-->




Referendum Itu Sudah Diatur dalam Konstitusi, FPMPA: Tak Perlu Alergi!

30 Mei, 2019, 10.29 WIB Last Updated 2019-05-30T03:29:00Z
BANDA ACEH - Maraknya respon masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh terkait wacana referendum beberapa hari terakhir sempat menggemparkan jagat nusantara.

Mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa Pemuda Aceh (FPMPA), Delky Nofrizal Qutni mengatakan bahwa referendum hal yang wajar dan dibenarkan secara konstitusi bahkan tak ada larangan dalam UUPA dan undang-undang lainnya di Indonesia. 

Dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia. Sementara referendum itu adalah jejak pendapat.

"Jika kita lihat lebih secara mendasar, referendum itu berasal dari bahasa latin atau jajak pendapat adalah suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang memengaruhi suatu negara secara keseluruhan, misalnya seperti adopsi atau amendemen konstitusi atau undang-undang baru, atau perubahan wilayah suatu negara. Pada umumnya, terdapat dua jenis referendum, yaitu referendum legislatif dan referendum semesta. Referendum legislatif dilakukan apabila suatu adopsi atau perubahan atau pembaharuan konstitusi atau undang-undang mewajibkan adanya persetujuan rakyat seluruhnya. Sedangkan referendum semesta adalah sebuah aksi referendum yang diselenggarakan berdasarkan kemauan rakyat, yang didahului oleh sebuah aksi demonstrasi atau petisi yang berhasil mengumpulkan dukungan mayoritas. Yang ingin dilakukan di  Aceh itu referendum seperti apa ya tinggal disesuaikan keinginannya seperti apa," paparnya.

Terkait referendum ini sendiri, kata Delky, sebenarnya tak ada larangan secara konstitusi. Toh dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum sudah diatur sedemikian rupa. Jadi, wacana yang dilemparkan Mualem itu wacana konstitusional dan dibenarkan secara Undang-Undang RI sendiri. "Referendum itu bagian proses demokrasi yang dibenarkan secara konstitusi di negeri ini," kata aktivis muda Barat Selatan ini.

Pada 2014 silam kita dari kalangan muda dan mahasiswa juga pernah menyampaikan usulan yang sama yakni "referendum". Kala itu, kita meminta legislatif Aceh melakukan referendum terkait 3 aturan turunan UUPA yang hingga Oktober 2014 belum juga diterbitkan. "Kala itu kita menyampaikan jika pada Februari 2015, 3 aturan turunan UUPA itu juga tak diselesaikan maka mesti digalang referendum. 

"Kala itu kita sempat ingin tawarkan minimal dilakukan referendum legislatif. Namun, pada 31 Januari 2015 pemerintah pusat telah menyelesaikan 3 turunan UUPA berupa 2 Peraturan Pusat(PP) dan 1(satu) Perpres. Jadi, tawaran referendumnya tak perlu lagi karena tuntutannya terjawab,"  jelas mantan Koordinator Aksi FPMPA yang pernah menawarkan referendum terkait 3 aturan turunan UUPA pada 2014 silam.

Delky menambahkan, pada tahun 2017 Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) juga pernah menawarkan wacana referendum di depan sidang MK. "Jadi, referendum itu hal yang wajar di alam demokrasi ini," sebutnya. 

Terkait adanya pihak yang melaporkan Mualem (Muzakir Manaf) karena melemparkan wacana referendum itu dinilai sebagai respon yang berlebihan akibat kepanikan. "Jadi, wacana yang diutarakan Mualem itu kan dibenarkan secara undang-undang, jadi kenapa harus ada pihak yang panik dan main lapor sana sini. Wacana yang disampaikan itu kan wacana demokratis, kenapa harus risih. Kalau memang diperlukan ya lakukan saja, kan kita belum tau hasilnya seperti apa, referendum yang diwacanakan itu referendum semesta atau referendum legislatif. Tak perlu risih berlebihan lah jika konstitusi di Indonesia membenarkan jejak pendapat itu dilakukan sebagai bentuk upaya demokrasi, jadi tak perlu alergi dengan wacana itu," cetusnya.

Menurut Delky, biasanya isu-isu yang kental seperti ini akan diringi dengan propaganda memecah belah Aceh, misalkan munculnya isu pemekaran wilayah dan seterusnya. "Harapan kita masyarakat Aceh tetap kompak dan tak terpecah belah, masalah adanya perbedaan pendapat nanti tinggal disampaikan aspirasi dan pilihannya ketika jejak pendapat (referendum) dilakukan," imbuhnya.

Dia mengatakan, jika benar upaya referendum itu dilakukan maka hal itu bisa didaftarkan segera ke pihak terkait (Mendagri), sehingga upaya itu dapat dilakukan secara demokratis dan konstitusional. "Masalah itu datangnya dari Mualem atas dasar apa, Mualem kan punya dalil yang kuat, tinggal Mualem dan tokoh-tokoh Aceh yang mendukung upaya itu mendaftarkannya sesuai mekanisme dan aturannya," lanjutnya.

Dia juga menyebutkan, kalau dikaitkan dengan Pilpres, maka kita justru melihat pasca Pilpres itu salah satu daerah yang paling kondusif itu di Aceh. "Jadi, tak perlulah dikembangkan kemana-mana, anggap saja itu jalan tengah yang ditawarkan untuk solusi atas kondisi. Tinggal wacana itu direspon, karena pasti ada yang dirindukan, apa yang dirindukan oleh masyarakat Aceh ya tentunya masyarakat Aceh sendiri yang lebih paham," ucapnya.

Pihaknya juga meminta pihak-pihak luar Aceh tidak terlalu jauh sampai-sampai ingin melaporkan Mualem karena itu hanya membuat wacana itu karena justru tak elok dalam suasana saat ini. 

"Saya kira upaya-upaya seperti itu justru semakin memperkeruh suasana alam demokrasi. Wacana yang dilemparkan oleh Mualem itu harus kita hargai, masalah nanti pilihan jajak pendapat itu hasilnya seperti apa kan kita semua belum tahu. Ini ide cerdas yang dilemparkan Mualem untuk membuka ruang demokrasi di bumi Aceh, masalah hasilnya kan nanti dilihat seperti apa, maka kerinduan rakyat Aceh itu cenderung pada pilihan yang mana kan juga belum diketahui. Inikan yang dilempar itu wacana, argumentasi dalam menyikapi situasi, tentunya dengan cara-cara demokratis yang dibenarkan oleh konstitusi," tandasnya dalam rilisnya, Kamis (30/05/2019).[*/Red] 
Komentar

Tampilkan

Terkini