-->








Peusaba Tuntut Data Kembali Aset Kesultanan Aceh Darussalam

03 Agustus, 2019, 22.35 WIB Last Updated 2019-08-03T15:35:16Z
Pinto Khop
BANDA ACEH - Ketua Peusaba Aceh Mawardi Usman meminta tim khusus yang melibatkan Pemerintah Aceh, Indonesia, Turki, Malaysia, Brunei Darussalam dan Arab Saudi, Inggris, Belanda dan Jepang untuk mendata kembali aset Kesultanan Aceh Darussalam. 

"Sebab banyak sekali aset Kesultanan berpindah tangan dengan cara yang tidak jelas. Contoh nyata tanah wakaf Lampoh Tubee Poteu Jeumaloy atau Sultan Jamalul Alam Badrul Munir Jamalullail (1703-1726) sudah menjadi perumahan dan kantor serta pertokoan," ungkap Mawardi kepada LintasAtjeh.com, Sabtu (04/08/2019).

Masih jelas dia, termasuk juga Balai Baitul Rijal yang sekarang menjadi kawasan Kantor Walikota Banda Aceh. Demikian juga Taman Sari serta Blang Padang dan kawasan Pante Perak serta Kuta Alam. 

"Pada masa lalu kawasan Pante Perak adalah kawasan milik Sultan Aceh dan Pulau Gajah yang sekarang berada di kawasan Hotel Medan di Peunayong," sebut Mawardi. 

Dikatakannya, Taman Ghairah yang membentang dari Pinto Khop hingga Geuceu itu adalah kawasan era kesultanan yang tidak bisa seenaknya berpindah tangan. Apalagi beralasan Aceh pernah dijajah Belanda. 

"Aceh tidak pernah dijajah Belanda dan Sultan Aceh merobek surat perjanjian tanda menyerah di depan Gubernur Militer Belanda. Sedangkan Korte Veklaring tanda takluk yang ditandatangani Ulebalang tidak merubah sama sekali aset Kesultanan dan dihormati Belanda," urainya.

Jadi, lanjut Mawardi, tidak ada satu kawasanpun yang berani diklaim Belanda miliknya. Berbeda dengan Raja Jawa yang memang ada perjanjian dan sertifikat tanah. Jika ada pemberontakan, bila sang Raja meminta bantuan maka Belanda mengajukan syarat untuk memadamkan pemberontakan.

"Adapun bantuan itu dibayar dengan biaya yang sangat mahal. Belanda pernah mengajukan syarat bahwa memiliki tanah Raja Jawa yang kemudian diserahkan oleh Raja Jawa kepada Belanda. Sehingga ketika peralihan kekuasaan saat Kemerdekaan tahun 1945 tidak ada masalah. Jadi bisa langsung diserahkan apalagi setelah Konferensi Meja Bundar sebab lengkap surat dan sertifikat," urainya.

Kalau Aceh berbeda statusnya, imbuh Mawardi, sebab kawasan Aceh setelah perang,  Belanda tetap menganggap diri sebagai pasukan pendudukan. Dan ketika Belanda kalah dari Jepang tahun 1942 dan tahun 1945 Jepang kalah dan keluar dari Aceh. Belanda tidak pernah berani kembali menginjakkan kaki di Aceh secara otomatis tanah Aceh kembali ke Aceh. 

"Jadi jika membawa klaim sebuah tanah di Aceh menjadi milik pihak ini, karena milik jajahan Belanda itu adalah orang yang tidak tahu sejarah Aceh dan melakukan penghinaan terhadap kebesaran Aceh sebab Aceh tidak pernah dijajah Belanda," tandasnya. 

"Jika ada yang mengklaim bahwa tanah peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam dan Keulebalangan Aceh milik Belanda lebih bagus mengundang Tim Ahli Internasional untuk menyelesaikan masalah Aset era Kesultanan Aceh Darussalam," tuntut Mawardi.[Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini