan rumput lain akan terpinggirkan. Cuma karena
manusia ini melahirkan etika, boleh kita dominan, boleh saya mengambil uang
teman lain dengan cara diskusi, negosiasi, pinjam dan itu dinamakan moralitas,”
katanya berumpama.
Menurutnya, suatu bangsa
dianggap hebat, bermartabat, punya budaya tinggi kalau dia mampu melakukan
komunikasi sosial yang benar dan martabat itu. Apakah dalam proses tidak ada
saling membunuh dan meniadakan? Terjadi dimana-mana tentunya ada proses-proses
perbaikan yang dinamakan kestabilan yang terjadi dalam masyarakat.
Selanjutnya, kata dia, yang
kedua akibat dari menilai sesuatu, mengalami dan muncul persepsi kita terhadap
sesuatu maka lahirlah simbol-simbol tertentu. Simbol tentunya dimaknakan
menurut keinginan kita. Orang lain memaknakan menurut orang lain dan disinilah
terjadi dialektika dalam kehidupan social terjadilah bunuh membunuh dan
pemusnahan dan dari itu muncul perspepsi.
“Dalam suatu peristiwa itu
muncul berdasarkan pengalaman-pengalaman kita sebelumnya. Saya ingat betul sebelum
Danish menulis betul tentang Raja-raja Aceh seolah-olah di Aceh tidak ada sumber
pemerintah yang hebat. Christiaan Snouck Hurgronje menggambarkan struktur
kehidupan masyarakat Aceh tanpa mempromosikan dalam kontek Kesultanan. Kenapa
itu tidak dilakukan, dia misi penjajah supaya persepsi orang Aceh tidak terkait
dengan kekuasaan baru. Setelah itu ditulis Danish ada Sultan Iskandar Muda.
Dalam sisi kongnitif kita ada pemahaman historis Aceh,” urainya.
Dikatakannya lagi, bendera
Aceh dibentuk tentunya dari pemahaman historis kita dan nilai bisa berkembang
dengan proses dominan tadi. Kemudian orang lain menganggap bendera sebagai
symbol dan dikaitkan dengan historical mereka, maka muncul dialektika.
Persoalannya mampukah kita membangun komunikasi politik secara intens untuk
mengubah itu menjadi persepsi kita bersama? Supaya dipersepsikan sama oleh
orang yang berbeda. Itulah symbol dari seluruh masyarakat Aceh, sah-sah saja
tidak menjadi persoalan. Kenapa jadi persoalan kalau ada paradox simbol-simbol
yang dibangun dengan komitmen bersama.
“Dalam perspektif MoU
Helsinki dan UU itu sudah jelas digambarkan hal itu. Mana kekuasaan otonomi
daerah Aceh mana kekuasaan Pemerintah Pusat. Tapi itu belum cukup karena
persepsi tadi. Yang tidak kita lakukan membangun komunikasi yang intens dengan semua
pihak sehingga simbol-simbol bisa diterima secara bersama, itulah yang namanya
peradaban. Peradaban itu indikatornya kebersamaan, kesejahteraan, humanis dan
nilai kemanusiaan dan tidak diskriminatif,” tegasnya.
Orang berontak, masih kata
DR. Rusly, tidak senang kepada sesuatu kelompok disebabkan diskriminatif dalam
masyarakat itu. Kalau kita baca sejarah Aceh tahun 1946, kelompok penguasa saat
itu menguasai aset-aset dan dia punya sawah 16 bunca per orang sedangkan
pihak-pihak lain tidak punya. Penguasaan ekonomi akan melahirkan gerakan-gerakan
untuk melakukan perbaikan ke arah itu. Akibat proses dialektika itu kita harus
memaknakan kita harus mencari simbol-simbol yang lebih apreatif dan tidak
paradox dengan keinginan lain, disitulah seni dalam komunikasi. Komunikasi yang
ktia bangun bukan pokoknya kita akan pasti kalah itu persoalan utama. Apakah
dosa kita memperjuangkan? Tidak. Karena nasionalisme, apakah ke-Acehan.
Nasionalisme persepsi kita terhadap negara semakin kita kupas semakin tidak ada
dia seperti bawang merah dan putih. Yang perlu kita pertahankan adalah
bagaimana lapisan satu bawang dengan lain tetap dijaga menjadi
kebijakan-kebijakan yang benar. Kalau masyarakat merasa tidak tersantuni dan
terjadi senggang antara kaya dan miskin maka nasionalisme tidak akan terbentuk.
Agar ada kedamaian di Aceh, bagaimana SDA yang tersedia harus mengacu pada
kebijakan tersebut.
Lanjutnya lagi, pertama
adalah bagaimana leadership kita jangan transaktional unsip. Sangat material
tidak punya transformasi Aceh kedepan bagaimana? Kalau dikasih project namanya
project instant makanya ketika kita enak disitu kita melupakan yang lain. Karena
itu kepemimpinan dan perlu dijaga komitmen menjadi penting dan bendera sebagai
symbol dan bagaimana implementasi dari kebijakan pemerintah dan negara
memperkukuh persaudaraan kita. Masalah himne saja menjadi persoalan. Non
pesisir ada penolakan terhadap itu karena bahasa Aceh. Kenapa tidak bentuk
arrangement dalam bahasa Gayo, bahasa Singkil dan lainnya. Itu yang tidak dan menjadi carier dalam
membangun Aceh yang damai dan sejahtera kedepan.
Intinya nilai-nilai
komunikasi politik harus intens dan bisa dilakukan oleh teman-teman kita dari
gerakan ini. Sehingga muncul persepsi antara dulu dengan sekarang sangat jauh
dan kurang terbedaya dalam membangun simbol-simbol itu. Bendera itu kita yang
maknakan, kalau bendera itu lain akan menjadi lain melalui proses persepsi
kita. Bagaimana mensosialisasikan hal itu? Yang kedua adalah kita harus
mengawal pemerintah itu dengan prinsip-prinsip yang benar, prinsip good
government. Kata dia, transaksi yang benar.
“Yang ketiga Gerakan Aceh
Merdeka nilai bagaimana membangun roh martabat itu dan itu yang masih belum
kita praktekkan dalam kehidupan ekonomi, politik dan yang lain. Kalau itu kita
praktekkan tidak akan terjadi gerakan-gerakan lain yang disebabkan perbedaan
pendapatan tadi. Paling penting dimana roh itu menjadi kekuatan yang kita
lakukan dan impikan. Kalau dalam hidup tanpa ada sesuatu yang kita impikan dan
takutkan dalam istilah Prof. Salim Said akan menjadi berbahaya dan kita tidak
pernah maju. Makanya roh spirit perjuangan menjadi rasa kagum kita dan gerakan
kita berdasarkan prinsip benar untuk kemaslahatan kita bersama dan bangsa Aceh.
Bangsa Aceh bukan pesisir dan semua bagian biarpun dia penutur bahasa yang
sangat kecil,” tutup DR. Rusly dalam penjelasannya.[*]