-->








SPM Aceh Gelar Webinar Nasional Sekolah Parlemen

29 Juli, 2021, 18.20 WIB Last Updated 2021-07-29T11:22:31Z
LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Lembaga Sekolah Parlemen Mahasiswa Aceh (SPMA) mengadakan Webinar Nasional Sekolah Parlemen. Kegiatan yang mengusung tema “Quo Vadis Revisi UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh” yang diadakan di Platform Zoom Meeting, Kamis (29/07/2021).

Muhammad Ikhwan selaku ketua panitia mengatakan seminar ini telah dipersiapkan jauh-jauh hari dengan harapan dapat terciptanya ruang diskusi terkait parlemen dan kebijakan-kebijakannya. 

"Peserta yang mendaftar sangat antusias yaitu 311 orang, namun yang bergabung hanya 130 orang," sebutnya. 

Sementara Direktur SPMA, T Muhammad Shandoya mengatakan, tujuan seminar ini yaitu merefleksikan MoU Helsinki dan pengidentifikasian terhadap stagnasi dan belum optimalnya pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 

"Selain itu, juga untuk menghasilkan buah pikir terhadap kebijakan-kebijakan nantinya terkait implementasi pemerintahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak," ujarnya.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Seminar ini turut menghadirkan narasumber yaitu Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung, S.Si., M.T, selaku Ketua Komisi 2 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Muhammad Nasir Djamil, S.Ag., M.Si, sebagai Ketua Forbes DPR/DPD RI asal Aceh. 

Selain itu ada juga H. Fachrul Razi, M.IP, selaku Ketua Komite 1 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dan yang terakhir ada H. Dahlan Jamaluddin, S.IP, selaku Ketua DPRA. 

Sementara itu Fachrul Razi menjelaskan bahwasanya pelaksanaan otonomi khusus yang masih setengah hati ditambah dengan pelaksanaan anggaran yang tidak optimal dalam mengembangkan potensi daerah. 

Nasir Jamil juga menjelaskan bahwasanya Revisi UUPA ditargetkan pada tahun 2022. Akhir ini DPR baru saja menyelesaikan Revisi Undang-Undang Otsus Papua. Dan pelaksanaan Desentralisasi Asmimetris haruslah bersifat sepenuhnya (fully). 

Ketua DPRA mengatakan bahwasanya ini bukan hanya sekadar refleksi, akan tetapi bagaimana pasca 16 tahun MoU Helsinki ini perdamaian Aceh tidak berada di persimpangan jalan dan bahwa perlunya sinkronisasi antara setiap kebijakan-kebijakan yang telah disusun dengan kebutuhan dan aktualisasi lapangan. 

"Serta perlunya penguatan terhadap lini sektor yang dirasa masih sangat lemah," pungkasnya.[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini