-->








Carut Marut Proyek Food Estate, Buah Kebijakan Kapitalisme

28 Maret, 2023, 16.47 WIB Last Updated 2023-03-28T10:05:29Z
DEMI mencegah ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah. Dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya: gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.

Penelusuran BBC News Indonesia bersama LSM Pantau Gambut menemukan proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah ini hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam.

Pejabat Kementerian Pertanian mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program food estate. Tapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tak sepenuhnya gagal.

Adapun pejabat Kementerian Pertahanan mengeklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.

Seorang warga Desa Tewai Baru, Rangkap, kesal karena lahan yang turun-temurun digarap keluarganya seluas empat hektare dipakai untuk kebun singkong.

Dengan nada bicara tinggi, Rangkap meluapkan kekesalannya tentang hutan di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang sebagian telah gundul.

Pria 53 tahun ini berkata warga tidak pernah diajak musyawarah oleh perangkat desa soal program food estate atau pembukaan kebun singkong.

Hingga pada November 2020, menurut Rangkap, puluhan alat berat yang dikawal tentara tiba-tiba masuk ke hutan.

Proses sosialisasi, katanya, berlangsung tiga kali pada 2020. Karena situasi kala itu pandemi Covid-19, hanya perwakilan masyarakat yang diundang oleh penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertahanan.

Mereka yang diajak di antaranya seluruh kepala desa di Kecamatan Sepang, damang (kepala adat), mantir (perangkat adat), lurah, bupati, kapolsek dan kapolres.

Namun tak ada penjelasan lanjutan soal mengapa lahan food estate itu menggunakan hutan produksi di desanya dan mengapa tanaman singkong yang dipilih.

Saat BBC News Indonesia melihat kebun singkong itu, tak ada satu pun orang berjaga di sana. Warga sudah leluasa masuk dan keluar dari area tersebut.

Tujuh alat berat termasuk ekskavator teronggok dalam kondisi rusak.

Sepanjang mata memandang, kebun singkong seluas 600 hektare itu dibiarkan tandus.

Bekas gundukan tanah yang dipakai untuk menanam singkong hampir rata dan sudah ditumbuhi rumput.

Namun sisa-sisa tanaman singkong yang setahun ditelantarkan masih ada jejaknya.

Batangnya kurus dan pendek tak sampai satu meter. Padahal normalnya pohon singkong memiliki tinggi batang satu hingga empat meter. Daunnya juga kecil-kecil dan sedikit.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Ketika dicabut, satu pohon hanya berisi dua atau lima singkong sebesar jari telunjuk mirip wortel. Jauh berbeda dari singkong umumnya yang bisa sebesar tangan. Karakter tanah di sana 70% adalah pasir.

Sementara lahan yang baik untuk menanam umbi kayu adalah tanah yang memiliki struktur gembur, remah, dan punya banyak bahan organik.

Sejak hutan dibuka, kata Kepala Desa Tewai Baru, banjir di wilayahnya makin parah. Ketika hujan turun, air Sungai Tambun dan Tambi yang melintasi desa meluap dan menyebabkan banjir. Ini karena hutan yang telah gundul itu letaknya berada di dataran tinggi dan berfungsi sebagai penyerap air.

Direktur LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, mengatakan pihaknya sudah mengira program lumbung pangan ini bakal gagal seperti yang sudah-sudah.

Perlu diketahui, program serupa pernah dijalankan oleh mantan presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono di Kalteng. Namun tak ada yang berhasil.

"Penyebabnya karena kajian yang sangat kurang dalam hal kesesuaian lahan dan kondisi sosial masyarakat di Kalteng," ujar Bayu.

Menurut Bayu, menanam padi di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) adalah tindakan serampangan.

Sebab fungsi gambut sebagai pengatur siklus air justru dieksploitasi sehingga terjadi kekeringan dan belakangan memicu kebakaran lahan.

Untuk diketahui, anggaran yang dikeluarkan Kementerian Pertanian dalam rangka program intensifikasi dan ekstensifikasi seluas 62.000 hektare di Kalteng mencapai Rp600 miliar. Akan tetapi pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa menyebut pemahaman food estate seperti itu "tidak benar". "Food estate itu misi-visinya memperluas lahan pertanian terutama sawah. Kalau intensifikasi ya program intensifikasi yang setiap saat dijalankan pemerintah," jelas Dwi Andreas.

Head of Agriculture Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, juga sependapat. Food estate semestinya memperluas lahan yang diusahakan untuk pertanian ditambah membangun jaringan irigasi.

Program food estate di Kalimantan yang di gadang-gadang menjadi solusi krisis pangan, nyatanya tidak menunjukkan hasil. Bahkan makin membuktikan ketidaksiapan negara mulai perencanaan hingga perincian masalah teknis di lapangan. Bahkan saat awal di gagas pun, sudah banyak menuai kritikan.

Hal ini adalah buah dari kebijakan kapitalisme sekuler yang menjadi asas kehidupan saat ini. Pandangan manusia yang terbatas karena tidak dibimbing wahyu Allah, menjadikan melihat permasalahan hanya dari permukaan saja, tidak bisa menyentuh akar permasalahan.

Masalah krisis pangan, saat ini terjadi di seluruh dunia. Hal ini karena sistem kapitalisme, membuka dengan laju kran kepemilikan sumber daya alam untuk dikuasai swasta/para pengusaha. Sehingga money oriented-lah yang akan menjadi tujuan utama dalam mengadakan kebutuhan pangan. Penguasaan beribu - ribu hektar lahan pertanian, bahkan perkebunan, telah dimiliki segelintir orang. Fakatanya, banyaknya petani yang berstatus sebagai buruh kerja dalam mengelola lahan pertanian/perkebunan tersebut, bukan berstatus sebagai pemilik lahan. 

Kebijakan yang diambil pun, tidak mengindahkan pendapat dan pandangan para ahli semisal ahli lingkungan, ahli pertanian dan lain-lain. Sehingga ketika terjun dilapangan, yang terjadi malah kerusakan lingkungan seperti banjir. Dan kembali yang menjadi korban adalah rakyat/penduduk setempat. Begitupula kegagalan dituai karena tidak memiliki teknologi dan SDM yang mumpuni. Terlihat dari pernyataan masyarakat yang menyatakan hanya sekali dua kali, mereka mendapatkan pengarahan dari pelaksana teknis, dan kendaraan berat yang ada pun, terlihat mangkrak di lokasi.

Inilah bukti nyata program ini telah gagal, dan bukti program ini hanya sebagai ajang pencitraan.

Berbeda jauh dengan cara pandang islam, islam yang dibimbing wahyu Allah, akan menghantarkan pemikiran cemerlang dalam mencari akar masalah, dan menghantarkan kepada solusi hakiki.

Permasalahan ketahanan pangan adalah bagian integral dari politik dalam negeri, yang berkaitan erat pula dengan sistem ekonomi yang dianut suatu negara. Dan sebagai seorang muslim, Allah telah meminta kita, menjadi muslim yang rela dan ikhlas menjadikan islam sebagai aturan kehidupan, seperti dalam firman-NYA :
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah Ayat 208)

Masuk ke dalam islam secara keseluruhan ditafsirkan oleh para ahli tafsir, bermakna menjadikan standar islam dalam menilai baik dan buruk, mengambil islam baik perkara ibadah maupun mu'amalah seperti pemberian  sanksi ketika melanggar larangan Allah, baik dalam alqur'an maupun as-sunnah. 

Islam menetapkan kepada Khalifah kepala negara Daulah Islam, kewajiban untuk menerapkan aturan-aturan islam hingga level kenegaraan. Khalifah adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas pengurusan kepentingan-kepentingan warganegara Daulah Islam, baik muslim ataupun non-muslim kafir dzimmy, sebagaimana hadits Rasulullah SAW "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" ( HR. Al-Bukhari).

Berlandaskan hal itu, khalifah wajib mengeluarkan kebijakan yang berlandaskan perintah Allah, seperti melarang pihak swasta/pengusaha untuk menguasai lahan pertanian/perkebunan, karena lahan adalah bagian dari kepemilikan umum, yang harom dikuasai individu maupun golongan tertentu, dan wajib atas negara sebagai satu-satunya pengelola kepemilikan umum tersebut. 

Khalifah juga wajib membangun teknologi berbasis aqidah islam, yang beririsan untuk kemudahan dalam dakwah dan jihad, yang ditopang dengan sistem ekonomi islam, dengan sumber pendapatan yang melimpah dari kepemilikan umum seperti SDA, ghanimah, fai, kharaj, jizyah, penerapan mata uang dinnar dan dirham, penutupan celah riba, penimbunan bahkan monopoli, serta penjaminan distribusi kekayaan, adalah seperangkat kebijakan komperhensif dan solutif yang wajib ditegakkan oleh Khalifah.

Distribusi adalah kunci utama pemerataan ekonomi dalam pandangan islam. Dan negara wajib memastikan setiap individu masyarakatnya bisa menerima pendistribusian kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan bahkan keamanan. 

Dan hal ini sudah pernah tertorehkan dalam tinta sejarah peradaban islam. Di masa Khalifah Umar Bin Abdul 'Aziz, sampai-sampai tidak bisa ditemukan satu orang yang miskin, yang akan diberikan harta zakat. Hal ini menunjukkan tingkat kesejahteraan individu yang luar biasa, yang dihasilkan oleh penerapan aturan islam oleh negara Khilafah Islamiyah.  Sampai-sampai Khalifah memutuskan harta zakat dibagikan kepada para pemuda yang siap menikah tapi kurang secara finansial, maka harta tadi dibagikan kepada mereka untuk membiayai pernikahannya. 

Itulah keberkahan yang Allah janjikan kepada hambaNYA ketika menjadi muslim yang taat menjalankan islam secara menyeluruh dalam wadah negara Khilafah Islamiyah.

Wallahu'alam bisshowwab

Penulis: Lisa Oka Rina (Aktivis Muslimah Kalimantan Timur) 
Komentar

Tampilkan

Terkini