-->








Hidup di Gubuk Reot, Seorang Janda Menghidupi 2 Anaknya

19 November, 2021, 14.22 WIB Last Updated 2021-11-19T21:19:53Z
LINTAS ATJEH | LANGSA - Pernah tidak anda membayangkan hidup di rumah yang hanya seluas 3 x 1,5 m? Anda tidak sendiri tetapi memiliki 2 orang anak? Mungkin anda akan sangat sulit membayangkan bagaimana kondisi dan rasanya hidup bertahun-tahun di rumah se-kecil itu.

Nyatanya, inilah gambaran kehidupan seorang ibu di Desa Lhokbanie, Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa. Semenjak suaminya meninggal beberapa tahun lalu, Ibu Sakdiah terpaksa tinggal di rumah kecilnya bersama dua anak perempuannya yaitu Dara yang berusia 9 tahun dan Zaitun yang berusia 10 bulan.

Awalnya Ibu Sakdiah tinggal di rumah berlantai tanah dengan ukuran 5 x 3 meter dan selalu terdampak air pasang laut. Tak aneh jika keadaan tiang dan dinding rumah terlihat lapuk dan terkikis air laut. Namun ketika suaminya meninggal, ia memutuskan untuk membangun rumah panggung seorang diri dari kayu bekas dan bambu seadanya untuk menopang rumah dengan tinggi lantai sekitar 2 meter dari tanah.

Agar bisa memasuki rumahnya, kita harus menaiki tangga yang terbuat dari bambu. Perasaan takut jatuh akan sangat terasa bagi kita yang baru pertama kali menaiki tangga tersebut. Ya wajar saja karena tangganya terbuat dari bambu dan beberapa kayu bekas.

Di dalam rumah, jangan berharap anda akan menemukan sebuah lemari apalagi kasur. Semua pakaian dilipat dan diletakkan di pojok tepat di sebelah bantal tempat mereka tidur. Untuk tidur saja hanya beralas tikar, sedangkan bantal hanya ada dua.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

“Disinilah tempat kami solat, tidur, makan dan meletakkan baju yang baru dicuci,” ucap Ibu Sakdiah lirih kepada Furqan, Relawan Aksi Cepat Tanggap Langsa.

Jika kita tidur, tepat diujung kaki disitu adalah tempat Ibu Sakdiah memasak. Hanya ada satu wajan penggorengan dan satu panci untuk memasak nasi, itupun kondisinya sudah sangat tidak layak.

Ukuran dapur tal lebih dari 70 cm x 150 cm. Ironisnya tidak semuanya bagian dari dapur  memiliki atap, jika hujan turun sudah pasti Ibu Sakdiah tidak bisa memasak. Tetapi katanya, itu sengaja tidak diberikan atap agar bisa dipakai untuk kamar mandi.

“Di dapur itu bukan hanya untuk memasak, kami juga pakai untuk mandi, jadi memang sengaja atapnya kami lubangi,” tambahnya.

Pendapatan Tak Menentu

Beberapa karung kulit kerang berjejer rapi dibawah rumah Ibu Sakdiah, ini hanya sebagian saja yang belum sempat ia buang di lobang yang sudah disiapkan agar tidak mengotori lingkungan. Menurutnya, mencari kerang makin hari makin susah saja. Ia harus menghabiskan waktu lebih lama dibanding belasan tahun yang lalu ketika ia masih remaja. Ya bisa dibayangkan jika ketersediaan kerang menipis, maka pendapatannya juga sangat sedikit.

“Sehari itu jika saya mencari kerang, palingan dapat 20 ribu rupiah. Jika ditanya cukup, ya tidak cukup pastinya, tetapi mau gimana lagi bang, saya tidak tahu harus gimana lagi?” ujar Ibu Sakdiah.

Ibu Sakdiah tidak setiap hari bekerja mencari kerang, jika ada yang memintanya menyetrika baju. Ia dengan senang hati akan mengerjakannya. Upah yang diterima juga tidak banyak, maklum saja itu dikerjakan dengan upah harian yang berkisar Rp. 20.000-Rp. 30.000 saja, tergantung dari banyaknya yang harus ia setrika. 

Sayangnya tidak setiap hari ia bisa bekerja, jika dihitung-hitung rata-rata ia bekerja 15-20 hari saja dalam sebulan. Lalu bagaimana ia memenuhi kebutuhan keluarganya?

Ibu Sakdiah mencoba berbagai macam cara agar ia bertahan hidup, tak jarang harus berhutang dan bahan kemarin, ia menggadaikan emasnya yang tak lebih dari Rp. 300.000. Sedangkan untuk makan, ia bercerita kerapkali berpuasa karena tidak ada yang bisa di masak.

“Kalau nggak ada yang bisa dimasak, saya dan anak tidak makan. Mau mengeluh atau meminta kepada tetangga juga saya sudah malu, karena sering tidak memiliki makanan. Jadi daripada merepotkan orang lain saya lebih memilih diam dan berusaha sebisanya,” ujarnya.

Menu makanan yang disajikan untuk keluarga kecilnya juga sangat sederhana, nasi putih dengan ikan asin adalah menu utama yang kerap ia nikmati. Wajar saja jika di dapurnya kita hanya mendapati deretan ikan asin yang dijemur diatas kayu. Ikan yang dijemur itupun tidak banyak, jika dilihat  sebenarnya uhanya kebutuhan 1 hari, tetapi bu Sakdiah menyiasatinya agar bisa dinikmati selama satu minggu.

Nasib Dara yang Putus Sekolah

Dara adalah anak perempuan sulungnya, terpaksa tidak melanjutkan pendidikan karena tidak memiliki kemampuan membiayai kebutuhan sekolah, seperti membeli seragam, perlengkapan tulis dan  sebagainya.

“Dara sempat sekolah sampai kelas 3 SD, cuma karena kemarin saya tidak memiliki uang lagi, yaa terpaksa ia berhenti sekolah,” ujar Ibu Sakdiah.

Ia sadar bahwa pendidikan sangatlah penting bagi anaknya. Oleh karena itu, ia sekarang sedang berjuang mencari pekerjaan yang memiliki pendapatan yang lumayan sehingga anaknya dapat melanjutkan pendidikan lagi.

“Ya orangtua mana mau membiarakan anaknya tidak sekolah, saya juga kepingin anak saya sukses, bisa hidup dengan lebih layak, tidak seperti saya yang sekarang. Saat ini saya terus mencari pekerjaan yang gajinya cukup untuk membiayai pendidikan anak saya. Walaupun memang sulit menemukan perkerjaan yang tepat karena anak saya yang kedua masih berumur 10 bulan," ujarnya. 

Anaknya Meninggal 

Himpitan ekonomi juga membuat ia tak berdaya ketika putra semata wayangnya harus terbaring sakit di rumah dengan perawatan seadanya. Ketika itu ia sedang bekerja untuk memenuhi kebutuhan makan kedua anaknya, dan tidak menyadari bahwa putranya sudah sakit parah. Mungkin karena mereka sudah terbiasa terdidik untuk tidak mengeluh. 

Setelahnya ia membawa putranya ke rumah sakit untuk dirawat. Hanya berselang beberapa hari, putranya menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Ibu Sakdiah.

“Seandainya saya memiliki sedikit uang, mungkin saya bisa libur bekerja dan segera membawanya berobat. Tetapi mungkin ini sudah takdir yang harus saya terima, semoga anak saya mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya,” kisahnya. 

Sahabat Dermawan, kehidupan Ibu Sakdiah adalah salah satu potret yang sangat menyedihkan dan luput dari pandnagan kita selama ini. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun hidup dalam serba kekurangan. Sangat tidak baik jika kita membiarkan kehidupannya yang seperti itu berlanjut. Oleh karena itu Aksi Cepat Tanggap Langsa berupaya mengajak semua Sahabat Dermawan yang ada di mana saja untuk ikut membantu memenuhi biaya kehidupannya sehari-hari sehingga ia mampu merawat keluarga kecilnya dan menjadi anak-anak yang sholehah.

Silahkan berikan sedekah terbaik anda melalui rekening Aksi Cepat Tanggap Langsa (BSI #7164169067) dan konfirmasi ke 0822 9720 7127 atau DM Instagram @act_langsa. Bisa juga diantar langsung ke kantor ACT Langsa yang berlamat di Jl. Lilawangsa, No.17, Paya Bujok Tunong. Langsa Baro, Kota Langsa.[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini