-->








Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode, Nostalgia Orde Baru Lagi?

16 Desember, 2019, 16.18 WIB Last Updated 2019-12-16T09:18:14Z
PEMILU di Indonesia umumnya lahir dari konsep dan gagasan besar demokrasi yang merujuk pada John dan Rousseau tentang keterjaminan kebebasan, keadilan dan kesetaraan bagi individu dalam segala bidang. Salah satu 'pabrik' dari elemen demokrasi dihasilkan dari proses pemilihan umum. 

Pemilu merupakan salah satu dari tolak ukur keberhasilan sistem demokrasi di suatu negara. Pemilu yang dapat terlaksana dengan baik, berarti demokrasi dalam negara berjalan dengan mulus. 
Pemilu merupakan kehendak mutlak bangsa Indonesia yang menetapkan dirinya sebagai negara demokratis. 

Dalam konstitusi Negara Indonesia sendiri menyebutkan bahwa Pemilu sebagai manivestasi kedaulatan rakyat, dimana Pemilu diadakan setiap 5 tahun sekali sesuai yang tercantum dalam pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali". 

Di dalam aturan ini dengan jelas dikatakan bahwa  Presiden dan Wakil Presiden memiliki masa jabatan lima tahun sejak pelantikan. Setelah menjabat lima tahun, seorang  Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya. Jadi, seseorang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden selama 10 tahun. Setelah itu, ia tidak dapat mencalonkan diri kembali menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Seperti warga negara yang menantikan sebagai harapan terjadinya perubahan dan pergerakan ke arah yang lebih baik.

Usulan perubahan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode muncul dari usulan Nasdem, dimana saya menilai wacana itu muncul berkaitan dengan hubungan Nasdem dan Presiden Joko Widodo belakangan ini terlihat sedikit renggang ketika Nasdem bersafari ke PKS dengan Anies Baswedan. Isu jabatan Presiden di perpanjang menjadi 3 periode sebenarnya malah menunjukkan demokrasi di Indonesia dalam kondisi yang mengkhawatirkan. 

Usulan perpanjangan masa jabatan Presiden 3 periode justru berbahaya bagi perwujudan cita-cita reformasi, dan berpeluang membawa Indonesia kembali ke masa orde baru. Saya pikir negara ini butuh regenerasi secara berkesinambungan, 2 periode  sangat cukup bagi kepala negara untuk meletakkan program pembangunan yang bisa diikuti oleh kepala negara berikutnya. 

Kekuasaan terlalu lama malah cenderung koruptif, karena semua mesin birokrasi sudah dikuasainnya. Masa jabatan 3 periode bisa menimbulkan polemik karena ini merupakan sebuah kemunduran demokrasi, usulan ini jelas membahayakan bagi reformasi yang sedang berjalan di Indonesia. Masa mau nostalgia otoritarianisme Orde Baru lagi? Saya khawatirkan rezim otaritarian kembali lagi.

Penulis: Nurvina Zahra (Senat Mahasiswa Fisip, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Islam Ar-Raniry Banda Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini