-->








Gampong Pande: Awal Kesultanan Aceh dan Peninggalan Sejarah Islam

09 Februari, 2022, 15.00 WIB Last Updated 2022-02-09T08:00:49Z
DALAM uraian sejarah singkat kesultanan Aceh Darussalam, beberapa sejarahwan berbeda pendapat tentang awal berdirinya Kesultanan Aceh, ada sebagian yang mengatakan berdiri pada tahun 1511 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah dan ada pula yang mengatakan berdiri pada tahun 1205 M pada masa Sultan Djohan Syah di Gampong Pande.

Tentu kedua versi ini tidaklah membuat rancu dalam memahami sejarah, hanya saja kita yang harus bisa membagi fase-fase sejarah tersebut. Dalam berbagai literatur sejarah Kerajaan Aceh dan Kesultanan Aceh Darussalam itu berbeda, jika Kerajaan Aceh (lanjutan Lamuri) didirikan oleh Sultan Djohan Syah pada tahun 1205 M  [Mabainassalatin, Ismail bin Ahmad]. Sedangkan Kesultanan Aceh Darussalam merupakan kelanjutan dari Kerajaan Aceh tersebut, akan tetapi dengan wilayah yang lebih besar atas pemersatuan beberapa kerajaan seperti Daya, Aceh, Pedir, dan Samudera Pasai pada tahun 1520 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah dan Raja Ibrahim [Bustanulsalatin, Nuruddin Ar-Raniry].

Walau Kerajaan Aceh sudah masuk dalam wilayah Kesultanan Aceh Darussalam, akan tetapi Meuligoe Darul Makmur kerajaan Aceh ini masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kesultanan Aceh Darussalam. Jika kita lihat dalam peta-peta Istana Darud Donya yang dibuat oleh Belanda tahun 1873 dan peta sebelumnya, masih terdapat kampung-kampung tua yang ada di Bandar Aceh seperti Lam Pantee, Lam Timue, Lam Puloe, Gampong Jawa, Gampong Pande, Gampong Bugeh, Gampong Perak, Gampong Pahang, Gampong Keudah, Gampong Patik, Peulanggahan, Peunayong dan lainnya.

Ini membuktikan bahwa bekas Kerajaan Aceh di Darul Makmur Gampong Pande masih menjadi tempat pemukiman para keluarga kesultanan Aceh Darussalam, warga, dan para pendatang dari seluruh Nusantara. Hal ini juga dibuktikan dengan beberapa komplek pemakaman seperti makam Syahbadar Muktabar Khan, Putroe Ijoe, Tun Rahmatullah Ad-Du'aliy, Syaikh Machdum Abi Abdullah Abdurrauf al-Baghdadi (Tuan Di Kandang), Syaikh Faqih Muhannad bin Mahmud bin Syuhbah al-Farnawi, Sundusu Balad, Sultan 'Adilullah bin Munawar Syah, Sultan 'Ali Riayah Syah bin Munawar Syah, serta makam-makam keluarga kesultanan dan para tokoh Aceh lainnya yang datang dari berbagai peradaban di dunia [MAPESA, Penemuan Makam Tokoh Aceh abad 16-17].

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Gampong Pande, Gampong Jawa dan gampong lainnya yang bertetanggaan dibagian pesisir Banda Aceh, merupakan sebuah wilayah yang menjadi bukti sejarah untuk peradaban Islam di Asia Tenggara. Wilayah ini pernah diluluhlantakkan oleh gelombang Tsunami tahun 2004 silam, banyak artefak sejarah seperti makam, benteng diwilayah pesisir yang hilang dan rusak. Sebagian dari itu sudah diperbaiki tahun 2013 namun tidak maksimal, sangat disayangkan pasca Tsunami Aceh beberapa lahan di Gampong Jawa dibangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk sampah, dan beberapa unit lainnya.

Selain itu di wilayah yang penuh dengan nilai sejarah tersebut juga dibangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada tahun 2015 dengan dana dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya. 

Pembangunan IPAL ini menuai kecaman dari berbagai organisasi masyarakat, pemerhati sejarah, dan lembaga adat. Tidak semestinya wilayah yang mempunyai sittus cagar budaya dan sejarah, lalu dijamah dengan mendirikan bangunan pengolahan limbah dan pembuangan sampah.

Selain terdapat banyak situs sejarah dan peradaban Islam, Gampong Jawa dan Gampong Pande juga termasuk dalam wilayah Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Banda Aceh, sehingga menjadikan wilayah ini termasuk dalam wilayah yang harus ditata dan dikelola dengan baik, apalagi di wilayah ini merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pertama (Darul Makmur) sebelum dipindahkan ke Ibukota Kesultanan Aceh Darussalam yang baru yaitu Darud Donya.

Kita berharap keutuhan sejarah dan peradaban Islam di Aceh tetap terjaga, apapun alasannya baik itu alasan keilmuan zonasi sejarah, zona inti satu atau zona inti dua, akan dikalahkan dengan alasan kelayakan dan adab seorang muslim dalam menjaga kehormatan muslim yang telah mendahuluinya. Terakhir polemik IPAL Banda Aceh ada baiknya untuk dicarikan lokasi lain, supaya ketegangan ini segera selesai, mudah-mudahhan wilayah Gampong Jawa dan Gampong Pande segera di bangun pusat edukasi belajar sejarah dan peradaban Islam, sehigga menimbulkan satu destinasi wisata sejarah baru dan dikunjungi oleh setiap orang Aceh dan pendatang di Aceh.

Penulis: Aris Faisal Djamin, S.H (Sekretaris Umum Majelis Pemangku Adat Kesultanan Aceh Darussalam)
Komentar

Tampilkan

Terkini