-->








Beritakan Dugaan Penggadaian Sertifikat Lahan Mesjid, Empat Wartawan Dipanggil Penyidik Polda Aceh

14 Januari, 2018, 19.38 WIB Last Updated 2018-01-14T16:45:59Z
LANGSA - Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Aceh, menilai pemanggilan sejumlah wartawan terkait berita dugaan penggadaian surat lahan mesjid Gampong Matang Selimeng, Kec. Langsa Barat, Kota Langsa oleh Penyidik Dit Reskrimsus Polda Aceh salah alamat dan tidak tepat.

Hal tersebut di sampaikan Ketua IWO Wilayah Aceh Muhammad Abubakar, Minggu 14 Januari 2018 di Langsa, menurutnya wartawan yang memberitakan kasus tersebut sudah sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ). 

Wartawan juga tidak kebal hukum, namun terkait pemberitaan tersebut sangat tidak rasional kalau penyidik Polda Aceh memanggil sejumlah wartawan yang ikut memberitakan kasus tersebut, akan di periksa sebagai saksi dalam kasus UU ITE.

Masih kata Muhammad Abubakar, seharusnya penyidik Polda Aceh harus mempelajari dulu KEJ, Pedoman Media Cyber dan MoU Nomor 01/DP/MoU/II/2012 dan Nomor 05/II/2012 Antara Dewan Pers dengan Kepolisian Republik Indonesia. Kita harap penyidik Polda Aceh jangan mengabaikan aturan yang ada.

lanjutnya, mereka diminta datang pada Senin 15 Januari 2017 besok, untuk didengar keterangan sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE) terkait dengan pemberitaan bohong atau fitnah dimedia cetak dan media online dimana Nazaruddin IB dituding telah menggadaikan lahan Masjid Gampong Matang Seulimeng Kota Langsa.

Pemanggilan tersebut,  bermula ketika sejumlah wartawan mengikuti press release yang digelar Rizki Romiza, terkait permasalahan hutang piutang Tim Pemengan pasangan Umara paska Pilkada 2017-2022 dengan Rizki Romiza, pada Minggu 8 Oktober 2017 lalu di Warung Cek Li, Jalan A. Yani, Kota Langsa.

Adapun rilis yang diterima puluhan wartawan, "Terkait Tim Pemenangan UMARA Diduga Gadaikan Surat Masjid untuk Biaya Pilkada 2017-2022."

Dalam rilis tersebut Rizki mengatakan, sekira Januari 2017 saya bertemu dengan AA (WK) yang merupakan koordinator Tim Pemenangan Umara. Pada pertemuan tersebut WK meminta pinjaman uang sebesar Rp.430 juta kepada saya.

Uang tersebut katanya, "untuk menebus surat lahan Masjid Gampong Matang Seulimeng, Kecamatan Langsa Barat yang digadaikan oleh NI (NK) yang merupakan Ketua Tim Pemenangan Umara."

Katanya, surat Masjid tersebut digadaikan NK sebesar Rp.430juta kepada Ibu Igan di Medan. Uang tersebut dipakai oleh UA atau untuk membayar utang, pembiayaan Kampanye Pilkada Umara 2017-2022, serta belanja perlengkapan kampanye di Medan dan Bandung.

Selanjutnya, WK meminta saya untuk membantu menebus surat Masjid tersebut karena apabila diketahui oleh masyarakat umum akan menjadi aib yang sangat memalukan. Apalagi uang pinjaman tersebut dikenakan bunga setiap bulan sekira Rp30 juta.

Dikatakan Rizki lagi, karena merasa kasihan dan prihatin maka sesuai dengan permintaan WK pada, 7 Maret 2017, uang sebesar Rp450 juta saya berikan kepada AA (WK).

Selanjutnya, WK menyerahkan uang tersebut kepada NK untuk menebus uang Masjid itu yang di gadaikan kepada Ibu Igan di Medan. Oleh karena itu, saya sangat kecewa ketika meminta uang dikembalikan kepada WK dan NK, mereka selalu menghindar dan mengulur-ulur waktu. 

Bahkan alasannya, mereka belum mempunyai uang untuk mengembalikan karena uang tersebut tadinya dipakai oleh UA (TS) untuk belanja. Selanjutnya, saya menjumpai UA tentang perihal tersebut, "ia mengatakan mengenai uang tersebut urusan WK (Koordinator Tim Pemenangan Umara) dan NK (Ketua Tim Pemenangan Umara)."

Sejumlah wartawan yang dipanggil penyidik Polda Aceh mengaku tidak akan mendatangi panggilan itu. Sebagian bahkan menyesali adanya pemanggilan yang dilakukan kepada wartawan ketika melakukan tugas jurnalistik.

Saiful Alam wartawan Tamiang News yang juga menerima panggilan penyidik menegaskan apa yang dilakukan penyidik terkait menjadikan seorang wartawan sebagai saksi dalam kasus ini adalah salah. Alasannya, apa pun yang diketahui wartawan bisa dilacak dari berita yang ditulis.

"Kami tidak akan datang, selanjutnya surat tersebut akan kami serahkan kepada perusahaan media masing-masing," ujarnya.  

"Yang bisa dipanggil penyidik adalah pemimpin redaksi dari media yang memberitakan, bukan wartawannya," imbuhnya.

Sementara itu, Edi Anwar wartawan Kanal Aceh dan Rabono Wartawan Beritanya Info mengatakan, penugasan dan berita yang diketahui wartawan telah dilaporkan sebagai berita yang terbuka kepada publik. Semua pekerjaan jurnalis sepatutnya juga sudah diketahui pemimpin redaksi. 

Kemudian, bila ada wartawan dipanggil polisi untuk dimintai keterangan sebagai saksi, bisa bersurat kepada Dewan Pers dengan melampirkan surat panggilan. Dewan Pers akan menyurati pemimpin redaksi yang bersangkutan dan penyidiknya.

"Jadi, pemanggilan oleh polisi kepada wartawan yang diminta jadi saksi seharusnya ditujukan kepada pemimpin redaksi atau penanggung jawab, bukan langsung kepada wartawan berstatus bawahan," ucapnya.

Ia juga mengatakan, mengutip Peraturan Dewan Pers Nomor 05/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan: "Dalam Perkara yang Menyangkut Karya Jurnalistik, Perusahaan Pers Diwakili oleh Penanggung Jawabnya, dalam Kesaksian Perkara yang Menyangkut Karya Jurnalistik, Penanggung Jawabnya Hanya Dapat Ditanya Mengenai Berita yang Telah Dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan Hak Tolak untuk melindungi sumber informasi.

Ditambahkan dalam penjelasan Pasal 12 UU Pers, yang dimaksud penanggung jawab adalah penanggung jawab perusahaan yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Biasanya pemimpin redaksi merangkap sebagai penanggung jawab.

"Jelaslah, penyidik tak usah repot-repot memanggil wartawan sebagai saksi. Sebagai contoh, dalam kasus pencemaran nama baik, penyidik cukup menjadikan karya jurnalistik sang wartawan yang sudah dipublikasikan melalui media cetak, media penyiaran, dan media siber atau media online sebagai alat bukti untuk memprosesnya," sarannya.

Seumpama ada polisi yang bersikeras menjadikan wartawan sebagai saksi, lanjutnya, maka sang wartawan bisa menggunakan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Koordinasi dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers.

Hal senada juga disampaikan Munawar, Wartawan Harian Waspada. Ia juga mengatakan bahwa terkait berita fitnah dan bohong yang dicantumkan dalam kesaksian pihak kepolisian kepada terlapor juga tidak jelas. Apakah berita bohong atau fitnah baik saat statement pada berita yang telah diterbitkan atau ditayangkan media massa, atau saat pers rilis yang dilakukan Rizki Romiza.

"Kalau pemanggilan saya terkait berita yang telah tayang, pihak polisi harus memahami pernyataan yang sudah dijelaskan oleh rekan-rekan tadi," ucapnya.

"Sedangkan jika berita bohong atau fitnah dinilai petugas dilakukan saat press release, saya nyatakan tidak bersedia menjadi saksi. Mengingat saya juga berhak menjaga kredibilitas saya sebagai wartawan profesional dan harus tetap netral dengan narasumber saya," Munawar yang juga Sekretaris PWI Kota Langsa.[*]
Komentar

Tampilkan

Terkini