-->








Teror Resesi

02 November, 2022, 18.52 WIB Last Updated 2022-11-02T11:52:18Z

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar (MI/Ebet)

Ancaman dan peringatan datangnya resesi ekonomi global sudah serupa teror. Ia seperti hantu yang menyelinap di malam gelap, membuat kanak-kanak tercekam oleh ketakutan. Dari bahasa-bahasa peringatan yang digunakan, banyak orang justru dihinggapi was was, alih-alih waspada.

Hampir saban hari, kita disodori narasi kecemasan tentang bakal datangnya resesi global. Ada istilah the perfect storm (badai yang sempurna). Ada lagi yang menyebut 'era penuh kegelapan'. Ada juga yang bilang 'era ketidakpastian', bahkan ada pula yang menarasikan 'masa kebangkrutan'.

Karena itu, cocok belaka apa yang pernah disampaikan ekonom terbesar abad ke-21 asal Inggris, John Maynard Keynes. Ia memperkenalkan sebuah konsep yang disebutnya sebagai animal spirits. Kata Pak Keynes dalam konsep itu: keputusan ekonomi tidak semata-mata didasarkan pada keputusan rasional, tapi juga keputusan psikologis.

Malah, dalam banyak tindakan ekonomi, pertimbangan psikologis lebih dominan ketimbang pertimbangan rasional. Jika narasi 'resesi akan terjadi awal tahun depan' terus-terusan menerpa seorang investor, misalnya, dia akan memutuskan menahan investasi. Ia tidak jadi melakukan investasi kendati tidak semua kasus bisa disamaratakan.

Lalu, terjadilah apa yang oleh ekonom Swedia, Gunnar Myrdal, disebut sebagai backwash effect. Istilah itu merujuk pada sebuah kondisi ketika berbagai aspek modal (manusia serta modal fisik, termasuk investasi) 'kabur' atau berpindah, dari yang tadinya akan diinjeksikan ke negara berkembang beralih ke pusat pertumbuhan, atau negara maju.

Jika banyak investor yang 'kena mental' dan berbondong-bondong membatalkan investasi, otomatis perekonomian semakin melambat. Bila perekonomian terus melambat, resesi benar-benar bisa terjadi. Jadi, situasi psikologis akhirnya amat menentukan situasi ekonomi.

Kondisi seperti itu juga bisa terjadi pada perilaku konsumen atau masyarakat. Setelah mendengar narasi secara terstruktur, sistematis, dan masif bahwa resesi akan segera terjadi, masyarakat yang cemas terhadap teror itu menumpuk tabungan mereka untuk berjaga-jaga. Konsumen menahan diri, mengencangkan ikat pinggang sekencang-kencangnya. Walhasil, belanja menurun, permintaan menurun, perdagangan sepi, perekonomian bisa benar-benar mengalami resesi.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Situasi itulah yang disebut sebagai paradox of thrift, alias paradoks penghematan. Menghemat, menabung, atau menahan belanja itu baik, tapi jika semua melakukan itu, perekonomian bisa lesu dan jalan di tempat. Bahkan, bisa-bisa ekonomi melambat dan terkontraksi. Sekali lagi, keputusan psikologis melahirkan keputusan ekonomi lalu memperlambat ekonomi itu sendiri.

Bahaya faktor psikologis terhadap perekonomian sudah pernah kita rasakan pada krisis 1998. Saat itu, banyak perbankan kesulitan likuiditas. Pemicunya, para nasabah yang cemas menarik dana mereka dari bank. Terjadilah rush, penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat. Bank-bank pun ambruk lalu dilikuidasi. Situasi seperti itu tentu tidak kita kehendaki terjadi lagi.

Karena itu, sudahi narasi menakut-nakuti. Setop menebar kecemasan dan pesimisme. Peringatan kewaspadaan itu bukan berarti meredupkan harapan. Justru sebaliknya, optimisme dan harapan itu bisa mengantarkan kita ke setengah keberhasilan. Malah, ada yang amat antusias menyebutnya dua pertiga kesuksesan.

Yang dibutuhkan saat ini ialah strategi jalan keluar dari situasi beragam ancaman. Apakah ini berarti kita memang kebal dari krisis global? Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Bergantung pada bagaimana efektivitas exit strategy yang kita miliki. Namun, setidaknya dengan optimisme kita punya modal penting untuk memitigasi dampak krisis ekonomi.

Strategi pemerintah untuk menggenjot belanja, menyalurkan bantuan sosial, dan memberikan rupa-rupa insentif sudah baik, tapi mesti dipastikan efektivitasnya di lapangan. Penguatan ekonomi domestik sebagai penyangga pertumbuhan juga mesti jelas bentuk dan arahnya. Jangan pula tekad itu amat riuh di panggung, tapi sepi dalam aplikasi. Pemberdayaan ekonomi domestik setidaknya akan mengurangi tingkat dampak akibat resesi global. Sejumlah analis ekonomi telah memprediksi bahwa resesi global tentu berdampak terhadap perekonomian Indonesia, terutama dari sisi perdagangan. Resesi global akan melambatkan ekspor Indonesia. Namun, untungnya, persentase ekspor kita terhadap produk domestik bruto relatif kecil, yakni sekitar 25%.

Dampak lainnya ialah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Merosotnya nilai tukar rupiah itu mesti diwaspadai karena berpotensi memicu inflasi akibat naiknya harga barang-barang impor dan naiknya beban pembayaran bunga utang berdenominasi dolar. Karena itu, pas kiranya saran mantan Menteri Keuangan Chatib Basri agar Indonesia melakukan langkah-langkah untuk tidak selalu terintegrasi pada global. Penguatan perekonomian bilateral dan ekonomi domestik mesti jadi jalan penting menangkis dampak resesi.

Namun, semua ikhtiar itu mesti dijalankan dengan cermat, pas, secara tenang, dan memberikan ketenangan. Penjelasan bahwa fundamen ekonomi kita relatif kukuh memang bisa menenangkan, tapi harus diwujudkan dan dirasakan masyarakat. Bukan sekadar pajangan statistik. Yang paling penting, jangan terus-menerus menebar narasi teror tentang bahaya resesi karena ia serupa doa yang justru bisa menjadi kenyataan.[mediaindonesia.com]


Komentar

Tampilkan

Terkini