LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Kehendak Walikota Banda Aceh yang memaksa melanjutkan pembangunan proyek IPAL, di kawasan situs sejarah Istana Darul Makmur Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Gampong Pande, terus menuai penolakan keras masyarakat Aceh dan dunia internasional. Untuk itu Pemimpin Darud Donya Cut Putri menyarankan agar Walikota tidak terus menerus menghindar dan menutup diri. Walikota seharusnya bersedia duduk bermusyawarah dengan semua pihak.
"Dengan adanya penolakan dari seluruh Aceh bahkan dari seluruh Dunia Melayu dan Dunia Islam, kita harap Walikota Banda Aceh mau mendengarkan aspirasi masyarakat untuk merelokasi proyek IPAL, bukan karena menolak pembangunan tetapi karena lokasinya yang tidak tepat," kata Cut Putri.
Darud Donya juga meminta agar Walikota tidak melawan Fatwa Ulama, dan agar Walikota belajar menghormati para Ulama.
Pembangunan proyek IPAL sudah lama diprotes oleh para Ulama Aceh. Para Ulama Aceh bahkan telah mengeluarkan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, yaitu Fatwa MPU Aceh Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya Dalam Perspektif Syariat Islam. Yang isinya antara lain "Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai Cagar Budaya Islami adalah Haram".
Para Ulama Aceh menaruh perhatian besar, karena di Gampong Pande terdapat ribuan situs sejarah makam para Raja dan Ulama Umara Kesultanan Aceh Darussalam, juga ditemukan struktur-struktur bangunan kuno dan penemuan artefak serta benda-benda bersejarah lainnya, di kawasan Pusat Sejarah Peradaban lslam dan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara ini.
Sejak dulu Pemerintah Kota Banda Aceh kerap mengadakan kajian sejarah di kawasan situs sejarah Gampong Pande. Bahkan tahun 2014, Disbudpar Kota Banda Aceh resmi telah meneliti dan mendata tinggalan arkeologis di kawasan situs Gampong Pande yg turut melibatkan ahli dari luar Aceh, termasuk meneliti di kawasan TPA Gampong Pande di atas kawasan yang kemudian dibangun IPAL Gampong Pande.
Bahkan jauh sebelumnya pada tahun 1988, Gampong Pande resmi menjadi alasan ditetapkannya hari jadi kota Banda Aceh. Yaitu 1 Ramadhan 601 H, hari Jum'at bertepatan dengan tanggal 22 April 1205 M, yaitu tanggal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam oleh Sultan Johan Syah yang pusat kerajaannya adalah di Gampong Pande, tempat Istana Darul Makmur berada, di Ibukota Kerajaan di Gampong Pande yang bernama Bandar Aceh Darussalam.
Tahun 2007 Walikota Banda Aceh juga meresmikan Tugu Titik Nol Kota Banda Aceh yaitu titik nol Kerajaan Aceh Darussalam. Ternyata beberapa tahun kemudian IPAL dibangun di kawasan titik nol Kerajaan Aceh Darussalam Gampong Pande, tepat di area yang sudah diteliti dan didata sebelumnya secara arkeologis oleh Disbudpar Kota Banda Aceh.
Sehingga pembangunan IPAL diprotes keras oleh Rakyat Aceh, karena tidak mungkin Pemko Banda Aceh tidak mengetahui bahwa lokasi IPAL adalah kawasan situs bersejarah.
Masalah proyek IPAL ini ditambah lagi dengan pengakuan warga Gampong Pande melalui FORMASIGAPA (Forum Masyarakat Penyelamat Situs Sejarah Gampong Pande), yang mengakui bahwa sejak awal masyarakat Gampong Pande tidak pernah menyetujui pelaksanaan proyek IPAL, bahkan Pemko Banda Aceh tak pernah sekalipun datang bermusyawarah dengan warga terkait proyek IPAL. Hal ini menambah lagi daftar panjang indikasi pelanggaran dalam proyek IPAL di Gampong Pande.
Terkait alasan Pemko melanjutkan IPAL atas kesepakatan bersama, Cut Putri Pemimpin Darud Donya mengatakan bahwa "kesepakatan bersama" itu dipertanyakan, karena sudah terbantahkan setelah adanya pengakuan resmi dari FORMASIGAPA melalui suratnya kepada Menteri PUPR RI.
Sekretaris FORMASIGAPA bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Walikota Banda Aceh melakukan pembohongan publik. Salah satu anggota TACB Kota Banda Aceh juga memprotes keras "kesepakatan bersama" itu, bahkan Walikota dianggap melakukan tindakan pencatutan nama. Kepala BPCB juga menyatakan belum mengeluarkan rekomendasi HIA (Heritage Impact Assesment) yaitu Analisis Dampak Pusaka terkait IPAL di Gampong Pande.
Mengenai hasil kajian dari Yayasan Wansa yang dipakai sebagai dasar dilanjutkannya proyek IPAL, Cut Putri menyampaikan bahwa negara sudah mengatur semuanya dengan jelas di dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan menetapkan tentang pihak yang diakui oleh negara untuk membuat kajian.
Maka alasan Walikota Banda Aceh melanjutkan proyek IPAL berdasarkan kajian Yayasan Wansa jelas tertolak, karena kajian itu dilakukan bukan oleh pihak yang diakui oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU Cagar Budaya sudah mengatur prosedur perlindungan cagar budaya sejak penemuan Objek yang diduga Cagar Budaya, pengkajiannya, dan lain-lain, sampai kepada zonasi. Dan negara telah menunjuk pihak yang diakui sebagai pembuat kajian.
Maka tindakan Walikota Banda Aceh dan Kementerian PUPR yang menggunakan hasil kajian pihak lain di kawasan Gampong Pande untuk melanjutkan IPAL, adalah melanggar UU Cagar Budaya. Bahkan TACB hanya dijadikan sebagai pelengkap rapat saja, itu pun cuma beberapa orang dan tidak atas nama Tim TACB.
Walikota juga sampai saat ini tetap tidak mau membuka hasil kajian swasta itu kepada publik, semua hasil kajian selama ini disembunyikan dari publik. Bahkan rapat melanjutkan IPAL pun dilakukan tanpa diketahui oleh berbagai pihak. Hal ini juga melawan UU Keterbukaan Informasi Publik.
"Anehnya lagi Walikota sudah membuat zonasi kawasan Gampong Pande, tapi tidak mengakui kalau Gampong Pande adalah kawasan cagar budaya. Padahal sesuai UU Cagar Budaya, zonasi dilakukan untuk situs/kawasan situs yang sudah tetapkan menjadi cagar budaya. Kalau tidak mengakui Gampong Pande sebagai situs cagar budaya, lalu untuk apa membuat zonasi..?!" kata Cut Putri tak habis pikir.
"Kesimpangsiuran ini terjadi karena Walikota ngotot melawan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akhirnya Walikota melanggar semua prosedur dan tata pemerintahan yang telah ditetapkan oleh negara," kata Pemimpin Darud Donya.
Alasan bahwa Walikota Banda Aceh hanya melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya karena keterlanjuran juga tidak patut. Karena kesalahan yang telah disadari terlanjur dilakukan, namun terus saja dilakukan padahal dapat dihentikan, merupakan suatu perilaku yang jauh dari nilai-nilai kecerdasan dan sangat bertentangan dengan norma moral, agama dan akal budi kewarasan.
"Kita memahami manusia tak lepas dari salah. Walikota tak perlu menyalahkan siapapun atas keterlanjuran itu. Pengambil kebijakan yang dulu, telah bersalah melawan peraturan perundang-undangan, dan apabila Walikota juga melanjutkan IPAL, berarti Walikota juga bersalah melawan peraturan perundang-undangan. Bagaimanapun yang paling salah adalah orang yang sudah tahu salah, tapi masih juga melanjutkan berbuat salah. Ini adalah kesalahan diatas kesalahan, karena melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar norma agama," kata Cut Putri.
"Yang paling penting sekarang adalah menghentikan dan memutus pusaran kesalahan itu, dan menegakkan kebenaran, kebaikan dan keadilan," tegas Cut Putri.
Darud Donya mengingatkan Walikota Banda Aceh bahwa kawasan bukti sejarah peradaban Islam di situs Gampong Pande bukan milik Pemko Banda Aceh, melainkan milik semua Rakyat dan Bangsa Aceh, dan juga sangat penting bagi seluruh Dunia Melayu dan Dunia Islam.
Proyek IPAL di Gampong Pande yang dipaksakan kebut cepat ini menyebabkan terjadinya berbagai pelanggaran-pelanggaran fatal, yang dilakukan oleh berbagai pihak dan melibatkan besaran dana yang cukup fantastis. Termasuk juga sejumlah pelanggaran fatal, yang menjadikan pelanggaran proyek ini semakin menjadi-jadi dan merembet sampai ke pelanggaran-pelanggaran berikutnya, yang lebih fatal lagi.
"Proyek Tinja yang dipaksakan harus dibangun di pusat peradaban Islam di Asia Tenggara ini, ditenggarai sebagai proyek pelecehan yang akan memusnahkan bukti sejarah dan menghapus kegemilangan sejarah Islam di Aceh," katanya, Minggu (28/03/2021).
Untuk diketahui, proyek ini bersumber dana dari Pihak Asing berupa loan yaitu Dana Pinjaman melalui APBN.
Tim Konsultan proyek yang didanai oleh pihak asing ini dikendalikan dan dipimpin langsung, dibawah komando seorang Belanda bernama Mr. Rene Van Doorn.[*/Red]