-->








Pembebasan Napi Asimilasi, Menkumham Justru Sumbang Kejahatan

23 April, 2020, 14.59 WIB Last Updated 2020-04-23T07:59:58Z
MEDIA berita Indonesia lagi-lagi digemparkan atas pernyataan dari Menkum HAM Yasonna Laoly. Dimana Yasonna Laoly mengeluarkan pernyataannya "Ingat dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, pasti ada dampak kepada kejahatan, tapi jangan kambinghitamkan semua pada napi asimilasi. Hitung saja presentasi antara yang keluar dan yang mengulang kembali".

Tak hanya sampai disitu saja, Yasonna mengharapkan seluruh Kakanwil dan Kadivpas berkoordinasi dengan para Kapolda di seluruh Indonesia agar setiap warga binaan yang sudah dibebaskan dipantau 24 jam setiap harinya. Jangan sampai ada yang tidak termonitor dengan baik, tak hanya pribadi napi melainkan keluarganya juga. 

Yasonna akan bertindak tegas dengan napi asimilasi yang berulah kembali. Napi tersebut akan dimasukkan langsung ke sel pengasingan (straft cell) setelah di BAP oleh polisi, tanpa memberi remisi kepada yang bersangkutan.

Menurutnya, kendati pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana tergolong rendah, asumsikan saja dari 38.000 napi yang telah dibebaskan lalu 50 orang yang kembali melakukan tindak pidana. Angka pengulangan ini masih sangat rendah, bahkan jauh di bawah rate residivisme sebelum Covid-19.

Kebanyakan narapidana asimilasi yang sudah dibebaskan dan membuat ulah lagi yaitu narapidana pencurian, termasuk juga pencurian motor.

Dalam hal ini, Penulis dibingungkan dengan kebijakan yang dicita-citakan oleh Menkum HAM, Yasonna Laoly. Yasonna Laoly kan sudah mengetahui dampak Covid-19 ini baik dari aspek sosial, keamanan, terlebih lagi masalah ekonomi. Kenapa terus ingin bersikukuh membebaskan para napi?

Apa karena ini anjuran Komisi Tinggi PBB untuk HAM dan Sub-Komite PBB Anti-penyiksaan? Ini kan hanya sekedar anjuran bisa dilaksanakan atau tidak. Menkum HAM kan bisa menelaah lebih mendalam apakah kebijakan seperti ini cocok untuk diterapkan di Indonesia, bagaimana jangka panjangnya?

Toh sekarang juga masa-masa sulitnya mencari pekerjaan dan tidak semua masyarakat daerah tempat tinggal napi yang sudah dibebaskan menerima napi kembali.

Kalau niatnya untuk mencegah pandemi Covid-19, terapkan saja pembatasan kunjungan narapidana (berkunjung wajib rapid test), pembatasan pembinaan narapidana yang melibatkan stake holder, namun bisa dilakukan secara video conference. Dan bagi petugas lapas menerapkan pentingnya cuci tangan, pakai masker, penyemprotan disinfektan, sanitasi, pemberian multivitamin, dan penyediaan bilik sterilisasi. Hal ini, Penulis merasa cukup untuk mengantisipasi Covid-19.

Bagimana jika petugas lapas malah yang terkena, kan bisa menularkan ke narapidana atau petugas lainnya? Sebelum masuk ke lapas cek semua orang yang masuk tanpa terkecuali ada indikasi positif atau tidak dan berlakukan ini pada narapidana juga.  

Penulis juga menyayangkan kenapa tidak ada niatan untuk mengevaluasi program atau kebijakan ini?  Menkum HAM menyatakan hanya orang tumpul rasa kemanusiaannya dan tidak memahami nilai kedua pancasila, sehingga tidak mau menerima dan mengampuni ini. 

Kembali lagi ini ke konteks pembicaraan Kejahatan Meningkat, Menkum HAM: Jangan Kambinghitamkan Napi Asimilasi. Ini merupakan ada hal sebab dan akibatnya. Sebabnya apa ini keputusan Menkum HAM agar membebaskan napi asimilasi, kemudian napi asimilasi melakukan perbuatannya kembali (residivis) dan mengakibatkan masyarakat bertanya-tanya dan was-was terhadap kebijakan Menkum HAM ini. 

Disini penulis tidak mengkambinghitamkan napi asimilasi, melainkan kebijakan yang di buat Menkum HAM kurang efektif dan tidak mempertimbangkan kedepan bagimana kondisi masyarakat bilamana kejahatan terus meningkat, sangat disayangkan. Terima Kasih.

Stay Healthy and Stay Safe, Menang Indonesia lawan Covid-19.

Penulis: Maulana Farras Ilmanhuda (Mahasiswa Universitas Brawijaya)
Komentar

Tampilkan

Terkini