-->








Merugikan Kaum Perempuan di Aceh, Elvida: Tinjau Ulang Dampak Pertambangan!

09 Maret, 2019, 10.21 WIB Last Updated 2019-03-09T03:26:47Z
BANDA ACEH - Hari ini, Jum'at (08/03/2019), seluruh dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini menjadi momentum penting perjuangan hak-hak perempuan. Munculnya era industrialisasi di dunia sejak abad yang lalu turut mempengaruhi kemunculan pemikiran-pemikiran progresif, salah satunya terkait dengan status perempuan di ruang publik dan ruang privat. 

Namun dalam praktiknya, proses perbaikan itu terus berjibaku dengan berbagai kendala yang ada. Pemikiran-pemikiran normatif yang  ada hari ini terus saja mengesampingkan kapasitas dan partisipasi perempuan serta kelompok terpinggirkan lainnya. 

Di Aceh, paska konflik yang terjadi selama puluhan tahun di bawah payung Orde Baru, kita sempat berharap banyak pada kemunculan era reformasi, sehingga persoalan perempuan ikut diangkat dan menjadi perhatian serius yang akan dibenahi. Namun nyatanya, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak makin lama kian memprihatinkan.  

Badan Eksekutif Komunitas Bungoeng Jeumpa Aceh, Elvida mengatakan berfokus melihat dampak pertambangan bagi kehidupan perempuan. Terbukanya investasi di bidang pertambangan di Aceh, terus saja dimanfaatkan secara eksploitatif oleh perusahaan-perusahaan. Dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akhirnya mempersempit ruang gerak perempuan dalam akses pertanian dengan alif fungsi lahan hutan menjadi lahan industri. Perempuan juga semakin terbeban karena sumber air semakin berkurang. Fungsi kesehatan reproduksi juga akan terganngu karena kualitas air yang buruk.

Hal yang lain, kata dia, eksploitasi pertambangan juga berpengaruh pada keseimbangan alam dan rusaknya ekosistem di sekitarnya. Dalam praktiknya, pertambangan di Aceh juga kerap menimbulkan masalah sosial dan lingkungan yang serius, menciptakan kemiskinan dan senantiasa mengabaikan hak-hak hukum adat masyarakat setempat. 

Dijelaskan Elvida, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah pada Desember 2018 lalu telah mencabut 98 Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan Operasi Produksi (OP) mineral logam dan batubara yang bermasalah. 

"Masalahnya kemudian, pada Januari 2019 lalu pemerintah tak lagi memperpanjang moratorium tersebut. Ini menjadi kabar buruk bagi kita semua. Karena itu kita mendesak pemerintah untuk tetap meninjau ulang sekaligus mengevaluasi kegiatan pertambangan yang selama ini bermasalah," bebernya. 

Karena dalam pandangan SP Aceh, lanjutnya, dampak buruk pertambangan lebih berat bagi kaum perempuan, yang harus bertahan hidup dalam kondisi itu, dan belum memiliki akses untuk dilibatkan guna mendorong perbaikan di sektor tersebut.

SP Aceh memandang, hari ini seharusnya perempuan sudah terbebas dari berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan. Namun faktanya, Aceh masih mengalami hal tersebut. Masih banyak warga yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan yang mengalami krisis air  yang membuat kaum perempuan bertambah bebannya.
"Sekali lagi, pemerintah harus memiliki agenda prioritas. Siapapun calon pemimpin ke depan harus berani mengevaluasi kembali seluruh izin pertambangan dengan mengambil langkah tegas, terkait persoalan yang timbul antara perusahaan dan masyarakat," tutup Badan Eksekutif Komunitas Bungoeng Jeumpa Aceh, 
Elvida.[*/Red] 
Komentar

Tampilkan

Terkini