-->








Ini Harapan Terhadap Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA

18 Juni, 2019, 18.39 WIB Last Updated 2019-06-18T11:39:39Z
BANDA ACEH - Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA Nomor 11 Tahun 2006 sudah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Dalam durasi 7 bulan kerja sejak 1 Maret hingga 31 September 2019 mendatang, yang berfokus pada aspek kewenangan-kewenangan Aceh dan pendapatan Aceh. 

Menanggapi hal itu, berikut tanggapan beberapa anggota Tim Advokasi saat sesi tanya jawab dengan para wartawan seusai konferensi pers di Gedung Serbaguna DPRA Jalan Daud Beureuh, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Rabu (18/06/2019). 

Juru Runding GAM T. Kamaruzaman, SH, dalam kesempatan tersebut mengatakan tidak bisa menjawab kenapa tim ini baru dibentuk bulan Maret, karena ada di pihak DPRA.

"Terbentuknya tim ini, sebenarnya karena adanya sebuah kegelisahan kita dahulu punya Ikrar Lamteh," sebutnya. 

Disana, kata dia, banyak terjadi dinamika lapangan, sehingga banyak sejarah Aceh itu tidak tertulis sehinga meraba-raba, orang bercerita sesuai opsinya masing-masing. 

Dijelaskan T. Kamaruzaman, tim ini terbentuk agar bisa sebagai sejarah bagi masyarakat Aceh dan Indonesia di masa depan yang mana Aceh pernah dilanda konflik dan terjadi kesepakatan antara GAM dan Pemerintah RI. 

"Durasinya 7 bulan sejak 1 Maret 31 hingga September 2019. Ini akan menjadi bahan bagi beberapa pihak, agar sebagai bahan acuan, bahan perbaikan oleh pihak-pihak baik Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat dan sebagai acuan menjadi hubungan antara RI dan Aceh," urainya. 

Masih kata dia, beberapa regulasi sudah diambil oleh Pusat, salah satunya dalam pembentukan KIP dan Panwaslu. Yang mana seharusnya dalam pemilihan Komisioner KIP dan Bawaslu diseleksi oleh DPRA karena Aceh memiliki Partai Lokal dan sudah ditetapkan di Qanun Aceh. 

"Tetapi hanya Panwaslu-nya yang lepas namun kemarin sudab digugat," tutup T. Kamaruzaman. 

Sementara Ketua DPRA,  Sulaiman, SE, MSM, menyebutkan tugas pertama yang harus dilakukan DPRA dan Pemerintah Aceh adalah meluruskan dan menyempurnakan perdamaian MoU Helsinki antara GAM dan RI. 

"Maka ini adalah kesempatan DPRA untuk kepentingan masyarakat Aceh dan juga untuk menganggarkan anggaran dari Pemerintah untuk kepentingan kelancaran permasalahan ini," katanya. 

"Ini sebagai bahan masyarakat Aceh untuk menghadapi Pemerintah Pusat baik presiden maupun Mendagri agar persoalan ini segera dituntaskan," tandasnya. 

Sementara Azhari Cagee, dalam hal ini menjelaskan bahwa selama ini sebenarnya kita juga melibatkan akademisi dan elemen masyarakat/tokoh masyarakat masalah UUPA. 

"Tapi karena baru tahun ini kita menganggarkan dana untuk penyelengaraan tim ini. Kita selama ini sudah melihat bahwa ada pelanggaran komitmen, pelanggaran UU yang dilakukan Pemerintah Pusat terhadap UU Nomor 11 2006," ujarnya menyebutkan permasalahan yang dihadapi. 

Pemerintah Pusat, kata Azhari, mengakui setiap daerah yang memiliki kewenangan khusus keistimewaan, kalau tidak menjalankan UUPA berarti telah melanggar UU. Selama ini kalau ada yang melanggar, Pemerintah Pusat tidak pernah diberikan sanksi hanya Pemerintah Daerah saja. 

"Maka dari itu, setelah dikaji oleh tim, maka ini menjadi kehilangan bagi para pihak juga untuk DPRA sendiri dan juga untuk kita giring perdamaian dulu CMI (Crisis Manajemen Initiative) yang sudah kita kirim ke Presiden," ujarnya. 

Azhari juga menegaskan akan kita dorong, untuk melakukan amandemen dalam kajian ini, karena masih banyak kekurangan UUPA. Ini yang bertujuan agar UUPA bisa dijalankan sebagaimana sesuai dengan MoU Helsinki. 

"Kita tidak ingin Aceh hanya seperti ini-ini, maka dari itu kalau hari bergema Referendum itu bukan tanpa alasan. Maka kedepan kalau kita tuntaskan UUPA dan MoU perjuangan yang bertujuannya  untuk Kombatan dan mensejahterakan masyarakat Aceh," tegasnya. 

Sementara Ermiadi Abdul Rahman, ST, yang menjabat sebagai Ketua Komisi VI DPR Aceh, menyebutkan tiap daya dorong dana otsus terhadap dalam pembangunan di Aceh,  titik fokusnya mau diarahkan kemana. 

Dikatakannya, pada saat Irwandi terpilih memang ada wacana proyek yang besar. Ada 6 sektor yang diutamakan dalam dana otsus, salah satunya pemberdayaan ekonomi masyakarat. 

"Kita sudah mendorong Pemerintah Pusat agar tidak mempersulit dana realisasi anggaran dana otsus, untuk mempercepat mengurangi kemiskinan di Aceh, salah satunya dengan cara memodalkan dan memberdayakan ekonomi masyarakat," urainya. 

Menurutnya, sebenarnya sudah diatur dalam Qanun Aceh dan UUPA, bagaimana cara mengatur dan mengelola dana otsus. Dana ostus disini adalah dana kompensasi perang artinya dana ini perang untuk melawan kemiskinan, sejak perdamaian dari 2008 dan 2018 ini perlu diatur secara spesifik, bisa dianalisa apakah ini kemiskinan karena konflik atau secara alami? 

"Padahal 60% dana ostus sudah diserahkan ke kabupaten/kota untuk melaksanakan program-program, namun dana tersebut tidak bisa dikelola dengan baik dengan kaidah-kaidah dan belum tepat sasaran," sebut Ermiadi. 

Salah satu politisi Partai Aceh,  Hj. Mariati, justru menyoroti media. Seharusnya media terbuka, jangan tertutup,  jangan hanya memantau DPRA saja tetapi juga memantau eksekutif atau Pemerintah Aceh. 

"Padahal kami sudah membuat banyaknya qanun-qanun yang sudah disahkan, itu harus diteruskan dan dikerjakan oleh eksekutif," sebut Hj. Mariati.[DA/Red] 
Komentar

Tampilkan

Terkini