-->




Disharmonisasi antara Pertumbuhan Ekonomi Meningkat dan Rakyat yang Melarat

21 Februari, 2023, 11.43 WIB Last Updated 2023-02-21T04:43:47Z
KETIKA para pemimpin dunia memprediksikan di tahun 2023 ini terjadi krisis ekonomi melanda negara-negara besar akibat dampak dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia- Ukraina.

Gubernur Kaltim, Dr. Isran Noor justru sebaliknya dan menyakini ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh dan melonjak naik ditandai dengan meningkatnya nilai ekspor Kaltim.

Diakuinya tumbuh positif ekonomi Indonesia tidak dilepas dari dampak perang Rusia-Ukraina selain dampak dari pandemi Covid-19 sehingga gejolak dunia sejak 2019 hingga 2022 menjadikan negara-negara dunia kekurangan pasokan gas, batu bara, minyak dan sawit. Dan menurutnya Indonesia mampu menjadi pemasok kebutuhan-kebutuhan tersebut khususnya Kaltim.

Ini artinya ekonomi Indonesia dan khususnya Kaltim akan kembali melonjak signifikan pertumbuhannya, bahkan di tahun 2023 bisa mencapai forty billion US dollars (USD 40 miliar).

Isran menyebut secara komulatif nilai ekspor migas Kaltim tahun 2022 mencapai USD 2,99 miliar atau naik 86,78 persen dibanding tahun 2021. Sementara ekspor nonmigas mencapai 33,05 miliar atau naik 46,56 persen. (Kaltimpro.go.id/berita 6/02/2023)

Pulau Kalimantan memang dikenal sebagai pulau yang kaya akan sumber daya alam dan energinya, termasuk Kaltim yang merupakan pemasok terbesar batubara di Indonesia selain minyak bumi dan sawitnya.

Namun sayangnya pertumbuhan ekonomi yang digadang naik signifikan hingga mencapai 40 miliar USD di tahun ini tidaklah selaras dengan kondisi ekonomi masyarakat Kaltim yang justru masih berkutat dibawah garis kemiskinan.

Sebagaimana diungkapkan Kepala Badan Statistik Kaltim. YusniarJuliana Nababan, dalam siaran persnya Sabtu (16/7), "Dibanding September 2021 jumlah penduduk miskin Maret 2022 perkotaan naik sebanyak 2,31 ribu orang dari 121,28 ribu orang pada September 2021 menjadi 123,59 ribu orang pada Maret 2022. Dan angka kemiskinan Kaltim berada di peringkat 10 terendah." Sebutnya.

Samarinda yang merupakan ibukota dari provinsi Kaltim, menurut Kepala Dinas Sosial Samarinda, Asfihani, dari 44.524 warga miskin di  Samarinda 9.032 warga diantaranya masuk dalam kategori miskin ekstrem. Dan tidak berbeda dengan Samarinda, menurut BPS ada 8.000 warga kota Bontang yang terkategori warga miskin. (Diskominfoprov.kaltim)

Jika merujuk pada data dan fakta yang ada tidak seharusnya Kaltim miskin apalagi masuk pada peringkat 10 angka kemiskinan se Indonesia. Namun inilah yang terjadi disharmonisasi antara pertumbuhan ekonomi Kaltim dengan data warga miskin bahkan terkategori ekstrem adalah hal yang mencengangkan.

Hanya saja tidak demikian halnya dengan sistem Kapitalisme liberal, berbanding terbaliknya antara pertumbuhan ekonomi dan  meningkatnya  kemiskinan warga  adalah hal biasa dan niscaya terjadi di sistem ini. Kapitalisme liberal yang menjamin kebebasan berkepemilikan menjadikan para kapitalis korporat memiliki keluasan menguasai SDAE negeri sehingga kekayaan milik negara hanya berputar di mereka saja.

Pertumbuhan ekonomi yang diprediksi oleh Gubernur Kaltim, adalah fakta dari sisi peningkatan ekspor baik migas maupun nonmigas. Hanya saja sektor ini tidaklah banyak menyerap tenaga kerja lokal apalagi kebijakan investasi oleh negara memberi keluasan bagi investor untuk menentukan sendiri para pekerjanya  dan mereka membawa para pekerja dari negara asalnya jadilah peluang kerja warga setempat terbatas.

Tidak bisa dipungkiri bahwa SDM lokal memang kalah bersaing di banding pekerja asing baik dari sisi kemampuan, keahlian dan kecakapan kerja. Ini tentu berdampak pada peluang dan kesempatan kerja bagi pekerja lokal meski tidak bisa dinampikan pula bahwa semakin kesini justru tidak hanya pekerja yang ahli saja yang dibawa oleh investor dari negara asal namun sampai pada pekerja kasar level buruh pun dari mereka. Inilah yang semakin menjadikan tingkat pengangguran pekerja lokal semakin tinggi saja.

Namun sayang permasalahan tersebut tidaklah pernah terselesaikan selama sistem Kapitalisme menjadi rujukan dalam penyelesaiannya, kerena sejatinya justru Kapitalisme  yang menjadi biang permasalahan tersebut. Bagi Kapitalisme apapun akan dilakukan demi meraih tujuannya yakni keuntungan yang sebesar-besarnya meski harus merugikan dan mendzolimi masyarakat sekitar. Inilah yang terjadi, rakyat tidak merasakan pertumbuhan ekonomi dari hasil ekspor SDAE yang ada. Namun dampak lingkungan akibat eksploitasi SDAE yang didapatkan.

Demikianlah sistem Kapitalisme liberal, dimana kepengurusan hidup bukanlah ditangan negara. Kepengurusan hidup justru menjadi urusan masing-masing individu dan kelompok, negara hadir hanya sebagai regulator saja. Dan mirisnya lagi regulasi yang ada justru berpihak kepada para kapitalis korporat. Bukanlah tanpa sebab keberpihakan penguasa kepada kapitalis korporat, adalah politik balas budi yang menjadi aktivitasnya karena sudah menjadi rahasia umum bahwa duduknya penguasa dikursi kekuasaannya tidak lepas dari sokongan dana kampanye dari para korporat oligarki maka ketika kekuasaan sudah diraih politik balas budilah yang terjadi.

Berbeda dengan Islam, dalam sistem pemerintahan Islam kepengurusan hidup rakyat adalah landasan aktivitasnya. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW,  "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan Ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya". ( HR. Al Bukhari). Dan dalam sistem ekonominya Islam memiliki konsep kepemilikan yang sangat jelas dan dibedakan menjadi tiga kategori, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. SDAE masuk dalam kepemilikan umum sebagaimana hadist Rasulullah SAW. "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Daud dan Ahmad). 

Maka terkait sumber daya alam yang melimpah maka wajib bagi negara mengurusi dan mengelolanya haram hukumnya menyerahkan kepada pihak lain, hanya negara saja yang boleh mengelolanya kalaupun negara kemudian terbatas dalam hal teknis dan kecakapan  mengelola maka boleh mengambil pihak lain atau swasta untuk dipekerjakan tapi bukan dalam bentuk kerjasama apalagi investasi. Kedaulatan negara dalam hal pengelolaan SDAE menjadi poin penting sehingga tidak ada intervensi bagi negara dalam kepengurusan negerinya.

Dari hasil pengelolaan SDAE inilah negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya baik yang bersifat individu maupun komunal sehingga peningkatan ekspor disektor migas dan nonmigas serta pertumbuhan ekonomi negara akan dirasakan semua rakyatnya.

Dalam Islam penafkahan adalah kewajiban setiap laki-laki dewasa maka negara akan memastikan setiap laki-laki dewasa memiliki pekerjaan, kecuali  bagi laki-laki dewasa yang lemah karena keterbatasan fisiknya.  Dalam hal ini negara memfasilitasi setiap laki-laki dewasa untuk bisa memiliki pekerjaan seperti mengembangkan sektor industri yang menyerap banyak tenaga kerja, memberdayakan masyarakatnya dalam pengelolaan SDAE,  jika terbatas dalam hal skill maka wajib bagi negara memberi pelatihan dan pendidikan terkait hal tersebut. Membuka lahan-lahan pertanian dengan dukungan penuh mulai dari penanaman hingga pemasarannya dan semua sektor akan dimaksimalkan untuk dapat menyerap tenaga kerja bahkan bagi yang mau berwirausaha negara akan mensuport dengan memberikan modal.

Setidaknya inilah yang akan dilakukan negara dalam Islam untuk memastikan setiap rakyatnya mampu dalam hal finansial sehingga keselarasan dan harmoni pertumbuhan ekonomi serta peningkatan ekspor SDAE sejalan dengan kesejahteraan rakyatnya. Masihkah berharap dengan sistem dzolim ini, maka kembali kepada kepengurusan hidup di sistem Islam yakni Khilafah adalah kemuliaan dan keberkahan hidup. Wallahu a'lam bishowab.

Penulis: Mira Ummu Tegar (Aktivis Muslimah Balikpapan)
Komentar

Tampilkan

Terkini