-->




LPPA dan PDDA Soroti Pentingnya Pendidikan Berkarakter

11 Agustus, 2018, 15.39 WIB Last Updated 2018-08-11T08:39:50Z
BANDA ACEH - Pengurus Lembaga Pemantau Aceh dan Pemuda Da'wah Aceh menyebutkan pendidikan yang berkarakter akan menciptakan banyak intelektual terpelajar,  bukan intelektual yang kurang ajar.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Pengurus LPPA dan PDDA Riri Isthafa Najmi, dalam rilisnya, Sabtu (11/08/2018). 

Kata Riri, hal ini bisa disaksikan adanya berbagai fenomena sosial di Aceh yang muncul semakin mengkhawatirkan. Dalam fenomena penyelesaian masalah melalui kekerasan seakan sudah umum terjadi. Pemaksaan dan penekanan kehendak dari satu kelompok terhadap kelompok yang lain  sudah dianggap biasa.

"Hukum begitu jeli pada kesalahan tapi buta akan keadilan. Dikhawatirkan reduksi pendidikan telah melahirkan manusia-manusia buaya," jelasnya.

Tanpa budaya, lanjut dia, hanya manusia-manusia yang berkarakter dan berbudaya yang dapat mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan untuk kemajuan bangsanya. Apalagi fenomena dan wajah pendidikan di Aceh yang semakin hari tampaknya semakin memprihatinkan.

"Pendidikan yang sejatinya memanusiakan manusia justru menjadi dunia mengerikan yang siap membinasakan moral generasi penerus," ujarnya.

Menurutnya, bisa kita lihat contoh kasus pemukulan siswa oleh temannya hingga tewas, kasus bullying yang tak terhitung lagi jumlahnya. Hingga kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru atau karyawan kepada siswanya.

"Seyogyanya, sekolah yang merupakan salah satu pilar pendidikan yang semestinya memberikan kontribusi bagi pengembangan budi pekerti, justru berbalik menjadi sarang dekadensi moral anak," beber Riri.

Riri menambahkan, kemerosotan moral dan karakter pelaku pendidikan pada sektor tersebut menjadi momok yang paling menakutkan bagi maju tidaknya sebuah peradaban masyarakat dan bangsa.

"Berkualitas tidaknya suatu bangsa dan tinggi rendahnya suatu kebudayaan, esensi pendidikan yang selama ini tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang seharusnya diartikan secara menyeluruh dan mendalam bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya dijadikan sebuah alat untuk menaikan derajat ekonomi saja, tetapi juga harus dapat memanusiakan manusia," tegasnya.

Masih kata dia, berbagai tujuan telah digaungkan sebagai bentuk kepedulian para pemikir pendidikan terhadap kemajuan Aceh. Tentunya berdasarkan fungsi dan tujuan bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

"Berbicara mengenai pendidikan karakter tidak terlepas dari karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan baik dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, kedaerahan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat," urai Riri. 

Dengan demikian, kata dia, pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Baik terhadap Allah SWT, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

"Sejatinya dalam penerapan pendidikan karakter tersebut menurut kacamata penulis lebih memberikan tanggungjawab kepada guru selaku pengajar. Sejatinya, guru tidak hanya transfer of knowledge melainkan transfer of value. Tidak hanya dikembangkan dari aspek intelektual saja sehingga mengabaikan nilai-nilai moral, nilai-nilai kebudayaan dan lain-lain. Pendidik lebih mengarahkan pada hal- hal yang lebih bersifat kontekstual, maksudnya adalah mengaitkan materi pelajaran langsung dengan fenomena yang ada," jelasnya lagi.

Sebagai proses tranformasi, sambung dia, pendidikan merupakan proses transformasi nilai-nilai moral berupa karakter dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sehingga proses tersebut melahirkan pribadi yang luhur, beradab, kreatif dan produtif yang diharapkan mampu menjadi penggerak di mana dia hidup. 

"Saat ini banyak sekali orang pintar namun minim akan moral. Saat ini jarang sekali seseorang yang memiliki moral baik, menggadaikan kejujuran demi mendapatkan segala sesuatu. Kemudian menggadaikan kehormatan demi mendapatkan apa yang diinginkan, tergelincir dalam arus modernitas yang semakin jauh dengan budaya-budaya lokal sendiri," sebut Riri.

Dijelaskan dia, hal tersebut justru berdampak buruk sehingga menjadi semakin jauh dan enggan mengakui budaya sendiri. 

Diterangkannya, krisis keteladanan karakter merupakan krisis kemanusiaan. Setiap orang melakukan sesuatu dengan sesukanya tanpa memikirkan akibatnya. Di dalam masa krisis yang kita alami saat ini tampaklah manusia-manusia tanpa disiplin, manusia yang menerapkan hukumnya sendiri, manusia rakus dan kehilangan pertimbangan akal sehat.

"Padahal manusia yang pandai adalah manusia yang memikirkan seagala sesuatu dengan pertimbangan terlebih dahulu dilihat dari berbagai sudut pandang dalam mengambil suatu keputusan," ujarnya.

Menanamkan nilai-nilai karakter, kata dia, seperti kejujuran merupakan tanggungjawab moral bagi seorang guru atau pendidik agar peserta didik tidak keluar dari jalurnya atau melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal tersebut tentunya tidak serta merta menjadi tanggung jawab seorang guru saja. Empat pilar utama pendidikan pun turut berkontribusi dalam menggalakan pendidikan karakter ini yaitu dimulai dari keluarga, sekolah, masyarakat dan temapat ibadah. Tentunya demi tercapainya suatu pendidikan yang masi membutuhkan waktu dan komitmen yang kuat dari semua pelaku pendidikan untuk membangun keberadaban bangsa melalui pendidikan karakter.

Riri menambahkan, sebenarnya ada dua alat kontrol untuk tidak melakukan penyimpangan dan kekeliruan. Pertama adalah kontrol internal, yakni adanya disposisi batin, keutamaan dan kesediaan mengikuti hati nurani yang bersih dan kesediaan mengevaluasi diri (muhasabah diri). Kedua adalah kontrol eksternal, yakni merupakan dorongan ketaatan hukum, norma sosial dan kesadaran pada tanggungjawab sosial.

"Sebagai catatan akhir penulis dapat menyimpulkan bahwa kompleksitas dan objek permasalahan pendidikan berada pada pendidikan karakter, sementara kunci pendidikan karakter ada pada pendidiknya, bukan di kurikulum ataupun buku. Oleh karena itu muliakanlah guru, agar guru dapat tenang dan fokus dalam membentuk generasi penerus bangsa yang memiliki karakter yang tangguh dan kuat dalam membangun peradaban dan masa depan bangsa," tutup Riri [*/Pawang]
Komentar

Tampilkan

Terkini